Jayadi memarkir mobilnya di pelataran masjid Al Hikmah ketika pagi menjangkau pukul setengah sepuluh, manajer muda di salah satu perusahaan jasa konstruksi di Makassar itu, berniat menemui temannya semasa aktif di Pemuda Muslimin Indonesia, yang sekarang memilih menjadi penjaga masjid Al Hikmah, ustaz Baihaqi, tapi Jayadi lebih sering menyapanya Bai.
“Antum masuk saja, ana mengepel dulu.” Ustaz Bai teriak sambil terus berkutat pada aktivitas rutinnya.
“Oke bro, aku masuk yaaa…”
Di kamar ustaz Bai, Jayadi rebahan di kasur tipis yang masih tergelar. Jayadi membolak-balikkan badannya seperti ulat kepanasan. Lantunan murottal Syekh Misyari Rasyid yang mengalun dari tape mungil di sudut ruangan, tak mampu menawar rawan di hati dan gelisah di pikirannya.
Tak lama, ustaz Bai muncul dengan senyum teduhnya.
“Kenapa? Macam orang yang lagi patah hati.”
“Aaah, tebakanmu meleset bro, aku bukan patah hati, tapi jatuh cinta…” Jelas Jayadi yang sudah duduk sambil memiuh guling di pelukannya.
“Adi… Adi… Jadi ini penyebabnya sampai antum menemui ana? Kayak ABG saja, bukannya antum sudah pengalaman soal cinta?” Ustaz Bai tersenyum simpul sambil menepuk bahu Jayadi.
“Ini beda mas bro ustaz…”
“Beda bagaimana?”
“Aku benar-benar jatuh cinta kali ini, dan…”
“Dan apa?”
“Aku… ingin menikahinyaaa…” Jayadi menjawab malu.
“Alhamdulillah, antum sudah benar kalau begitu.” Komentar ustaz Bai, kalem.
“Masalahnya di situ bro.”
“Loh mau menikah kok masalah?”
“Pokoknya masalah.”
“Antum cerita dong, biar ana bisa bantu semampu ana…”
“Serius ya bro, mau bantu?”
“InsyaAllah, untuk kebaikan, ana usahakan.” Uztas Bai meyakinkan.
“Nah, begitu bro. Bagus juga punya teman ustaz. Hehehehe…”
“Ada-ada saja antum ini.”
“Oh ya, aku cabut dulu ya bro, soal bantuan, nanti aku hubungi.” Berdiri, meninggalkan ustaz Bai.
* * *
Musik jazz mengalun lembut di cafe Rindu sore itu. Jayadi menemui ustaz Bai untuk membahas soal bantuan dalam rangka melaksanakan niatnya untuk menikah.
“Bro ustaz ingat Azizah? Gadis itu yang ingin kulamar.”
“Azizah anak akuntansi itu? Bukannya dia jadi model di Jakarta sekarang?” Tanggap ustaz Bai.
“Betul, Azizah yang itu. Sekarang, dia berhenti jadi model dan kembali ke Makassar. Malah sudah pakai jilbab juga.” Jelas Jayadi.
“Dia bekerja di bank syariah, bro.” Lanjutnya.
“Yayayaya… Terus bantuan apa yang bisa ana berikan?” Tanya ustaz Bai sambil menyeruput jus alpukat-nya.
“Mas bro ustaz bisa mewakili saya melamar Azizah, kan?”
“Eh… kok bisa begitu? Ana belum menikah, belum pengalaman melamar.”
“Katanya mau membantu. Kan mas bro ustaz tahu, aku tak bakal berani untuk urusan ini. Bokap sama nyokap juga masih di Amrik, sekarang masih sibuk mereka.” Muka Jayadi terlihat mendung.
“Aduh, tak ada pilihan lain ya. InsyaAllah kalau begitu. Kapan?”
“Terserah bro ustaz, tapi lebih cepat lebih baik.”
“Baiklah, kalau memang jalannya demikian, insyaAllah ana akan coba lakukan yang terbaik.” Sambil menyalami Jayadi.
“Aku kian semangat mau melamar Azizah, menikahi syahwat seperti itu kan bisa membuat pernikahan jadi barokah. Hehehehe…”
“Tunggu dulu, apa antum bilang?”
“Azizah kan sudah berjilbab, bro ustaz, jadi sudah dikategorikan syahwat kan?”
“Astaghfirullah, bukan syahwat, akhi. Akhwat!”
“Iya iya, itu maksudku. Maklum, baru belajar. Hehehehe…” Jayadi cengengesan.
* * *
“Jadi Nak Baihaqi ini teman kuliahnya Nak Jayadi?” Seru Pak Rahmat, orang tua Azizah, yang ternyata jemaah masjid Al Hikmah.
“Betul Pak.”
“Berarti, kenal Azizah juga?”
“Iya Pak, apalagi Azizah dulu kan terkenal, Pak, selebriti. Hehehehe…”
“Ah, Nak Baihaqi ada-ada saja. Hehehe… Oh ya, silahkan diminum.” Seru Pak Rahmat.
“Jadi bagaimana dengan niat baik dari teman ana, Pak?” Lanjut ustaz Bai.
“Untuk soal itu, saya secara pribadi sepertinya agak berat, Nak. Saat ini, karir Azizah di kantor juga belum setahun, belum dibolehkan menikah.” Jelas Pak Rahmat, ustaz Bai tertunduk masygul.
“Atau kita dengar langsung saja sikap Azizah, kalaupun dia punya sikap lain, sebagai orang tua, saya cuma bisa merestui. Azizah…. Azizah… ke sini, Nak.” Lanjut Pak Rahmat.
Tak lama, Azizah muncul di ruang tamu dan duduk di samping bapaknya.
“Jadi begini Azizah, Nak Baihaqi ini datang mewakili Nak Jayadi untuk melamarmu, bagaimana?”
“Saya sih terserah Bapak saja, saya menyerahkan urusan ini kepada Bapak. Tapi, sebagai muslimah yang baru belajar ilmu agama, saya membutuhkan calon imam yang bisa menuntun di jalan yang benar, dan sepertinya Jayadi bukan pilihan yang pas.” Jawab Azizah dengan suara pelan, dia tertunduk.
“Nak Baihaqi sudah mendengar sendiri kan? Dia membutuhkan calon imam yang betul-betul bisa diikuti, Nak.” Jelas Pak Rahmat.
“Apa tidak bisa dipertimbangkan lagi, Pak? Ukhti Azizah? InsyaAllah Jayadi tentu akan bisa menyesuaikan diri.” Ustaz Bai berusaha meyakinkan.
“Keputusan kami sudah bulat, Nak. Kecuali….”
“Kecuali apa, Pak?” Ustaz Bai langsung menyambar pernyataan Pak Rahmat.
“Kecuali…….. kecuali Nak Baihaqi yang siap menjadi imamnya Azizah. Bukan begitu Azizah?” Pak Rahmat menyikut lembut anak gadisnya.
Azizah cuma tersenyum, mukanya ditekuk, bersemu merah. Tak ada jawaban dari mulutnya, hanya senyum dikulum serta kerling selintas ke arah ustaz Bai.
“Tentu Nak Baihaqi mengerti, diamnya perempuan berarti persetujuan. Bagaimana Nak?” Pak Rahmat kembali bertanya. Mendengar itu, ustaz Bai terpekur, tertunduk dalam, mukanya ikut tersaput merah, bibirnya tersenyum penuh arti.