Nela adalah sahabat karibku. Kami tumbuh di lingkungan yang sama, teman bermain sejak kecil, sekaligus teman di sekolah, mulai dari duduk di bangku SD, SMP, hingga menamatkan SMA. Dia selalu hadir untukku, baik dalam sedih maupun bahagia. Aku nyaman bersamanya, pun begitu sebaliknya. Ternyata dari kenyamanan itulah timbul benih-benih cinta yang tidak seharusnya tumbuh, merobohkan tembok keimananku.
Semakin larut dan larut dalam buaian kasih sayang. Tak menghiraukan sindiran dan kata orang, tak peduli setiap mata yang memandang dengan alasan karena tak merugikan orang.
Telingaku semakin panas, bisikan tak mengenakkan semakin merasuk dan menusuk tulang rusuk.
Tak ada jalan lain selain menghilangkan jejak dari sorotan tetangga bahkan keluarga. Cinta terlarang yang mendapat banyak hujatan dan kecaman. Tak tahan dengan cibiran, akhirnya setelah menamatkan pendidikan SMA, aku dan Nela nekat untuk meninggalkan tanah kelahiran dengan alasan untuk memuluskan sebuah hubungan.
“Bagaimana kalau kita keluar negeri saja? karena aku rasa di sini sudah tidak aman. Aku belum siap andai kita harus berpisah, mungkin dengan keluar negeri adalah jalan terbaik untuk kelanjutan hubungan kita!” bujukku pada Nela.
“Kalau memang itu terbaik untuk kita berdua kenapa tidak? Aku setuju saja, yang terpenting adalah kita selalu bersama,” jawabnya.
Dengan mengambil jalan sebagai buruh migran, akhirnya kami bisa melanglang buana ke beberapa negara tujuan. Mulai dari Malaysia, Singapura, Arab Saudi, dan yang terakhir adalah Hong Kong. Parahnya, kami selalu bersama di setiap negara tujuan dan semua berjalan mulus tanpa hambatan. Ini yang membuat kesempatan kian terbuka dengan lebarnya.
Bertahun-tahun kami menikmati kebebasan yang kebablasan. Di luar negeri, kami begitu bebasnya. Singgah dari hotel ke hotel di setiap negara yang kami tempati. Kami akui perjalanan ini sudah terlampau sangat jauh, akan tetapi kami pun sama-sama tidak berdaya untuk keluar.
Sama-sama pernah merasakan sakitnya dikucilkan teman, kurangnya perhatian dan kasih sayang keluarga, membuat sinyal-sinyal hati kami terikat satu sama lain. Hati kami dibutakan oleh cinta, cinta terlarang yang tidak akan mungkin abadi dan juga sangat dibenci oleh agama.
Hingga pada akhirnya waktu jualah yang menamparku untuk membuka mata lebar-lebar. Ketika tanpa sengaja kedua bola mata ini tertuju pada sebuah majalah, di mana dibagian sampul depan terpampang sangat jelas sekali wajah sang idola. Membaca judulnya hatiku seolah tak percaya, badanku terasa lemas tak ada tenaga. Karena penasaran, akhirnya aku tidak jadi membeli beberapa kebutuhanku, hanya satu yang aku ambil, yaitu majalah tadi.
Setelah membayar, aku pun keluar dari toko, mencari tempat duduk untuk membaca. Kaki dan tangan masih gemetar tak bisa diam. Hati rasanya sakit, dada terasa sesak, susah rasanya untuk bernapas,aku menangis sesenggukan. Hiruk pikuknya Kota Hong Kong dan lalu lalang orang yang berjalan membuat hatiku semakin bergemuruh tak beraturan. Hari libur yang seharusnya aku nikmati, seketika tak ada gairah.
Sang idola meninggal dunia karena kecelakaan tunggal. Yang ada di benakku saat itu adalah bagaimana jika aku juga tiba-tiba meninggal dunia dengan keadaanku yang masih berantakan seperti ini. Aku tiba-tiba merasa malu dengan idolaku. Beliau seolah menertawakanku dan berkata, “Katanya aku ini idolamu, kenapa kamu tidak mengikuti jejakku?”
Ponsel berdering berkali-kali tak kuhiraukan. Pesan singkat dari Nela pun tak kubalas, padahal hari itu aku sudah janjian bertemu dengan Nela, jadwal rutin tiap minggu. Aku hilang gairah, aku syok.
Aku sadar begitu banyak maksiat yang sudah aku lakukan. Namun, sisa iman yang terselip di dalam palung hatiku yang paling dalam seolah mengusikku untuk bangun.
Meskipun berantakan seperti ini, aku masih sempat-sempatnya mendengarkan setiap tausiyah yang dibawakan oleh beliau. Aku terpesona dengan perjalanan hidupnya pun dengan kisah hijrahnya, menurutku sangat menarik. Dakwahnya begitu santai, merangkul tanpa menggurui, ringan namun mengena. Meskipun begitu, tidak secara serta-merta membuatku cepat sadar bahwa aku masih berkubang di lembah yang hitam nan gelap.
Nela berontak ketika aku memutuskan untuk berpisah secara baik-baik. Dibantingnya ponsel hingga hancur menjadi beberapa bagian. Aku berusaha memeluk dan menenangkannya. Nela mendorongku hingga aku pun terjatuh. Kami sama-sama menangis. Tidak banyak kata yang bisa aku ucapkan kepada Nela selain ucapan maaf.
Nela berlalu meninggalkanku, membawa sebongkah luka yang teramat sangat menyayat hati. Sekian tahun bersama, mengolah rasa dengan sejuta kisah. Pergolakan batin yang begitu sakit, namun akan lebih menyakitkan lagi ketika kita tetap berada di jurang yang kelam tanpa bisa keluar untuk bangkit.
Selangkah demi selangkah aku rayu pintu langit-Nya, dengan harapan semoga masih tersisa setitik lembaran putih sebagai penutup lembaran yang kelam. Aku ingin kembali sesuai dengan kodratku sebagai seorang wanita, pun harapanku pada Nela. Aku dan Nela sama-sama seorang wanita.
Aku tidak tahu di mana dan bagaimana keadaan Nela sekarang. Dia pergi tanpa kabar setelah aku memutuskan untuk menyudahi semua hubungan yang terjalin sekian tahun lamanya. Aku harap Nela yang sekarang sama seperti aku saat ini, sama-sama bermetamorfosis dari ulat yang menjijikan berganti menjadi kupu-kupu yang indah nan cantik. []