Corruption is worse than prostitution. The latter might endanger the morals of an individual, the former invariably endangers the morals of the entire country. (Korupsi lebih buruk ketimbang prostitusi. Yang terakhir mungkin membahayakan moral individu, tapi yang pertama dalam semua kasus membahayakan moral seluruh negeri)

Karl Krauss, penulis satire dan jurnalis Austria (1874-1936) yang menaruh perhatian terhadap isu korupsi, seperti novelis George Orwell.

Di sektor publik, praktik-praktik kecurangan bisa berupa manipulasi pelaporan keuangan (fraudulent statement), penyalahgunaan aset (asset misappropriation), dan korupsi (corruption). Korupsi merupakan salah satu bentuk kecurangan (fraud) terhadap aset negara baik dilakukan secara individu maupun berkelompok/berjamaah. Para pelaku cenderung “orang-orang cerdas dan mampu menutupi kecurangan”, selain itu “mereka juga memiliki kemampuan untuk menutupi perbuatan mereka dengan cara bekerja sama dengan pihak lain untuk menghapus jejak perbuatan”, demikian tulis Ardeno Kurniawan dalam bukunya Fraud di Sektor Publik dan Integritas Nasional (2014).

Di sisi lain, “budaya korupsi” mewabah, seperti di Indonesia, karena adanya “Tahu Sama Tahu” (TST) di berbagai birokrasi, tutur DS Octariano Widiantoro dalam “Menggugat Toleransi Moral dan Budaya Permisif Topeng Relativisme Moral Praktiks” (2006). “Pegawai pada suatu instansi menjadi permisif dan toleran terhadap korupsi karena semua orang dari atas ke bawah terlibat dalam korupsi berjamaah,” ia menambahkan.

Fenomena seperti itu kian menguatkan pemikiran filsuf Jerman Theodor Adorno, “…godaan terbesar manusia di dalam dunia yang sudah korup oleh kejahatan adalah berbuat baik. Orang yang berbuat baik haruslah bersiap dengan konsekuensi, bahwa dia akan mengalami bahaya serta kesulitan besar,” dikutip dari buku Filsafat Antikorupsi: Membedah Hasrat Kuasa, Pemburuan Kenikmatan, dan Sisi Hewani Manusia di Balik Korupsi (2012) karya Reza AA Wattimena.

Dalam Sosiologi Korupsi: Sebuah Penjelajahan dengan Data Kontemporer (1981), Syed Hussein Alatas, sosiolog juga politisi Malaysia, menyebutkan terdapat tiga fenomena yang mencakup dalam istilah korupsi, antara lain penyuapan (bribery), pemerasan (extortion), dan nepotisme. “Pada pokoknya ada suatu benang merah yang menghubungkan tiga tipe fenomena tersebut, yaitu penempatan kepentingan-kepentingan publik di bawah tujuan-tujuan privat dengan pelanggaran norma-norma tugas dan kesejahteraan, yang dibarengi dengan keserbarahasiaan, penghianatan, penipuan, dan pengabaian yang kejam atas setiap konsekuensi yang diderita oleh publik,” tulis Alatas.

Dalam bukunya itu pula, Alatas juga mendedahkan tujuh tipologi korupsi:

  1. Korupsi transaktif (transactive corruption). Ada kesepakatan timbal balik antara pemberi dan penerima demi keuntungan kedua belah pihak. Keduanya dengan aktif mengusahakan agar tercapai keuntungan masing-masin
  2. Korupsi memeras (extortive corruption). Terjadi pemerasan dari pelaku; biasanya pegawai negeri memaksa swasta atau masyarakat memberikan sejumlah uang agar urusannya cepat selesai, seperti perizinan dan lain-lain. Pemberi dipaksa untuk memberikan suap guna mencegah kerugian yang sedang mengancam dirinya, kepentingan, atau orang-orang dan hal-hal yang dihargainya.
  3. Korupsi defensif (defensive crorruption). Ini terkait dengan korupsi memeras, di mana korban dari pemerasan terlibat korupsi karena ingin mempertahankan diri dan/atau mencari rasa aman atas diri dan/atau orang lain yang terkait dengannya.
  4. Korupsi investif (investive corruption). Biasanya berbentuk pemberian barang dan/atau jasa kepada pihak lain tanpa ada keterhubungan langsung dengan keuntungan tertentu, selain keuntungan yang akan dibayangkan untuk didapat di kelak kemudian hari. Pendek kata, pemberian tersebut sebagai tanam budi.
  5. Korupsi kekerabatan atau nepotistik (nepotistic corruption). Bentuknya berupakan penunjukan tidak sah kepada teman atau sanak-saudara untuk menduduki jabatan dalam pemerintahan, atau tindakan yang memberikan perlakuan yang mengutamakan, dalam bentuk uang atau bentuk-bentuk lain yang bertentangan dengan norma dan peraturan berlaku.
  6. Korupsi autogenik (autogenic corruption). Perbuatan ini berbentuk tindakan koruptif yang hanya dilakukan seorang diri, tanpa melibatkan orang lain. Pelaku biasanya memiliki kesempatan dan pengetahuan atas suatu hal yang tidak diketahui orang lain. Misal, anggota DPR tahu akan ada pengembangan fasilitas umum maupun di wilayah A. Lalu, anggota itu meminta kawannya untuk membeli tanah di situ dengan harga murah. Tanah lalu dijual kembali dengan keuntungan berlipat.
  7. Korupsi dukungan (supportive corruption). Perilaku culas di sini yaitu memberikan peluang bagi terjadinya praktik korupsi di sebuah organisasi. Sederhananya, ada upaya dari pihak-pihak tertentu untuk melindungi dan mendukung terjadinya korupsi di organisasi tersebut

Sementara itu, dalam Sosiologi Korupsi: Kajian Multiperspektif, Integralistik, dan Pencegahannya (2019) disebutkan bahwa Heidenheimer (1993) dalam artikelnya “Perspektif Atas Persepsi tentang Korupsi” memberikan tambahan tentang jenis korupsi, yaitu:

Korupsi kecil. Korupsi ini berbentuk pembelokan peraturan demi kepentingan teman dan/atau keluarganya.

Korupsi rutin. Korupsi ini terjadi secara berkala yang dilakukan pegawai negara/pejabat pemerintah dan/atau suatu partai politik. Misalnya, kebiasaan memberikan hadiah ultah atau perayaan tertentu kepada petinggi negara atau pemerintah. Perilaku ini cenderung berimbas pada korupsi kekerabatan dan korupsi investif.

Korupsi yang menjengkelkan. Korupsi yang terjadi telah begitu luas di masyarakat, dari jenjang bawah hingga atas, sehingga masyarakat merasa dibuat jengkel. Jadi, masyarakat yang ingin mendapatkan layanan publik sedikit-sedikit harus keluar uang pelicin atau lainnya.

Sosiolog George Aditjondro dalam bukunya Korupsi Kepresidenan Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga: Istana, Tangsi, dan Partai Penguasa (2006), memberikan perspektif lain tentang tiga lapisan korupsi yang didasarkan dari pendapat beberapa ahli yang mengkaji tentang korupsi.

Pertama, korupsi lapisan pertama. Ini menyangkut bidang yang langsung. Bersentuhan antara warga dan birokrasi atau aparat negara. Dalam lapisan ini, perilaku korupsi terbagi dua yaitu suap dan pemerasan.

Kedua, korupsi laporan kedua. Lapisan ini meliputi lingkaran dalam di pusat pemerintahan yang melibatkan antarbirokrat, politisi, aparat hukum, dan perusahaan yang mendapatkan kedudukan istimewa. Ada tiga hal korupsi di lapisan ini, yaitu nepotisme, kronisme, dan kelas baru (mereka yang mengambil kebijakan dan yang menerima kemudahan dalam bidang usahanya telah menjadi kesatuan yang organik).

Ketiga, korupsi lapisan ketiga. Lapisan ini praktik korupsi telah berjejaring meliputi birokrat, politisi, penegak hukum, perusahaan negara dan swasta. Ruang lingkup korupsi nasional dan internasional. Menurut Aditjondro, korupsi lapis ini bisa melibatkan lembaga hukum, pendidikan, dan penelitian yang memberikan kesan “objektif” dan “ilmiah” terhadap kebijakan jejaring yang koruptif.[]

Pendidikan adalah senjata paling ampuh melawan korupsi.

sdm

aclc@kpk.go.id

Copyright Pusat Edukasi Antikorupsi © 2022

Diberdayakan Oleh :

Dr.Sudirman,S.Pd.,M.Si.

Dosen PAK

(Visited 128 times, 1 visits today)
Avatar photo

By Sudirman Muhammadiyah

Dr. Sudirman, S. Pd., M. Si. Dosen|Peneliti|Penulis| penggiat media sosial| HARTA|TAHTA|BUKU|

3 thoughts on “Pendidikan Anti Korupsi (PAK) : Tipologi-tipologi Korupsi”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.