Oleh: Muhammad Sadar*

Komoditas padi adalah salah satu sumber pangan utama penghasil karbohidrat masyarakat Indonesia yang ketersediaannya harus terjaga sepanjang musim. Dalam proses on-farm padi,
dilakukan berbagai upaya dan strategi, antara lain dengan perluasan areal tanam, pencetakan sawah baru, optimalisasi lahan, peningkatan indeks pertanaman, rekayasa teknologi dan sosial, serta peningkatan produktivitas.

Tindakan peningkatan produktivitas dilakukan melalui kegiatan penggunaan varietas unggul, aplikasi pupuk berimbang, penerapan teknologi panen/pascapanen, dan pengamanan produksi. Khusus unit pengamanan produksi, ditempuh melalui mekanisme perlindungan tanaman dengan cara pengendalian organisme pengganggu tumbuhan biasa disebut OPT, seperti hama, penyakit, dan gulma tanaman.

Menurut Untung (2003), potensi hasil pertanian Indonesia rata-rata hilang 30% akibat hama sehingga mengakibatkan kerugian triliunan rupiah. Bahkan, pada produksi padi nasional, potensi kehilangan hasil mencapai sekitar 35 juta ton gabah atau senilai Rp52,5 triliun. Kehilangan hasil pertanian oleh hama itu terjadi di semua kelompok tanaman, termasuk pada komoditas perkebunan, hortikultura, dan semua daur agrobisnis sejak persiapan lahan dan benih/bibit, pesemaian/perbibitan, pertanaman, proses panen, pengangkutan, penyimpanan, hingga peredaran produk pertanian.

Guna menghindarkan kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan oleh hama, maka sejak manusia mengenal sistem budidaya tanaman, mereka selalu berusaha untuk memberantas, membunuh, atau jika perlu memusnahkan hama. Berbagai teknik pengendalian dilakukan baik secara mekanik maupun secara kimiawi.

Dari pengalaman selama ini bisa dibuktikan bahwa hama tanaman bukan makhluk yang mudah ditaklukkan manusia, meskipun digunakan pestisida yang paling beracun. Pengendalian hama dengan bahan kimia beracun justru menimbulkan permasalahan baru pada agroekosistem.

Dinamika penggunaan pestisida kimiawi sintetik secara cepat dan mendunia sejak dekade tahun 1950 yang seakan memberi guaranted pada petani bahwa permasalahan hama telah dapat diselesaikan.
Namun, harapan tersebut nihil dan tidak signifikan menyelesaikan gangguan hama pada tanaman.
Fenomena ini mendorong lahirnya konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT) atau Integrated Pest Management (IPM).

Tokoh yang pertama menciptakan konsep PHT/IPM tersebut adalah Stern et al. (1959). Beliau mengemukakan bahwa pengendalian hama perlu dilakukan secara terpadu yaitu mengintegerasikan berbagai teknik pengendalian hama yang tersedia, termasuk pestisida. Namun, pemanfaatannya merupakan alternatif terakhir jika cara lain tidak mampu mengendalikan populasi hama yang sudah melampaui ambang ekonomi.

Pemerintah Indonesia telah menerima PHT sebagai satu-satunya kebijakan perlindungan tanaman berdasarkan amanah UU No. 12 Tahun 1992 tentang Budidaya Tanaman. Menurut UU tersebut, yang dimaksud dengan PHT adalah upaya pengendalian populasi atau tingkat serangan OPT dengan menggunakan lebih dari satu atau berbagai teknik pengendalian yang dikembangkan dalam satu kesatuan, untuk mencegah timbulnya kerusakan secara ekonomis, dan kerusakan lingkungan hidup. Dalam sistem ini, penggunaan pestisida merupakan pilihan terakhir. Secara yuridis, pemerintah telah menerima atau mengikuti paradigma PHT klasik, demikian juga dalam penerapan PHT dengan pendekatan teknologi.

Pelaksanaan PHT terletak pada paduan berbagai teknik pengendalian hama atau komponen PHT,
antara lain: pengendalian secara fisik, mekanik dan kultur teknis, penggunaan varietas/galur/klon resisten, pengendalian hayati/nabati, maupun pengendalian dengan regulasi sedemikian rupa sehingga populasi hama dapat dipertahankan tetap berada di bawah ambang ekonomi. Pengendalian lebih mengutamakan pada berfungsinya faktor pengendali alami seperti predator, parasitoid, dan patogen hama. Apabila dengan penggabungan teknik pengendalian hama tersebut populasi hama tetap meningkat hingga melampaui ambang ekonomi, maka intervensi pestisida kimia diperlukan secara selektif.

Pandangan PHT yang ideal adalah OPT bukan dianggap sebagai musuh, akan tetapi setiap pelaku usaha tani harus hidup berdampingan dengannya. Perlu disadari bahwa hama adalah komponen ekosistem. Jika diberi perlakuan berlebihan, akan terjadi ketidakseimbangan dan menimbulkan gejolak seperti resistensi, resurjensi, dan munculnya hama baru/hama sekunder secara eksplosif. Dalam implementasinya, PHT dilakukan dengan memanipulasi faktor-faktor lingkungan yang menghambat perkembangan populasi hama sehingga eksistensi hama berkurang dan kerusakan yang ditimbukannya tidak sampai menyebabkan efek negatif (La Daha, 2007).

Paradigma baru dalam penerapan PHT adalah memberdayakan petani sebagai pelaku utama sehingga mampu mengelola usaha taninya menjadi agrobisnis yang berbasis PHT. Pada konsep ini, petani diharapkan bisa mengambil keputusan pengelolaan agroekosistem di areal pertanamannya secara optimal dan berkelanjutan berdasarkan prinsip-prinsip PHT sebagai berikut.
(1) budidaya tanaman sehat;
(2) pelestarian musuh alami;
(3) pengamatan periodik; dan
(4) petani sebagai ahli PHT.

PHT merupakan suatu cara pengelolaan OPT yang memperhatikan faktor teknis, ekonomis, ekologis, dan sosiologis. Pengelolaan OPT diarahkan pada metode yang ramah lingkungan dan aman terhadap manusia. Penanganan dengan cara seperti ini menjadi semakin penting di era globalisasi karena produk pertanian merupakan komoditi besar yang menjadi bahan konsumsi masyarakat dunia yang mensyaratkan adanya pangan yang bermutu dan bebas residu kimia serta memenuhi preferensi aman bagi lingkungan.

Barru, 20 November 2023

*Penguji Perbenihan/Perbibitan TPHBun Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Barru

(Visited 99 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.