Hidup sering kali berjalan seperti garis tak seimbang. Saat kita kecil dan tak berarti, orang pandang sebelah mata. Ketika kita tumbuh dan menampakkan hasil, banyak mata mulai melirik—ada yang memuji, ada yang iri. Seperti rumput di tanah yang selalu diinjak, dan seperti pohon kelapa di tepi pantai yang setiap hari diterpa angin. Dua-duanya menjalani takdir, tapi dengan cara yang berbeda.

Rumput tidak punya tangan untuk melawan pijakan kaki, tidak punya suara untuk menuntut keadilan. Ia hanya tumbuh lagi, menutupi luka yang ditinggalkan tapak manusia. Ia tahu tugasnya: meneduhkan tanah, menjaga kelembaban bumi, memberi warna bagi pandangan mata. Ia tidak berkeluh kesah, karena ia percaya—dalam kehinaan pun ada manfaat yang Tuhan titipkan.

Lain halnya dengan pohon kelapa. Ia tinggi dan menjulang, dilihat dari jauh tampak gagah dan tegar. Sapa sangka, setiap hembusan angin selalu mengguncang tubuhnya. Ia tidak bisa bersembunyi; ketenaran selalu datang bersama ujian. Pohon kelapa tidak punya pilihan selain tetap berdiri, meski harus menahan setiap badai yang datang silih berganti.

Begitulah manusia. Saat masih miskin, banyak yang tak menghiraukan; saat sudah berkecukupan, banyak pula yang iri. Ketika kita gagal, orang lain merasa lebih baik; tapi saat berhasil, banyak yang meragukan ketulusan kita. Dunia memang pandai menilai, tapi jarang mau memahami.

Ketika seseorang masih belajar, ia dianggap bodoh. Namun, ketika ia pandai, justru muncul cibiran bahwa ia mencari nama. Padahal langkahnya sama: berusaha memperbaiki diri. Dari pengalaman itu kita belajar, bahwa rumput dan pohon sama-sama berharga—hanya perannya yang berbeda dalam menjaga keseimbangan alam.

Nilai manusia tidak diukur dari seberapa tinggi ia berdiri, melainkan seberapa rendah ia mau menunduk. Kerendahan hati adalah akar dari kebijaksanaan. Ia membuat manusia tetap lembut di tengah kerasnya dunia, tetap teduh meski berada di bawah terik sorotan mata orang lain.

Rumput dan pohon saling melengkapi. Rumput menahan tanah agar tak terkikis hujan, pohon memberi naungan agar rumput tak terbakar matahari. Begitulah seharusnya manusia hidup: saling menopang, bukan saling menjatuhkan. Dunia ini indah bukan karena ada yang tinggi atau rendah, tapi karena semua bersatu dalam keharmonisan ciptaan Tuhan.

Tatkala kita terlalu ingin menjadi tinggi hingga lupa cara berakar. Kita ingin dipuji, dihargai, dihormati—padahal lupa bahwa kemuliaan sejati lahir dari kesabaran dalam diam. Rumput yang diinjak tidak berhenti tumbuh, justru makin kuat menancapkan akarnya. Pohon yang ditiup angin tidak roboh, tapi semakin lentur menyesuaikan diri dengan arah badai.

Jangan bangga ketika berada di puncak, karena di sanalah angin paling kencang berhembus. Jangan pula malu ketika di bawah, karena di sanalah tempat kehidupan bertumbuh. Tuhan tidak menilai dari posisi, melainkan dari keikhlasan dalam menjalani takdir.

Hiduplah seperti rumput yang tak pernah berhenti menghijau meski diinjak, dan seperti pohon yang tetap menegak meski diterpa badai. Keindahan hidup tidak terletak pada sanjungan manusia, tetapi pada keteguhan hati yang tetap lembut dan syukur yang tetap hangat. Sejatinya, hidup adalah tentang bagaimana kita tetap menjadi diri sendiri, meski dunia terus berubah arah anginnya. [HTB]

(Visited 3 times, 3 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.