Bunda Suha, sebagai pembina saat ini, menceritakan sejarah berdirinya Komunitas Asy-Syafi’i. Komunitas ini didirikan pada bulan Januari 2015, dan hingga kini masih terus aktif. Awalnya, hanya ada tiga orang yang terlibat, termasuk Bunda Suha sendiri. Mereka belajar mengaji di bawah bimbingan Kak Airin Muhari, seorang buruh migran Indonesia di Hong Kong, yang juga menjadi pengajar ngaji di Masjid Ammar Wan Chai.
Di Masjid Ammar Wan Chai, terdapat sebuah komunitas mengaji bernama Halaqah Hong Kong, tempat Kak Airin mengajar. Bunda Suha adalah salah satu muridnya yang rajin mengikuti kelas tajwid setiap minggu. Namun, karena keterbatasan waktu yang hanya satu kali dalam seminggu, Bunda Suha kemudian mengajukan ide kepada Kak Airin, “Bagaimana kalau ngajinya tidak hanya hari Minggu, tapi kita lanjutkan setiap hari?”
Awalnya, Kak Airin terkejut, mengingat buruh migran hanya libur sekali dalam seminggu. Namun, Bunda Suha menawarkan solusi untuk mengaji secara online menggunakan aplikasi WhatsApp yang saat itu sedang populer. Kak Airin menyambut baik ide tersebut, dan akhirnya dibentuklah grup ngaji online, dengan anggotanya yang pada awalnya hanya tiga orang, dipandu langsung oleh Kak Airin.
Dengan semangat yang tinggi, ngaji online berjalan lancar dari Senin hingga Sabtu, menyesuaikan dengan jadwal masing-masing anggota yang sibuk bekerja. Lambat laun, semakin banyak yang tertarik bergabung. Namun, karena kesibukan Kak Airin yang juga mengajar di masjid, ia tidak dapat menangani semua murid sendirian. Oleh karena itu, Kak Airin memilih beberapa murid, termasuk Bunda Suha, untuk membantunya mengecek bacaan teman-teman yang lain.
Metode pengajaran yang digunakan Kak Airin adalah metode Syafi’i, sebuah buku panduan keluaran Malaysia. Namun sebelum mengajarkan metode ini, Kak Airin meminta izin kepada Bapak Haji Abdul Muhaimin Karim, seorang Da’i di Islamic Union of Hong Kong yang juga menjadi pembimbing halaqah di Masjid Ammar. Setelah mendapatkan izin, Kak Airin mulai mengajar dengan metode Syafi’i, yang fokus pada tajwid. Setelah lulus dari metode ini, murid-murid bisa melanjutkan ke Iqro, Juz Amma, dan akhirnya Al-Qur’an.
Dengan bertambahnya jumlah murid, komunitas ini merasa perlu untuk mengadakan kegiatan ngaji secara offline. Mengingat Masjid Ammar sudah penuh, mereka memilih Taman Victoria Park, Causeway Bay, sebagai tempat belajar bersama. Bunda Suha dipercaya untuk memimpin kegiatan ngaji offline ini, meskipun Kak Airin tetap memantau jalannya pengajaran. Kadang-kadang, Kak Airin datang untuk memastikan semuanya berjalan sesuai rencana.
Seiring berjalannya waktu, banyak komunitas lain yang tertarik dengan metode Syafi’i dan bergabung dengan Asy-Syafi’i. Untuk menambah keberagaman kegiatan, muncul ide-ide baru seperti mengadakan yasinan, shalawat, diba, al-barjanzi, murotal, dan hafalan Juz Amma. Semua usulan ini kemudian dimusyawarahkan dan dijadikan jadwal bulanan. Minggu pertama untuk yasinan, minggu kedua untuk shalawat dan diba, minggu ketiga untuk murotal dan hafalan, sementara minggu terakhir diisi dengan kegiatan tambahan seperti belajar rebana.
Meskipun banyak kegiatan dilakukan secara offline, kegiatan ngaji online tetap berjalan untuk mereka yang tidak bisa hadir karena keterbatasan waktu. Fokus ngaji online adalah tajwid, karena kegiatan lain sulit dilakukan secara daring. Dulu, mereka belajar rebana dari seorang tenaga kerja laki-laki bernama Pak Bagus. Setelah merasa cukup mahir, mereka melanjutkan belajar sendiri, meski Pak Bagus telah kembali ke Indonesia.
Visi dan misi komunitas ini adalah memanfaatkan waktu libur dengan kegiatan positif dan bermanfaat, baik dalam hal duniawi maupun ukhrawi. Mereka bercita-cita bisa menjalani kehidupan dengan keseimbangan, seperti pepatah “bisa masak, tapi juga bisa ngaji.”
Tentunya, setiap komunitas memiliki suka dan dukanya. Sukanya, anggota bisa berkumpul, bertukar ilmu, dan mempererat persaudaraan. Namun, tantangannya adalah menyatukan banyak kepala dalam satu komunitas yang semakin besar. Sebagai yang lebih tua, Bunda Suha selalu berusaha bijak dalam menyikapi berbagai pendapat yang muncul, tetap berpegang pada visi utama yaitu ngaji.
Selain itu, anggota komunitas diberikan kesempatan untuk bergiliran memimpin kegiatan, yang membantu mereka belajar berbicara di depan umum. Banyak dari mereka yang awalnya grogi dan gugup, kini mulai terbiasa. Mereka yang dulu suka menang sendiri, lambat laun belajar menerima pendapat orang lain, berbicara dengan lebih sabar dan halus. Semua perubahan ini tidak instan, melainkan membutuhkan waktu bertahun-tahun.
Komunitas ini juga menjadi sarana bagi anggotanya untuk belajar dan tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Setelah pulang ke Indonesia, banyak anggota yang kini menjadi guru ngaji di musholla dan kampung halaman mereka, berbagi ilmu yang mereka peroleh selama di Hong Kong.
Di komunitas ini, tidak ada ketua formal, semua diatur bersama-sama. Tidak ada iuran wajib, tetapi anggota boleh bersedekah jika mau. Ketika ada saudara yang sedang tertimpa musibah, mereka bergotong royong memberikan santunan secara sukarela. Semangat kekeluargaan dan kebersamaan inilah yang membuat Komunitas Asy-Syafi’i tetap eksis hingga saat ini, meskipun banyak anggotanya yang telah kembali ke tanah air.
Di Hong Kong, mereka tidak hanya mencari rezeki, tetapi juga mencari ilmu dan pengalaman berharga, sebagai bekal untuk pulang ke kampung halaman yang sesungguhnya, yaitu kampung akhirat. []