Oleh: Gugun Gunardi*
Cikondang
Kampung Adat Cikondang terletak di Kampung Cikondang, Kelurahan Lamajang, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung. Kampung adat tersebut telah ada sejak abad ke-17 silam. Meski di tengah gempuran modernitas, sampai saat ini Kampung Cikondang tetap mempertahankan kearifan lokal. Hal tersebut guna mempertahankan nilai-nilai luhur kehidupan yang diwariskan oleh para pendahulunya.
Pinisepuh Kampung Adat Cikondang, Abah Ilin Dasyah mengatakan kampung tersebut berasal dari seorang wali yang menyebarkan agama Islam ke daerah tersebut. Dalam penyebarannya, Sang Wali diketahui menyebarkan agamanya dengan menyusuri hutan.
Masyarakat Cikondang dulunya adalah masyarakat human nomaden, membuka hutan dari Maruyung hanya sampai di sini, ada tarik kolot. Jadi, tarik kolot itu hanya sampai di sini, itu asal muasalnya dari Cirebon, namanya uyut istri dan uyut pameget.
Kemudian pada tahun 1942, Belanda membumi hanguskan Kampung Cikondang. Alhasil, perkampungan tersebut langsung hancur dan menyisakan satu rumah dan saat ini dijadikan sebagai rumah adat penduduk sekitar.
Rumah adat tersebut berjenis julang ngapak, dengan desain minimalis dan mengandung banyak arti. Salah satu pesan filosofis dari rumah tersebut adalah memiliki satu pintu, dengan arti satu kepercayaan hanya kepada Allah Swt.
“Dengan memiliki panjang bangunan 12 meter, yang memiliki arti 12 bulan. Lebar delapan meter, yang artinya sewindu delapan tahun. Jendela ada lima, yang artinya rukun Islam. Pentilasi jendela ada sembilan, artinya penyebaran islamnya dari sembilan Walisongo, salah satunya dari Syekh Syarif Hidayatulloh Cirebon.
Kegiatan ritual utama di rumah adat Cikondang dilakukan pada setiap tanggal 15 Muharram. Hal tersebut sebagai awal tahun untuk pembersihan dari marabahaya atau bencana, dan sebagai ucapan rasa syukur telah diberikan rahmat dan hidayah.
“Jadi pada tanggal hari H nya 15 Muharam itu, sebelumnya dari 1 Muharam pun ibu-ibu sudah melakukan tradisi seperti numbuk padi, padi huma, padi sawah, padi urut, padi kentang. Nanti tanggal 15 itu ada nasi tumpeng, nasi kuning, nasi tumpeng padi huma, tumpeng padi sawah, tumpeng padi kentang,” jelasnya.
“Pada 15 Muharam itu para teman-teman budayawan hadir, beberapa pejabat pemerintah kabupaten pun hadir, karena bagian dari pelestarian kebudayaan. Tanggal 15 Muharam itu kompak, mulai dari masyarakat, menyajikan makanan tersebut. Ritual dilakukan di rumah adat. Berupa kegiatan ucapan rasa syukur, silaturahmi keluarga mama sepuh. Wuku tahun itu dari Muharam ke Muharam.”
Jika masyarakat ingin memasuki kawasan rumah adat Cikondang, ada beberapa pantrangan harus yang dipatuhi. Masuk ke dalam rumah adat Cikondang harus mengutamakan kaki kanan terlebih dahulu, kemudian kemudian keluar dengan melangkahkan kaki kiri. Tidak lupa juga salam dan basmalah sebelum masuk ke kawasan rumah adat Cikondang. Kemudian bagi perempuan yang mengalami menstruasi tidak boleh memasuki wilayah kawasan rumah adat Cikondang.
Terdapat hari-hari khusus jika ingin mengunjungi kampung adat Cikondang. Hal tersebut dikarenakan ada beberapa masyarakat adat yang melakukan ziarah terhadap makam Eyang Istri dan Eyang Pameget.
“Larangan khusus itu ada di hari Jumat, Sabtu, dan Selasa tidak boleh masuk ke rumah adat, yang bisa itu hari Minggu, Senin, Rabu, Kamis. Rabu (selasa) sesekali ada yang ziarah ke makam leluhur,” tuturnya.
Kampung Adat Cireundeu
Adalah sebuah kampung dengan luas 64 hektar. Terbagi 2 bagian; 60 hektar digunakan untuk pertanian dan 4 hektarnya untuk pemukiman. Warga di kampung ini konsisten dalam meyakini dan menjalankan ajaran kepercayaan turun temurun.
Mereka melestraikan budaya nenek moyang mereka. Kampung adat sendiri bisa diartikan sebagai suatu wilayah di dalam kumpulan masyarakat adat yang mempunyai hak asal usul berupa hak mengurus wilayah dan mengurus kehidupan masyarakat hukum adatnya.
Kampung adat ini terletak di sebuah lembah yang diapit Gunung Kunci, Gunung Cimenteng, dan Gunung Gajahlangu. Secara administratif, Cireundeu masuk wilayah Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Provinsi Jawa Barat.
Asal kata Cireundeu berasal dari sebuah pohon bernama ‘Reundeu’. Di kampung ini terdapat banyak Pohon Reundeu. Adapun kegunaan atau khasiat dari pohon Reundeu adalah bisa digunakan sebagai bahan obat herbal. Masyarakat setempat sering menggunakannya saat memerlukan.
Sebelum dikenal sebagai kampung adat, Cireundeu dulunya adalah tempat pembuangan sampah warga Kota Cimahi. Baru di tahun 2007 Cireundeu mulai dikenal sebagai sebuah wilayah desa tradisional.
Kampung Adat Cireundeu dikelola oleh pemerintahan lokal, RT, dan RW yang merupakan tingkatan tertinggi di wilayah Cireundeu. Sedangkan secara tradisional Cireundeu memiliki orang yang ‘dituakan’, disebut dengan Sesepuh.
Masyarakat adat Kampung Cireundeu adalah bagian dari Sunda Wiwitan yang tersebar di daerah Cigugur-Kuningan-Cirebon. Kesemua mereka sebagian besar memegang teguh kepercayaan Sunda Wiwitan sampai sekarang. Agama leluhur yang mereka anggap sebagai sebuah agama besar. Dengan ajaran-arajan peduli terhadap alam dan sopan santun.
Masyarakat adat Cireundeu memandang agama sebagai sebuah ageman (pegangan). Menjadi tuntunan hidup, keselamatan, yang tidak bisa lepas dari pemaknaan budaya. Artinya, ketika seseorang memeluk agama, maka ia sedang menjalankan dan memaknai budaya yang melekat pada agama yang dianut.
Konsep agama Sunda Wiwitan yang dianut masyarakat adat Cireundeu, yaitu Tuhan yang disebut “Gusti Sikang Sakang Sawiji Wiji” atau di atas segalanya pencipta mereka. “MULIH KAJATI MULANG KA ASAL.” SETIAP MANUSIA AKAN KEMBALI KEPADA TUHAN.
Rasi, beras singkong, makanan khas di Kampung Cireundeu
Sejak tahun 1918, sebagian masyarakat Cireundeu tidak pernah mengonsumsi nasi sebagai makanan pokoknya. Melainkan makanan utama yang dikonsumsi adalah singkong. Masyarakat setempat menyebutnya ‘rasi’. Sebenarnya rasi hampir sama dengan nasi biasa, hanya saja terbuat dari singkong. Jika kehabisan singkong makanan penggantinya adalah jagung.
Cireundeu sendiri dikenal sebagai desa swasembada pangan. Masyarakat setempat akan mengonsumsi apa yang mereka tanam. Rasi hasil singkong yang diolah, sudah dikonsumsi masyarakat Kampung Adat Cireundeu sejak sekitar 85 yang tahun lalu. Bisa dibilang masyarakatnya sudah mandiri pangan. Sehingga mereka tidak terpengaruh oleh fluktuasi harga beras di pasaran. Kehidupan di kampung ini juga bisa dibilang tak terpengaruh gejolak ekonomi-sosial.
“TEU BOGA SAWAH ASAL BOGA PARE, TEU BOGA PARE ASAL BOGA BEAS, TEU BOGA BEAS ASAL BISA NYANGU, TEU NYANGU ASAL DAHAR, TEU DAHAR ASAL KUAT.”
“TIDAK PUNYA SAWAH ASAL PUNYA BERAS, TIDAK PUNYA BERAS ASAL DAPAT MENANAK NASI, TIDAK PUNYA NASI ASAL MAKAN, TIDAK MAKAN ASAL KUAT.”
Kalimat tersebut seolah merangkum sejarah bagaimana masyarakat memakan rasi. Sesuai juga dengan tradisi nenek moyang mereka yang rutin berpuasa konsumsi beras (nasi) dalam waktu tertentu.
Tujuan puasa adalah untuk mendapatkan kemerdekaan lahir dan batin. Sebuah ritual yang juga berfungsi untuk menguji keimanan seseorang. Serta sebagai pengingat akan Tuhan yang Maha Esa.
Puncak salam merupakan tempat meditasi bagi masyarakat Cireundeu. Kegiatan meditasi ini dilakukan sebagai bentuk rasa syukur terhadap alam. Masyarakat setempat percaya bahwa meditasi dapat mengumpulkan energi dari alam.
Sebuah bukit dengan ketinggian 905 mdpl ini sering digunakan sebagai camping around oleh wisatawan. Biasanya masyarakat Cireundeu juga menjadikan Puncak Salam sebagai tempat upacara peringatan hari kemerdekaan Indonesia.
Ada satu keunikan bangunan yang bisa dilihat di seluruh penjuru kampung. Rumah mereka memiliki pintu samping yang menghadap ke arah timur. Sebuah keharusan yang harus diterapkan oleh seluruh warga. Bertujuan agar cahaya matahari masuk ke rumah, ke bumi mereka.
Hutan di Cireundeu dikenal sebagai hutan penyumbang oksigen terbesar di Kota Cimahi. Di sini hutan disebut juga dengan leweung. Cireundeu memiliki tiga leweung yang berbeda, yaitu Leweung Baladahan, Leweung Tutupan, dan Leweung Larangan.
Leweung Baladahan adalah hutan yang menghasilkan sumber pangan seperti singkong, kacang-kacangan, dan lain-lain. Leweung Tutupan terdiri dari berbagai tanaman herbal yang ditanam. Terdiri dari rendeu, toga, babadotan, dan mahoni. Sedangkan Leweung Larangan adalah hutan yang tidak boleh dikunjungi oleh wisatawan. Hal ini karena hutan ini sangat dijaga dan dilindungi nilai sakralnya oleh masyarakat Cireundeu.
Jika berkunjung bertepatan dengan upacara adat, bisa menyaksikan kesenian khas. Seperti kesenian gondang, karinding, serta angklung buncis.
Kampung Adat Mahmud
“Maqom Mahmud”, Desa Mekar Rahayu, Kecamatan Marga Asih, Kabupaten Bandung. Demikian tulisan yang terdapat pada plang nama kampung di atas mulut jalan masuk menuju Kampung Mahmud. Dari plang itu sudah terasa ada sesuatu yang lain dalam kampung ini. Pemandangan fisik dari luar memang semua tampak seperti biasa saja, tidak ada bangunan rumah tradisional yang mencolok atau orang-orang dengan pakaian khas yang biasanya bisa kita temui di kampung-kampung adat.
Kampung Adat Mahmud adalah sebuah kampung kecil di sisi sungai Citarum. Sebuah kampung adat yang menyimpan nilai historis perkembangan dan persebaran agama Islam di Kota Bandung. Sebuah kampung sederhana yang ternyata memiliki peranan sangat besar di masa lalu.
Di tengah teriknya sorotan matahari siang hari, kampung ini begitu biasa tanpa ada sesuatu yang menandakan kalau tempat ini merupakan tempat peziarahan kaum muslim. Dari jembatan Citarum Baru tidak terlihat sesuatu yang membedakan Kampung Mahmud dengan kampung-kampung lainnya di pinggiran Kota Bandung.
Plang bernuansa khas Islam yang sejuk berwarna hijau penanda gerbang Kampung Mahmud. Tertulis “Maqom Mahmud”, Desa Mekar Rahayu, Kecamatan Marga Asih, Kabupaten Bandung. Plang nama kampung yang sekaligus juga menandakan adanya situs keramat di dalamnya.
Jalanan utama Kampung Mahmud tampak lenggang berdebu. Sejumlah warung yang menyediakan jajanan berupa makanan kecil dan minuman-minuman dingin tersebar di sudut-sudut kampung. Juga rumah-rumah yang memproduksi meubelair berupa kursi, kayu, dan lemari dengan ukiran yang sederhana namun unik.
Kawasan yang hampir dikelilingi oleh aliran Sungai Citarum ini, memiliki kebun-kebun bambu yang tinggi menjulang dan rindang. Penghuninya kurang lebih 400 KK, yang di dalamnya terdapat 1 RW dan 4 RT. Sebagian besar mata pencaharian warga adalah petani, pengrajin dan pengusaha meubel, sebagian kecil pedagang, dan sisanya pekerja. Sekarang ini, penduduk Kampung Mahmud merupakan masyarakat asli kampung dan sebagian lagi pendatang dari kawasan Jawa Barat dan sekitarnya.
Aliran sungai yang besar juga masih jernih, jadi warga tidak pernah kesulitan air bersih.”Meskipun sedikit terpencil di pinggiran Kota Bandung, Kampung Mahmud dapat dijangkau dari berbagai arah. Baik itu dari Kota Bandung maupun dari arah Soreang. Dari arah Bandung pengunjung bisa menggunakan angkot jurusan Tegalega-Mahmud, sedangkan dari Soreang, harus menggunakan angkot yang menuju Cilampeni dan melanjutkan dengan ojek menuju Kampung Pameuntasan yang berseberangan dengan Kampung Mahmud.
Berbicara tentang Kampung Mahmud, sejarah, dan peranannya di masa lalu tidak dapat lepas dari nama besar Eyang Dalem Abdul Manaf. Penduduk menyebutnya sebagai Waliyullah. Beliau adalah putra dari Eyang Dalem Nayaderga (dimakamkan di Sentak Dulang, Ujungberung) dan merupakan keturunan ketujuh dari Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).
Menurut cerita, Eyang Dalem Abdul Manaf adalah penyebar Islam pertama di kawasan Bandung (Priangan). Beliau pernah singgah di Kampung Mahmud di Mekkah, dan dari sana membawa sekepal tanah yang kemudian ditebarnya di daerah rawa-rawa pinggiran Sungai Citarum yang kelak menjadi Kampung Mahmud. Lokasi ini dipilih karena letaknya yang terpencil dan agak tersembunyi. Konon lokasi seperti ini sangat cocok sebagai pusat perjuangan dalam menyebarkan Islam.
Asal muasal nama Kampung Mahmud juga adalah dari kata mahmudah atau “akhlakul mahmudah” yang berarti akhlak yang terpuji. Hal tersebut muncul karena sikap dan perilaku masyarakat kampung yang terpuji, karena mereka jujur, rajin beribadah, dan amanah.
Di kampung inilah Eyang Dalem Abdul Manaf merintis penyebaran ajaran Islam. Dalam perjuangannya, beliau didampingi dua orang murid yang patuh terhadap ajaran agama, Eyang Agung Zainal Arif dan Eyang Abdullah Gedug. Eyang Agung Zainal Arif adalah putra dari Eyang Asmadin, dan keturunan keempat Syeikh Abdul Muhyi dari Pamijahan, Karang Nunggal, Tasikmalaya.
Dalam menjalankan tugasnya, beliau diberi perintah oleh Eyang Dalem Abdul Manaf untuk bertapa di 33 gunung di sekitar Kampung Mahmud selama 33 tahun, dan selanjutnya bersama-sama menyebarkan agama Islam di Jawa Barat. Sementara Eyang Abdullah Gedug adalah murid yang dididik secara langsung oleh Eyang Dalem Abdul Manaf. Dari ketiga orang tersebut, ajaran Islam meluas di wilayah Bandung.
Eyang Syeikh Dalem Abdul Manaf adalah Wali Bandung, dengan kata lain, beliau yang memegang peranan penting dalam penyebaran Islam di Bandung. Makamnya sampai saat ini sering diziarahi oleh banyak orang yang berasal dari berbagai wilayah di Indonesia.“Berziarah berarti mengingat mati, dan mengingat mati berarti berusaha berbuat baik di sisa kehidupan.”
Beberapa kegiatan religi biasanya dilaksanakan pada hari-hari besar dalam Islam, Rajaban (27 Rajab) atau Muludan (12 Mulud). Pada acara seperti ini umumnya digelar shalawatan, pengajian, serta permainan terbang sebagai salah satu kesenian buhun orang Sunda.
Ritus besar lainnya adalah ziarah massal yang biasa diselenggarakan pada minggu kedua di bulan Syawal. Dalam kegiatan ziarah massal, masyarakat kampung dan pengunjung akan bersama-sama berziarah di Makam Eyang Syeikh Dalem Abdul Manaf untuk memanjatkan doa serta bershalawat. Kampung Adat Mahmud tidak memiliki larangan hari dalam berziarah, setiap harinya kampung ini dapat dikunjungi.
Salah satu kekhasan yang dapat kita temui adalah bumi adat, atau rumah panggung tradisional masyarakat Sunda, yang sarat akan filosofi hidup sederhana dan religius.
Sumber Rujukan:
- Yuga Hassani, detikJabar
Selasa, 09 Agu 2022 - Amelia Dwinda Gusanti. Kampung Cieundeu. Universitas Telkom, Peserta Magang Genpina. Minggu, 15 Desember 2013. Kampung Adat Mahmud.