Angin musim dingin Hong Kong berhembus lembut, membawa aroma hujan yang tak kunjung reda. November hampir usai, namun hati ini masih seperti hujan: mendung, gerimis, kadang deras. Setiap pagi, saat membuka jendela kamar, aku merasa angin berbisik, seolah menguatkan, “Tidak apa-apa, waktu akan berlalu, berganti dengan kebahagiaan. Kamu mampu. Kamu kuat.” Tapi benarkah aku mampu? Benarkah aku kuat?
Air mata ini sering kali mengalir tanpa kendali, terutama saat rindu pada ibu membanjiri hati. “Ibu, maafkan aku,” bisikku dalam doa. “Maafkan aku belum mampu membalas kasihmu, maafkan aku hanya meninggalkan luka di masa lalu. Hanya doa terbaik yang bisa aku persembahkan untukmu.”
Ibu, wanita yang lembut hatinya, anak keempat dari tujuh bersaudara. Berbeda dari kakak dan adik-adiknya yang pergi merantau ke kota-kota besar, ibu memilih tinggal di desa, setia mendampingi kedua orang tuanya. Bukan karena ia tak mandiri, melainkan karena hatinya terlalu lembut untuk meninggalkan mereka yang masih membanting tulang di ladang. Ia mencangkul, menanam, dan memanen dengan tangannya sendiri.
Kelembutan hati ibu sering kali membuatnya direndahkan oleh saudara-saudaranya. Namun ibu menerima semuanya dengan lapang dada, memaafkan tanpa syarat, seolah tak pernah ada luka. Tapi kemudian datanglah ujian yang lebih berat: penyakit jantung yang perlahan menggerogoti tubuhnya. Operasi pemasangan ring sudah dilakukan, namun Allah rupanya lebih menyayangi ibu.
Hari Minggu itu, tiga hari sebelum kepergiannya, aku melakukan panggilan video dengan ibu dan anak-anakku. Wajah ibu tampak bahagia, bercanda dan berbincang dengan cucu-cucunya. Namun ada sesuatu dalam suaranya yang terasa berbeda.
“Nak, jaga adik-adikmu, ya?” pesannya lembut. “Kamu gantinya Ibu. Akur, rukun. Kalau ada masalah, musyawarahkan. Kalau adikmu salah, tegur dengan lembut. Oh ya, kebun naga jangan dijual buahnya. Bagikan saja pada tetangga.”
“Ibu, kenapa bicara seperti itu?” tanyaku cemas.
“Tidak apa-apa. Ibu rida padamu, Nak. Maafkan ibu di masa lalu, ya.”
“Iya, Bu. Aku juga minta maaf,” balasku. Tak kusangka, itu menjadi percakapan terakhir kami.
Keesokan harinya, menurut cerita adikku, ibu tiba-tiba ingin makan pelas yingking—hidangan khas Jawa Tengah yang terbuat dari kepiting kecil yang dimasak seperti pepes. Adikku dengan cekatan memasaknya. Ibu makan dengan lahap, namun malamnya, tubuhnya melemah.
Di Hong Kong, tubuhku juga terasa lemas tanpa sebab. Hati berdebar, gelisah, seolah ada yang akan terjadi. Aku mencoba tidur, tapi tak berhasil. Aku mengambil wudu, salat malam, dan melanjutkan wirid hingga akhirnya tertidur.
Namun malam itu, panggilan video dari adikku membangunkanku. “Ibu masuk rumah sakit lagi,” katanya sambil menunjukkan ibu yang terbaring lemah. Aku langsung mengambil wudu, membaca Yasin, dan berdoa dengan khusyuk.
“Ya Allah,” pintaku dalam doa, “Jika belum waktunya, sembuhkanlah beliau. Namun jika memang sudah tiba saatnya, ambillah nyawanya dengan lembut. Jangan biarkan beliau merasakan sakitnya sakaratul maut. Mudahkan jalannya dan sempatkan ia mengucapkan kalimat terakhir, LAA ILAAHA ILALLAAH.”
Pukul satu dini hari waktu Hong Kong, ibu menghembuskan napas terakhirnya. Adikku yang berada di sampingnya melakukan semua yang kuinstruksikan: mendampingi, mentalkinkan, memastikan kata terakhir yang keluar adalah kalimat tauhid.
Melalui layar kecil, aku menyaksikan momen itu. Derai air mata tak terbendung. Jarak ribuan kilometer tak mampu menghapus rasa kehilangan yang begitu besar.
“Selamat jalan, Bunda,” bisikku dengan suara bergetar. “Istirahatlah dengan tenang. Doa terbaik akan selalu kupanjatkan untukmu, selagi napas ini masih ada.”
Kini, setiap pagi saat membuka jendela kamar, angin musim dingin tetap berhembus. Hati ini masih terasa sepi, tapi ada sesuatu yang berbeda. Bukan lagi perih, melainkan rasa syukur. Syukur karena pernah menjadi anak dari wanita berhati lembut yang cintanya tiada batas. []