Nama saya Sarmini, seorang perempuan yang lahir dari keluarga sederhana di Cilacap, Jawa Tengah. Saya adalah anak keenam dari sembilan bersaudara, tumbuh dalam keluarga yang mungkin tidak kaya secara materi, tetapi kaya dengan cinta, kasih sayang, dan kebersamaan. Ayah saya seorang petani, kadang juga menarik becak untuk menambah penghasilan. Ibu saya adalah seorang ibu rumah tangga yang penuh dedikasi. Meski kami hidup dengan segala keterbatasan, kebahagiaan tetap hadir dalam kehidupan kami. Kami belajar dari orang tua yang tidak pernah mengeluh, yang selalu mencontohkan kerja keras tanpa banyak kata, hanya tindakan yang penuh ketulusan.
Namun, di balik kesederhanaan itu, ada satu hal yang selalu terasa: impian yang belum tercapai. Sebagai anak keenam, saya sering merasa minder di sekolah. Usia saya berbeda jauh dengan teman-teman seangkatan, karena harus menunggu giliran untuk bisa masuk sekolah setelah saudara-saudara yang lebih tua. Ketika mereka melanjutkan pendidikan, saya harus bersabar menunggu kesempatan. Perasaan terisolasi itu sering menghantui, tetapi saya tahu bahwa orang tua saya telah melakukan yang terbaik.
Saat remaja, saya bermimpi besar—saya ingin kuliah di akademi keperawatan yang terletak tak jauh dari sekolah SMA saya. Saya melihat beberapa teman saya berhasil melanjutkan pendidikan ke sana, tetapi kenyataannya, biaya yang diperlukan sangatlah besar bagi keluarga kami. Rp 14 juta untuk biaya pendaftaran terdengar mustahil saat itu, apalagi dengan tambahan biaya hidup dan pendidikan lainnya. Mimpi saya terasa semakin jauh.
Dalam kebingungan itu, saya memutuskan untuk merantau ke Hong Kong. Tujuan saya sederhana: mengumpulkan uang untuk kuliah. Namun, hidup di perantauan bukanlah perkara mudah. Realitas di Hong Kong tak seindah foto-foto di kartu pos atau imaji yang saya lihat di media sosial. Saya berangkat dengan harapan tinggi, tetapi ujian demi ujian datang silih berganti, menguji kesabaran dan kekuatan mental saya.
Kontrak kerja pertama saya di Hong Kong penuh dengan ketidakadilan. Gaji yang saya terima jauh di bawah standar, hak-hak saya dirampas oleh majikan dan agen nakal. Perlakuan yang tidak menyenangkan, bahkan kejam, kerap kali saya alami. Tapi di balik semua itu, saya menemukan hikmah. Allah selalu punya cara untuk menunjukkan kebaikan-Nya, meskipun di tengah derita. Setiap kesulitan yang saya alami mengajarkan bahwa tidak ada keberhasilan tanpa perjuangan. Saya mulai belajar bahwa bekerja sebagai seorang buruh migran di Hong Kong bukan hanya tentang pekerjaan fisik, tetapi juga tentang bagaimana menghadapi kehidupan dengan hati yang kuat.
Meskipun jauh dari keluarga, rasa rindu tak pernah surut. Setiap hari, saya merasakan kekosongan karena tidak bisa berada di samping anak-anak saya di tanah air. Saya terpaksa melewatkan momen-momen penting dalam pertumbuhan mereka. Namun, di sela-sela kesulitan, ada kebahagiaan tersendiri. Menjadi buruh migran di Hong Kong memberikan saya kesempatan untuk belajar, baik itu tentang kehidupan maupun ilmu pengetahuan. Saya bergabung dengan berbagai komunitas yang menginspirasi dan memberikan dukungan, sehingga rutinitas kerja yang berat menjadi lebih ringan.
Waktu libur saya manfaatkan untuk kegiatan-kegiatan positif, salah satunya adalah kegiatan sosial. Saya merasa bersyukur bahwa Allah masih memberi saya kesehatan untuk turut serta dalam kegiatan-kegiatan penggalangan dana dan membantu mereka yang membutuhkan. Ada rasa damai yang tak terlukiskan saat bisa berkontribusi, meskipun kecil.
Pada akhirnya, meski tanpa sertifikat akademis, saya merasa seperti telah kuliah di “universitas kehidupan” di Hong Kong. Saya belajar banyak hal tentang merawat orang tua, anak-anak, dan juga tentang bagaimana menghadapi berbagai karakter majikan. Setiap hari adalah pelajaran baru, dan saya dibayar untuk itu. Alhamdulillah, pengalaman ini sangat berharga bagi saya.
Selain peran saya sebagai istri dan ibu dari dua anak, saya juga menyadari satu hal lagi yang selalu menyala dalam diri saya—hasrat untuk menulis. Sejak SMP, saya telah jatuh cinta pada dunia sastra. Puisi dan cerita pendek sering kali menjadi medium saya untuk mengekspresikan perasaan. Sayangnya, sebagian besar tulisan saya hanya berakhir di tong sampah, ditulis dengan tangan, dibaca sebentar, lalu dibuang.
Namun, jalan menuju dunia menulis semakin terbuka ketika saya bergabung dengan Bengkel Narasi, sebuah komunitas menulis yang dipimpin oleh Bapak Ruslan Ismail Mage, atau yang akrab disapa Bang RIM. Di dalam komunitas ini, saya menemukan tempat yang aman dan nyaman untuk berbagi pengalaman hidup melalui tulisan. Di sini, saya merasa keterampilan menulis saya semakin berkembang dan disambut dengan antusiasme yang hangat.
Melalui dedikasi dan dukungan dari komunitas ini, akhirnya saya berhasil mewujudkan impian saya: menerbitkan buku pertama berjudul “Kata Doa Cinta”. Buku ini tidak hanya menjadi karya pertama saya sebagai penulis, tetapi juga menjadi simbol dari perjalanan hidup saya yang penuh perjuangan dan kasih sayang. Setiap kata dalam buku itu adalah cerminan dari pengalaman saya yang penuh makna.
Saya tidak pernah berharap menjadi penulis besar. Harapan saya sederhana—semoga tulisan-tulisan saya bisa memberikan manfaat bagi orang lain. Saya percaya bahwa setiap pengalaman, sekecil apa pun, memiliki hikmah yang bisa dipelajari dan dibagikan. Menulis adalah cara saya untuk berbagi pengalaman, pemikiran, dan emosi dengan dunia.
Saya ingin mengakhiri cerita ini dengan sebuah pesan: “Menulislah, karena tanpa menulis, engkau akan hilang dari pusaran sejarah!” Saya percaya bahwa setiap kata yang kita tulis adalah warisan, jejak yang akan tetap ada meski kita telah tiada. Semoga, melalui tulisan, kita bisa meninggalkan sesuatu yang berarti bagi generasi mendatang.
Thank You, Hong Kong
My name is Sarmini, a woman born into a simple family in Cilacap, Central Java. I am the sixth of nine children, growing up in a family that may not be rich in material terms, but rich in love, affection, and togetherness. My father is a farmer, sometimes also pulling a pedicab to supplement his income. My mother is a dedicated housewife. Even though we live with all the limitations, happiness is still present in our lives. We learn from parents who never complain, who always exemplify hard work without many words, only actions full of sincerity.
However, behind that simplicity, there is one thing that is always felt: dreams that have not been achieved. As the sixth child, I often felt inferior at school. My age is far different from my peers, because I have to wait my turn to be able to enter school after my older siblings. When they continued their education, I had to patiently wait for the opportunity. That feeling of isolation often haunts me, but I know that my parents have done their best.
When I was a teenager, I had a big dream—I wanted to go to a nursing college not far from my high school. I saw some of my friends successfully continuing their education there, but in reality, the costs were very high for our family. IDR 14 million for registration fees sounded impossible at that time, let alone the additional costs of living and other education. My dream felt even further away.
In that confusion, I decided to move to Hong Kong. My goal was simple: to save money for college. However, living abroad is not easy. The reality in Hong Kong is not as beautiful as the photos on postcards or the images I saw on social media. I left with high hopes, but one test after another came, testing my patience and mental strength.
My first work contract in Hong Kong was full of injustice. The salary I received was far below standard, my rights were taken away by rogue employers and agents. I often experienced unpleasant, even cruel, treatment. But behind all that, I found wisdom. God always has a way to show His goodness, even in the midst of suffering. Every hardship I experienced taught me that there is no success without struggle. I began to learn that working as a migrant worker in Hong Kong is not only about physical labor, but also about how to face life with a strong heart.
Even though I am far from my family, my longing never subsides. Every day, I feel emptiness because I cannot be with my children in my homeland. I am forced to miss important moments in their growth. However, amidst the hardships, there is a certain happiness. Being a migrant worker in Hong Kong gives me the opportunity to learn, both about life and science. I join various communities that inspire and provide support, so that the heavy work routine becomes lighter.
I use my free time for positive activities, one of which is social activities. I feel grateful that God still gives me health to participate in fundraising activities and help those in need. There is an indescribable sense of peace when I can contribute, even if it is small.
In the end, even without an academic certificate, I feel like I have studied at the “university of life” in Hong Kong. I learned a lot about taking care of parents, children, and also about how to deal with different characters of employers. Every day is a new lesson, and I get paid for it. Alhamdulillah, this experience is very valuable for me.
In addition to my role as a wife and mother of two children, I also realized one more thing that always burns inside me—the passion for writing. Since junior high school, I have fallen in love with the world of literature. Poetry and short stories often become my medium to express my feelings. Unfortunately, most of my writings end up in the trash, written by hand, read briefly, then thrown away.
However, the path to the world of writing became more open when I joined Bengkel Narasi, a writing community led by Mr. Ruslan Ismail Mage, or who is familiarly called Bang RIM. In this community, I found a safe and comfortable place to share life experiences through writing. Here, I feel my writing skills are developing and are welcomed with warm enthusiasm.
Through the dedication and support of this community, I finally managed to realize my dream: publishing my first book titled “Kata Doa Cinta”. This book is not only my first work as a writer, but also a symbol of my life journey full of struggle and affection. Every word in the book is a reflection of my meaningful experiences.
I never expected to be a great writer. My hope is simple—I hope my writings can benefit others. I believe that every experience, no matter how small, has wisdom that can be learned and shared. Writing is my way of sharing my experiences, thoughts, and emotions with the world.
I want to end this story with a message: “Write, because without writing, you will be lost in the vortex of history!” I believe that every word we write is a legacy, a trace that will remain even though we are gone. Hopefully, through writing, we can leave something meaningful for future generations.