Oleh: Ruslan Ismail Mage*
“Tanah airku tidak kulupakan, kan terkenang selama hidupku. Biarpun saya pergi jauh, tidak kan hilang dari kalbu. Tanahku yang kucintai, Engkau kuhargai.”
“Walaupun banyak negeri ku jalani, yang mahsyur permai di kata orang. Tetapi kampung dan rumahku, di sanalah kurasa senang. Tanahku tak kulupakan, Engkau kubanggakan.”
Sahabat pencinta damai negeriku, coba pejamkan mata sejenak. Bayangkan diri Anda berada di lautan penonton yang memenuhi Stadion Gelora Bung Karno, menyanyikan lirik “Tanah Airku” dengan penuh penghayatan. Betapa dahsyatnya lagu ini menumbuhkan rasa nasionalisme yang tulus, menyatukan jutaan hati rakyat Indonesia tanpa sekat. Lagu ini adalah simbol cinta yang mendalam terhadap negeri kita yang indah, damai, dan kaya akan keragaman.
Namun, saat syairnya kuhafalkan dalam hati dan kuresapi dalam kalbu, tiba-tiba pikiranku terlempar jauh ke masa lalu. Aku teringat nasihat Tan Malaka kepada Sukarno dan Hatta sesaat setelah proklamasi kemerdekaan dikumandangkan. Dalam pertemuan itu, Tan Malaka mengungkapkan kegundahannya, berbicara lantang tentang arti kemerdekaan sejati.
“Kenapa aku tidak tertarik dengan kemerdekaan yang sahabatku proklamirkan? Karena bagiku kita belum merdeka. Yang merdeka hanya kelompok tertentu, baru golongan elite, kaum kaya, kaum proletar. Sementara pada umumnya rakyat miskin belum merasakan kemerdekaan. Kalau hari ini aku datang sebagai sahabat memberitahu jalan kemerdekaan yang engkau proklamirkan salah arah, dan tetap tidak ada niat perbaikan, maka mulai besok aku akan berdiri sebagai lawanmu.”
Pernyataan ini seperti pisau tajam yang membelah kesadaran kita. Apakah benar kemerdekaan yang dirayakan telah membawa keadilan bagi semua? Lirik “Tanah Airku” memang indah, menggambarkan negeri yang makmur, damai, dan harmonis. Tapi, kenyataan sering berkata lain.
Negeri yang kaya akan alam, budaya, dan keramahannya ini justru dirundung ketidakadilan. Di tengah pesona alam dan kebhinekaannya, kita menyaksikan hukum yang kerap memihak, ekonomi yang timpang, dan rakyat kecil yang terpinggirkan. Apakah kita harus diam membisu menyaksikan semua ini? Apakah kita rela membiarkan mereka yang berkuasa merusak konstitusi dan mencederai demokrasi? Jawabannya jelas: Tentu tidak!
Lagu “Tanah Airku” adalah pengingat bahwa negeri ini bukan milik segelintir orang, melainkan milik semua anak bangsa. Air mata yang jatuh saat menyanyikannya bukan sekadar luapan emosi, melainkan janji bahwa kita tak akan menyerah. Janji untuk terus berjuang, seperti yang diingatkan Tan Malaka, “Saat ini rakyat belum merasakan kemerdekaan, kawan.”
Kemerdekaan sejati bukan hanya soal bebas dari penjajahan, tetapi juga soal keadilan, kesejahteraan, dan kebahagiaan yang dirasakan oleh seluruh rakyat. Kita memiliki tugas besar untuk menjadikan cita-cita itu nyata, untuk memerdekakan kembali setiap jiwa yang masih terbelenggu oleh ketimpangan.
Mari bersama kita lanjutkan perjuangan ini. Karena tanah air kita tidak hanya untuk dikenang, tetapi juga untuk dibanggakan—dengan keadilan yang merata dan kemakmuran yang nyata.
*Penulis adalah akademisi, inspirator, penggerak, serta penulis buku motivasi dan kepemimpinan.
Assalamualaikum wr wb
Izin menjawab pak saya Engki putra BP 2210003829038.
Kalau menurut saya pak sistem politik uang yg dijalani para kandidat untuk menang di acara kontestan kepala daerah itu sudah berjalan dari dulu sekali,cuma kita dari masyarakat yg harus pintar untuk menentukan pilihan yg tepat,yg benar tulus mengabdi kepada masyarakat,dan sebagian masyarakat pun ada jg sih yg terima uang dr timses calon kepala daerah,perhitungan singkat pak kl buruh,dapat 100 ribu untuk satu hari memilih,di dalam KK ada 5 orang yg ada hak pilih,udah 500 ribu pak,JD mau tak mau harus pilih,tapi yg menentukan hari nurani sesampai didalam kotak hak pilih,bisa coblos yg bayar/bisa pilihan hati nurani,
Sekian pak terimakasih.