Setiap kali gaji masuk ke rekeningku, anganku melayang pada impian yang sederhana namun begitu berharga. Aku membayangkan diriku berjalan-jalan menikmati keramaian kota, merasakan dinginnya udara dari AC di pusat perbelanjaan, dan menyentuh lembutnya pakaian bermerek yang selama ini hanya kulihat di etalase. Setelah bertahun-tahun bekerja keras, rasanya wajar jika aku ingin memberi hadiah kecil untuk diriku sendiri—sebagai ucapan terima kasih atas tubuh yang selalu setia bekerja keras, menapaki tanah yang kadang terasa begitu keras, penuh duri dan kerikil tajam.

Aku membayangkan diriku duduk di salon kecantikan, merasakan nikmatnya creambath, atau sekadar menikmati makanan enak di tengah hiruk-pikuk kota, meskipun hanya di kedai kaki lima. Bukan tentang kemewahan, tapi lebih pada menciptakan keseimbangan antara pikiran dan perasaan, sebuah momen di mana aku bisa benar-benar bersyukur dan merasakan ketenangan.

Namun, begitu gaji itu berada di genggaman, pikiranku berubah drastis. Semua rencana yang tersusun rapi itu akhirnya kandas. Uang yang seharusnya digunakan untuk diriku sendiri, lebih memilih terbang ke Indonesia, kembali ke pemilik aslinya—keluargaku. Liburanku pun hanya dihabiskan dengan duduk di taman, beralaskan tikar sederhana, ditemani makanan ringan yang jauh dari kemewahan. Namun, aku rela. Aku ikhlas. Tidak ada rasa penyesalan sedikit pun, meskipun episode ini berulang setiap bulan.

Memang, terkadang aku merasa bosan dengan rutinitas yang monoton ini, tapi inilah tantangan terbesar dalam hidupku, dan aku menikmatinya. Biarlah waktu yang menentukan kapan episode ini akan berakhir. Setidaknya, aku tahu bahwa aku telah melakukan yang terbaik untuk anakku. Aku bukan hanya seorang ibu, tetapi juga seorang ayah. Aku memastikan segala kebutuhan anakku terpenuhi, tidak seperti ayahnya yang selalu memiliki alasan untuk tidak peduli. “Jangan kau usik rumah tangga baruku,” itulah kata-kata mantan suamiku ketika aku memohon agar dia menengok anaknya.

Tidak ada yang menginginkan perpisahan dalam rumah tangga, apalagi ketika sudah dikaruniai seorang anak. Namun, takdir memang sering kali tak bisa ditebak. Aku tidak ingin hidup dalam penderitaan, apalagi membiarkan anakku menanggung beban karena memiliki ayah yang tidak bertanggung jawab. Jadi, aku memilih untuk menjadi figur ayah dan ibu sekaligus, meskipun itu berarti aku harus bekerja lebih keras dan berkorban lebih banyak.

Meskipun gaji hanya singgah sejenak sebelum berpindah ke keluargaku di Indonesia, aku merasa puas. Setiap bulan, aku masih bisa mengirimkan harapan dan senyuman kepada anak dan keluargaku di kampung. Itu adalah tujuan utamaku bekerja di tanah rantau ini.


Aku terdiam mendengarkan cerita sahabat seperjuanganku. Allah benar-benar mengaruniakan kekuatan luar biasa kepada mereka yang dipilih-Nya. Setiap manusia diciptakan dengan karunia sesuai takarannya, diberikan bahu yang kokoh untuk memikul beban yang ditentukan oleh-Nya.

Banyak cerita yang kudengar dari teman-temanku, cerita yang kadang membuat telingaku panas, tapi ada juga yang begitu unik dan menggelitik hatiku hingga sulit menahan tawa. Ada yang memilih menjadi tenaga kerja wanita (TKW) karena tidak ingin menikah muda, menolak dijodohkan meskipun dengan pria yang mapan secara materi. Mereka lebih memilih “kabur” ke luar negeri, karena cinta tak bisa dipaksakan.

Setiap kisah yang mereka ceritakan menyimpan makna yang dalam, sebuah rahasia yang tersembunyi di dalam palung hati, yang hanya bisa diartikan oleh pemiliknya sendiri.


Saat ini, aku tidak lagi peduli dengan tubuhku yang semakin kurus. Bekerja di rumah majikan ini adalah perjuangan yang luar biasa. Aku bertahan selama bahuku masih mampu menopang beban yang semakin hari semakin berat. Majikanku adalah orang yang sangat cerewet, dengan peraturan yang sering kali tidak masuk akal. Ia suka memberikan denda untuk kesalahan kecil yang tak sengaja kulakukan.

Aku bekerja seolah tak ada waktu untuk istirahat. Bahkan, sekadar duduk dan meluruskan kaki yang lelah pun terasa mustahil. Majikan selalu menuntut kesempurnaan. Aku harus pandai memasak, hidanganku harus enak dan menarik, terutama sarapan yang setiap pagi harus disajikan seperti di restoran, lengkap dan tertata rapi. Namun, uang belanja yang diberikan tidak sebanding dengan tuntutan mereka—mereka menginginkan makanan yang murah tetapi enak di lidah.

Setiap hari, aku harus membuat laporan belanja yang detail dan jelas, bahkan untuk makanan yang akan dimasak esok hari. Lelah bekerja dan lelah pikiran itu berbeda. Lelah fisik bisa hilang dengan istirahat, tapi lelah pikiran berdampak hingga ke tubuh dan jiwa, membuatku terkadang sesak napas.

Banyak orang yang memilih untuk pulang sebelum waktunya karena tidak sanggup menghadapi situasi ini. Mereka mungkin dianggap gagal, tetapi aku memilih untuk bertahan dengan sisa-sisa kekuatanku demi mencapai impian yang telah aku bangun.

Rumah majikan sudah seperti berlian—bersih dan mengkilap—tetapi tetap saja ada yang salah di matanya. Mencuci baju bisa sampai lima kali sehari, bahkan hingga tengah malam mesin cuci masih berputar. Aku sering marah dalam hati, tetapi aku lebih memilih diam daripada menghabiskan energi untuk berdebat tentang hal-hal yang tak akan pernah menemukan titik temu.


Aku tidak ingin berbicara tentang manisnya menjadi TKW, tetapi tentang pahit dan sakitnya.

Jangan lihat hasil yang kami dapatkan, tapi lihatlah perjuangan kami. Jangan melihat liburan, gaji, atau pakaian kami, karena apa yang kalian lihat tidak seindah yang kami rasakan dan alami.

Kami tidak akan menunjukkan derita kami, karena yang ingin kami tunjukkan adalah kebahagiaan untuk keluarga kami. Percayalah, di balik menjadi TKW, tak seindah foto profil yang kalian lihat. Di balik gaji jutaan, ada air mata kerinduan yang kami pendam untuk orang-orang yang kami sayangi. Di balik gaji jutaan, ada pekerjaan penuh risiko, dan kami yang menanggung segala kesalahan yang kami lakukan. Di balik gaji jutaan, kami harus pintar mengatur keuangan antara kebutuhan diri sendiri dan keluarga.

Perjalanan ini tidak mudah, menjadi tulang punggung keluarga dan mengemban tanggung jawab yang berat. Ini bukanlah suatu kesengsaraan, tetapi sebuah kelebihan yang Allah berikan kepada orang-orang spesial yang dipilih-Nya untuk melindungi keluarganya.

Hidup selalu penuh dengan kejutan, yang datang tanpa peringatan. Situasi yang tak terkendali sering kali memaksa kita untuk lebih kuat dan sabar. Banyak harapan dan mimpi yang dipercayakan pada sang tulang punggung keluarga. Kita harus selalu menegakkan kepala menghadapi realita, meskipun rasa lelah dan bosan sering kali mendorong kita untuk menyerah. Namun, di balik semua itu, ada kekuatan yang tumbuh, membentuk kita menjadi pribadi yang lebih kuat dari sebelumnya.

(Visited 26 times, 1 visits today)
Avatar photo

By Sarmini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.