Mei 2007, iseng aku mengirim tulisan pada lomba menulis yang digelar oleh Badan Komunikasi, Informasi dan Penyediaan Data Elektronik Provinsi Sulawesi Selatan dalam rangka menyambut Hari Kebangkitan Nasional pada Tahun 2007. Tema tepatnya telah kulupa, mungkin seputar kepemimpinan di Sulsel, karena tulisanku bertajuk ‘Pemimpin Sulsel Masa Depan; Dari Aristokrasi ke Meritokrasi‘.

Sejujurnya, aku tak punya ekspektasi tinggi pada tulisan yang mengulas tentang tawaran model kepemimpinan yang layak dipertimbangkan untuk membangun kepemimpinan di Sulsel masa depan, yang kuikutkan pada lomba tersebut. Tapi tak dinyana, tulisan itu berhasil menarik perhatian para juri dan memberinya predikat juara II. Jadilah aku diundang menghadiri upacara Harkitnas 2007 di Gubernuran Sulsel, sekaligus menerima plakat dan sejumlah uang yang disiapkan panitia.

Ada kejadian lucu pada pagi itu, terkait lokasi upacara. Aku yang pengacara (pengangguran banyak acara) kala itu, sudah berbilang tahun tak terbiasa dengan aktivitas pagi, semisal upacara bendera. Maka jadilah aku kalang kabut menyingkirkan kebiasaan berleha-leha seusai subuh, seperti lazimnya pada hari-hari sebelumnya. Di pagi Harkitnas 2007 itu, aku sudah rapi jali semenjak pagi. Bayangkan saja, aku diminta hadir mengikuti upacara pada jam tujuh pagi, sementara aku tinggal di Sudiang, sebuah wilayah Makassar yang kadang dirisak sebagai kawasan luar kota Makassar.

Dengan tergesa, kujangkau jalan raya, mencegat pete’-pete’ (sebutan bagi angkot di Makassar) dengan tujuan ke pusat kota. Kurang lima menit pukul tujuh pagi, aku turun dari pete’-pete’, tepat di depan pintu masuk Kantor Gubernur Sulawesi Selatan lalu berlari masuk menuju lapangan upacara di halaman belakang. Tapi apa lacur? Tak ada sesiapa di lapangan itu, hanya rumput yang bermandi cahara matahari. Pelaksana mencariku di ponsel, mengapa aku terlambat? Dalihku, aku sudah di lokasi, tapi tak ada satupun peserta upacara.

“Kamu di mana?” Suaranya memburu dari balik pelantang suara di ponsel.

“Aku di lapangan upacara Kantor Gubernur, Bu!” Jawabku.

“Astaga, upacara bukan di situ.”

“Lalu di mana, Bu?”

“Di Gubernuran.”

“Di mana itu?”

“Di jalan Hasanuddin. Segera ke sini.”

“Baik, Bu.”

Aku berlari, kembali menumpangi angkot, menuju tempat upacara. Sepanjang jalan, aku merutuki diri yang tak mengetahui bahwa Kantor Gubernur dengan Gubernuran adalah dua tempat yang berbeda.

Tentu saja, begitu tiba di Gubernuran, aku sudah terlambat. Peserta upacara telah bubar, tinggal beberapa orang yang berada di bawah tenda tamu kehormatan. Kukontak panitia, yang ternyata masih menanti kedatanganku dengan sabar di bawah tenda. Segera kusambangi seorang perempuan yang melambaikan tangan begitu pandang mataku tertuju padanya. Di dekatnya, duduk seorang lagi. Sepertinya, mereka berdua sepakat menantiku.

Aku mendekat, lalu berkenalan. Perempuan yang berdiri adalah yang meneleponku tadi, Tuty Suciaty Razak namanya, penanggungjawab kegiatan lomba menulis. Sementara ia yang duduk, adalah salah seorang peserta yang menjadi juara I, Faidah Azuz Sialana. Dengan siap ibu Tuty menyerahkan plakat dan sejumlah uang sebagai hadiah bagi juara II, kepadaku. Betapa senang hatiku.

“Kamu anak HMI?” Tanya ibu Tuty.

“Iya, Bu.”

“Wah, keluarga hijau hitam berarti.” Tanggapnya.

“Ca Ida juga HMI, dari Cabang Ambon.” Lanjut ibu Tuty sambil menunjuk ke ibu Faidah. Kami lalu bercerita tentang berbagai hal, terutama soal dunia kepenulisan, kepemimpinan di Sulsel, dan tentu saja, pengalaman ber-HMI hingga pertemuan bubar. Aku yang paling pertama meninggalkan lokasi. Sejak itu, aku tak lagi menyapanya ibu, melainkan kak, atau yunda. Sementara sang juara I, kusapa dengan kak, yunda, serta seringkali caca.

Itu awal aku mengenal perempuan mungil bermata teduh, dengan bibir yang senantiasa tersenyum. Pasca perjumpaan itu, aku masih sering berinteraksi dengan kakak yang baik hati itu, terutama Kak Tuty, dalam urusan tulis menulis. Aku yang masih juga pengacara, dilibatkan dalam pengelolaan Buletin Info Sulsel yang diterbitkan oleh kantornya Kak Tuty, hingga awal tahun 2008, tentu dengan honor yang lumayan membantu bagi seorang nomaden seperti aku. Hingga akhirnya saya dinyatakan lulus menjadi CPNS Pemprov. Sulsel dan resmi mengenakan baju dinas pada April 2008.

Jelang penerimaan SK sebagai CPNS, Kak Tuty sekali lagi memberiku bantuan tak berpamrih yang tak akan bisa kulupa. Siang itu, sehari sebelum penerimaan SK, saat mengambil undangan dari BKD Prov. Sulsel, aku bingung karena ternyata harus mengenakan baju seragam warna khaky.  Tak ada waktu untuk menyiapkannya. Maka dengan tergopoh, kutemui Kak Tuty. Seperti sebelum-sebelumnya, beliau dengan tulus membantu meminjamkan seragam dari stafnya.

Setelah aktif masuk kantor di Inspektorat Prov. Sulsel, intensitas perjumpaan dengan Kak Tuty menjadi berkurang, kami hanya komunikasi via media sosial. Apalagi sejak beliau pindah ke Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Kampus Sulawesi Selatan, aku seperti kehilangan jejaknya, meski sesekali masih kuintip dan menyapanya dinding facebooknya.

Pada akhir tahun 2020, tiba-tiba Kak Tuty kembali membuatku terharu, kakak yang baik hati itu tak pernah melupakanku, adik yang seringkali merepotkannya. Beliau merekomendasikan namaku ke pengelola portal http://sulselprov.go.id untuk menggantikannya mengisi rubrik opini di media resmi Pemprov. Sulsel tersebut. Kutunaikan amanah beliau dengan sebaik-baiknya sebagai bentuk penghargaan dan terimakasih atas kepercayaannya padaku.

Oh ya, satu hal paling kuingat adalah sarannya yang mampu mengubah kebiasaan ku menggunakan tas model jinjing menjadi tas model ransel. Sebelum mengenal Kak Tuty, aku termasuk fanatik menggunakan tas jinjing, bahkan untuk pakaian sekalipun. Tapi sejak malam itu (lupa tahun berapa), Kak Tuty berhasil mengubah seleraku mengenai pilihan model tas yang pas, terutama saat mengendarai motor.

Malam itu, saat menuntaskan percakapan soal beberapa tulisanku yang kuperlihatkan padanya di ruang tamu rumahnya di Jalan Nuri No. 24 Makassar, aku pamit untuk pulang ke Takalar (saat itu aku masih bolak-balik Makassar-Takalar). Sambil mengantarku hingga ke pinggir jalan menunggangi motorku, Kak Tuty berkomentar lirih, “Coba pakai tas ransel, akan lebih praktis itu.” Usulnya kubalas dengan senyum, dan sejak saat itu, hingga kini, aku senantiasa mengenakan tas ransel, termasuk bila tugas ke luar daerah dengan membawa persediaan pakaian ganti yang lumayan bejibun.

Lalu setahun lalu, mataku tiba pada laman Facebook-nya, 4 Juni 2021. Ucapan berduka berseliweran di sana. Sejak lama tak bertukar kabar, mataku nanar menatap. Kak Tuty berpulang, memenuhi panggilan Tuhannya. Tak cukup kata mengucap duka, aku tergugu, tertunduk kelu. Kakak yang baik itu telah menunaikan tugasnya. Temui Rabmu dengan senyum terindahmu Kak, doaku menyertaimu selalu. Hari ini, izinkan aku kembali mengenang kebaikan-kebaikanmu, dan memanjatkan doa untukmu.

Ilustrasi: Sitti Rofiqoh Razak

(Visited 98 times, 1 visits today)
Avatar photo

By Kasman McTutu

ASN yang mencintai puisi, hujan dinihari, dan embun pagi. Menerbitkan kumpulan cerpen Mata Itu Aku Kenal (LeutikaPrio, Januari 2012), Kumpulan artikel Reinventing Tjokro (Ellunar Publisher, Oktober 2020), dan kumpulan cerpen Adikku Daeng Serang (Pakalawaki, Maret 2021)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

%d blogger menyukai ini: