Padang,
Manuskrip apa yang bisa ditulis tentang Padang?
Reminisensi apa yang mesti diluapkan tentang Padang?
Splendor apa yang harus dipekikkan terhadap kota ini?
Padang?
Adalah sebuah kota lama dengan bongkahan peradabannya. Jika bumi Pasundan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum, mungkin Ranah Padang dirajut Tuhan dengan benang-benang terbaikNya. Hamparan perbukitannya menyuguh rindu untuk kembali, gemulai riak lautannya membentang asa agar tak pergi.
Menyelisik tentang Padang, bukan hanya tentang tiang-tiang pancang yang membatasi geografisnya, bukan jua tentang dari pangkal Koto Tangah ke ujung Sungai Pisang, dari bukit Karang Putih ke Samudera Hindia. Namun, Padang adalah Minang, adalah ruang berkembangnya adat dan budaya Minangkabau, adalah tanah pijakan para pemikir-pemikir hebat yang membentuk negeri ini.
CERMIN MENGABUR,
Jauh sebelum Nusantara ini merekat, kaidah-kaidah hukum sudah tertata rapi melalui adatnya. Budayanya sudah merentak-rentak gemilang menawarkan riang. Yang tak kalah luar biasa adalah filosofi hidup yang menata kehidupan bermasyarakatnya “Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Syarak mangato, adat mamakai” artinya adat dan agama Islam berkait rapat di Minangkabau. Jika ditelaah lebih dalam, para tetua adat Minangkabau bahkan telah membagi tingkatan adat secara mendetail, ada Adat Nan Sabana Adat di tingkat pertama, terdapat Adat Nan Diadatkan di tingkat berikutnya, ada Adat Nan Taradat dibawahnya, barulah Adat Istiadat sebagai penutup.
Minangkabau juga sudah menitahkan tugas dan fungsi orang-orang yang akan mengatur kehidupan masyarakat melalui Urang Nan Ampek Jinih. Pangulu sebagai pemimpin dalam kaum laksana bumi yang membentang alam semesta, diatas mana sesuatunya berdiri. “Kato Pangulu kato pusako, Pangulu tagak di pintu bana, Mahukum adia bakato bana”. Ada Manti sebagai administrator dalam pengejawantahan tata laksana adat, Manti diibaratkan laksana angin yang membisik, menghembus setiap peristiwa elok lagipun buruk, “Manti tagak di pintu sangketo, Manuntuik anak buah kalau basalah”. Selanjutnya Dubalang yang bertugas menjaga masyarakat adat, diibaratkan laksana api yang membakar segala bara kejahatan, tegas menghadang dan menghantam segala upaya yang mengancam kemaslahatan masyarakat, “Kareh di takik, kok lunak dubalang sudu”. Orang keempat adalah Malin yang difungsikan sebagai penjaga keseimbangan adat dan agama, Malin ibarat gelodo yang menghanyutkan semua bala, laksana air yang menyejuk qalbu, “Hukum adat babuhua sentak, Hukum agamo babuhua mati, Malin nan tagak di pintu syarak, Suluah bendang dalam nagari”.
Jikalah dilayangkan pandang ke budaya dan keseniannya, sungguhlah menggebubung tanya pikir. Adat, budaya, kesenian hingga alam Minangkabau seperti dilukis dengan kuas dari bulu Eiderdown bergagang logam rhodium. Jikalah Tuan dan Puan sangsi akan dahsyat dan uniknya Minangkabau, silakan Tuan dan Puan Tanya pada Gunung Merapi, muncung kawahnya akan berteriak lantang jika mahakarya terbaik itu ada disini, di bumi Minangkabau. Kalaulah Rang mudo basilek jo manari Randai, maka berdendanglah segala bunyi-bunyian. Talempong jo Gandang Tasa tingkah-batingkah, pupuik liole baibo hati. Marawa tagak sabalik medan, Kok makan tak buliah mahabihkan, Mancancang tak buliah mamutuihkan begitulah umpama adat dan budaya Minangkabau.
Sayangnya buah fikir dan buah karya para tetua ini sudah mulai termarjinalkan, adat dan budaya bukan lagi mengalami pergeseran, namun sudah beralih dan terposisikan ditempat yang mengkhawatirkan “jalan diasak urang lalu, cupak dipapek rang panggaleh”, artinya adat budaya Minangkabau tak lagi terletak pada teras pemikiran masyarakatnya, namun secara tidak sadar sudah terposisikan di dapur cakrawala berpikir.
Dalam sebuah perjalanan awang-awang, penulis pernah berkeluh kesah tentang terkuburnya adat budaya hebat ini, dalam gawai penulis mencoba menuntaskan kerinduan akan kaya raya budaya Minangkabau tersebut pada segumpal syair rindu berikut,
PUAN SIRAMA-RAMA,
Awang-awang Sunda Kelapa (setahun dulu)
Gelegar candu menyair ialah,
Setiap pengelanaan laksana risalah,
Kidung lena pun panjang kalanya,
Mantik berpacu terpantik daya.
Sierra Leone misalkan,
Sedekade sudah dihantam kelaparan,
Ebola melumat angan-angan,
Namun kepakan hayal selalu mengawan.
Sebut pula nganga pandemi,
Berurat berakar menyapu negeri,
Retorika jelata adalah rekayasa,
Berpeluh asa penguasa lawan sengsara.
Di ketinggian berkilo depa ini,
Serebrum ku memikir Nagari,
Mencuat ego mencabik imaji,
Andai Endong dan Deta berselaras peradaban,
Rabab jo Sampelong meraja jaman,
Sungguhlah Minang julang menawan.
Laksana PUAN SIRAMA-RAMA,
Bulu berminyak sayap berbunga,
Jinak bak rasa terkampungi,
Rupanya liar Allahurabbi,
Selingkar mati geli genggaman,
Serupa bibir ditepi cawan.
Ahhhh…
Getar unggas besi menyirap darah,
Syair ku buyar tak tentu arah,
Umpama sijundai lahap menjamah.
Ya sudahlah,
Halimun jayakarta tak menyembul sumringah,
Bumantara batavia juga tak sirah merekah,
Aku sudahi dengan langgam keroncong merdu gairah.***
PELITA LAUN MEMADAM,
Beringsut ke pemikiran besar orang-orang Minangkabau, tak bisa dinafikan jika di tanah ini Tuhan menitipkan pemikiran-pemikiran hebat manusia negeri, pemikiran yang turut serta membentuk bangsa ini. Bagaimana negarawannya Bung Hatta, ulungnya Agus Salim dalam berdiplomasi, pekatnya darah Tuanku Imam Bonjol, imajinernya M. Yamin, religius dan sastraisnya Buya Hamka, sederhana nya Mohammad Natsir, kerasnya Tan Malaka, dan sesepuh Minangkabau lainnya dengan konsepsi beragama, berbangsa dan bernegaranya. Jikalah di“inok manuangkan” oleh generasi hari ini tentu akan menegakkan bulu remangnya hingga bergidik, memompa darah-darah optimisme ke ubun kepala, dan membuka cakrawala berfikir dalam menjaga karya besar ini.
Setahun dulu, terdapat sebuah peristiwa yang membuat masyarakat Minangkabau berang memberangsang akibat sebuah statement tokoh negeri ini yang menyangsikan kePancasilaan masyarakat Minangkabau, sumpah serapah dilayangkan oleh masyarakatnya melalui media sosial, masyarakat Minangkabau mulai mengungkit-ungkit jasa dan hebatnya tokoh Minangkabau saisuak. Amarah penulis juga meledak, dendam mengucur menyembur-nyembur ke ubun kepala. Namun amarah bukan penulis layangkan kepada tokoh negeri yang telah menyayat hati masyarakat Minangkabau, tapi amarah penulis tujukan kepada masyarakat Minangkabau yang tak lagi mampu menjaga waris pemikiran, adat dan budaya hebat mereka.
Amarah itu penulis tumpahkan tepat saat salah satu tokoh Minangkabau berulang tahun dalam serumpun sajak:
PATIK TERLUPA TUAN,
Assalamualaikum, Wr… wb…
Yth. TUAN Masyhudul Haq/The Grand Old Man/K.H Agus Salim
Belum sewindu,
Selingkar Nagari mengagungkan Tuan,
Semesta ranah hingga rantau mengungkit pusaka pemikiran Tuan,
Nama Tuan beserta Tuan-tuan hebat lainnya menggelegar hingga ke puncak Mandala,
Intelektual Tuan membahana ke sudut-sudut kampung,
Bahkan di kedai kopi tempat berKoa pun menyajikan riwayat Tuan,
Di tengah jeda para tua mengonggok ikan hasil tangkapan.
Hari ini,
Seabad, tiga dasawarsa, selustrum, setahun dulu,
Tepat di Delapan Oktober Seribu Delapan Ratus Delapan Puluh Empat,
Tuan membumi,
Tangis perdana Tuan adalah lengkingan asa Indonesia,
Tawa mula Tuan seakan berpantul-pantul merangkai Nusantara.
Tapi Tuan,
Maaf seribu kali maaf Tuan,
Membumi Tuan tak segagah pekan itu,
Patik terlupa Tuan,
Terlupa akan semburan ideologi Tuan beratus tahun lalu,
Terlupa lagi akan goresan karya Tuan untuk negeri ini,
Mungkin, butuh sembilu menimbul perih,
baru kami ingat Tuan kembali.
Rupanya tuan,
Sasudah di caliak dipareso,
Nyato lah mumuak pakayuannyo,
Tunggak condong sandi lah ratak,
Paran tagajai lapeh pasak,
Rasuak parancah lah maranggang,
Jariayau lah patah pulo,
Atok tirih kasau lah caia,
Lantai lapuak janjang tagantuang,
dindiang nan indak elok lai,
Baitu lah misal jo umpamo nasib Ideologi Tuan kutiko kini.
TUAN!!!
SALAMAIK ULANG TAUN***
Benar para moyang kita pemikir hebat, letupan-letupan gagasan merekalah yang ikut merangkai nusantara ini. Tapi ada yang kita lupa, kita tidak lagi merawat idealisme mereka, budaya mereka, waris istiadat mereka. Kita hanya berisik saat diusik, selepas itu kembali tak peduli, tak lagi menghadirkan Buya Hamka, Raja Melewar, Rohana Kudus, Siti Manggopoh kekinian. Saluang, Bansi, ataupun Randai diobral murah dalam pergelaran kaki lima pun kita tak peduli.
CAMIN NAN INDAK NAMUAH KABUA,
PALITO NAN INDAK KUNJUANG PADAM.
Apa korelasinya dengan Kota Padang berkenaan 2 (dua) pembahasan diatas?
Yah, Kota Padang adalah episentrum tempat bertumbuh dan berkembangnya masyarakat Minangkabau. Ibukota Provinsi yang memiliki fasilitas penunjang dalam mengaktualisasikan adat, budaya dan pemikiran Minangkabau dibandingkan dengan Kabupaten dan Kota lainnya di Sumatera Barat. Kota Padang tak cukup daya dalam membangun hamparan industri di tengah masyarakatnya, hal terbaik yang mesti dilakukan adalah bagaimana Kota Padang mampu mengkolaborasikan adat dan budaya Minangkabau dengan budaya heterogen saat ini, serta menjadikan Kota Padang sebagai industri otak dengan bekal pemikiran besar para tokoh terdahulunya yang dikemas melalui kegiatan kepariwisataan dan kependidikan.
Pada tahun 2011 penulis pernah serius menggarap mimpi ini melalui wahana kepariwisataan, melalui Desa Wisata Kampuang Bunguih penulis berhasil mencuatkan konsep ini hingga menjadi 10 desa wisata terbaik tingkat nasional dari 973 desa wisata binaan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dan menjadi Terbaik I pada Regional Sumatera. Dalam grand desainnya penulis bermimpi untuk menghadirkan konsep kehidupan “Minangkabau Saisuak”, adanya sebuah kawasan yang dipugar sebagai perkampungan Minangkabau lama tanpa tersentuh teknologi modern. Rumah Gadang dengan deretan Rangkiang dihalamannya, malam harinya hanya lampu togok dan lampu petromak berkawan cahaya bulan, rentak telapak kaki bendi dan padati di jalan tanah. Suara rabab, saluang, talempong mengaing-ngaing dihantar angin, palanta-palanta lapau yang menyuguhkan penganan lama. Jika menilik ke gugusan pantai, berderai gelak menyaksikan wisatawan senjang-senjuik maelo pukek, ada biduak laia yang memburu laut, dan kegiatan orisinil yang mampu mengedukasi wisatawan. Aaaahhh… sungguh Minang julang menawan, namun konsep ini masih urung terwujud.
Kota Padang semestinya melirik potensi ini sebagai sumber kepariwisataan baru bagi masyarakatnya. Dewasa ini Kota Padang hanya menjadi daerah persinggahan bagi wisatawan saat mereka akan melanjutkan perjalanannya ke Kawasan Mandeh, Bukittinggi, Harau dan daerah yang lebih mampu mengelola ikon kepariwisataannya. Sementara Kota Padang hanya memiliki hamparan Taplau (Tapi Lauik) yang nyaris tak ada pergelaran kesenian. Hanya pengamen, pedagang kaki lima dan parkir liar yang tak mampu-mampu jua ditertibkan. Ini membuktikan Kota Padang belum mumpuni dalam menyusun konsep kepariwisataan dan belum menjadikan potensi besar Minangkabau sebagai salah satu sasaran strategis dalam meningkatkan perekonomian masyarakatnya.
Sebenarnya sederhana saja untuk menggenderangkan budaya ini. Sepekan sekali pegawai pemerintahan, swasta, pelaku usaha hingga masyarakatnya diwajibkan memakai Deta, Galembong, dan baju kurung basiba bagi perempuannya. Setiap jenis usaha yang berorientasi kepariwisataan wajib menghadirkan kesenian tradisional di teras usahanya dengan cara meletakkan para pelaku kesenian adat (Rabab, Talempong, Saluang, Bansi) yang hari ini mengais receh di SPBU, rumah makan, dan pergelaran kaki lima lainnya. Memfasilitasi kegiatan-kegiatan Kenagarian melalui event-event adat yang dimodernisasi, penulis yakin Kota Padang belum memiliki database yang akurat tentang aktivitas adat dan budaya di kota Padang (jumlah Tokoh Adat, Komunitas Adat, Sasaran Silek/Randai, Kesenian yang masih aktif, Potensi Adat dan Budaya, dan hal lainnya). Dan puncaknya dihelat pesta adat melalui PADANG AWARD, dimana Pemerintah Kota Padang memberikan penghargaan dan pengakuan terhadap pencapaian warganya dilintas bidang.
Terhadap menjaga dan mengelola pemikiran besar tokoh Minangkabau, kegiatan ini bisa dilakukan melalui forum-forum diskusi dan seminar membedah pemikiran Tokoh Minangkabau melalui Sekolah-sekolah, Universitas, maupun melalui coffee-coffe shop dan spot-spot wisata lainnya yang ada di Kota Padang, tentunya kegiatan ini dikemas lebih menarik dengan konsep kekinian. Artinya apa, aktifitas Keminangkabauan tersebut dengan sendirinya mampu mengedukasi masyarakat untuk menjaga dan membumikan kembali nilai-nilai yang mulai digerus peradaban.
Penulis yang terlahir dari remahan kehidupan Minangkabau saisuak, yang masih sempat merasakan lalok di surau hingga maunjua di palanta lapau, barandai dan menyalin tambo di sasaran silek Angku Bujang Marantang, merasa benar-benar kehilangan akan budaya hebat ini. Kecintaan dan kebanggaan terus penulis dengungkan. Dalam kehidupan sehari-hari misalnya, saat para orang tua bermigrasi ke Timur Tengah dalam penamaan anaknya, penulis justru menyematkan nama saisuak kepada anak-anak penulis. Sabai Raminang dan Tan Randai Alminangkabawi, sepasang nama yang terdengar asing bagi telinga orang Minang sendiri.
“Alah limau dek mindalu,
hilang pusako dek pancarian”.
Jikalah peradaban tak rela dihisap dan ditimpa oleh budaya heterogen, agar kesadaran diri
tak lumpuh dalam menjaga dan menggali nilai-nilai adat dan budaya. Pemerintah Kota
Padang harus melakukan kajian ilmiah dan merumuskan program-program strategis
dibidang kepariwisataan dan kependidikan untuk menjadikan Adat, Budaya dan Pemikiran
besar Tokoh Minangkabau sebagai destinasi wisata budaya dan pusat beradu pikir bagi
generasi saat ini.
“Baitu barih balabiahnyo,
dari luhak maso dahulu,
kok tidak disigi dipanyato,
lipuah lah jajak nan dahulu.”
Maka,
“Bapuntuang suluah sia,
baka upeh racun sayak batabuang,
paluak pangku Adat nan kaka,
kalangik tuah malambuang”.