Oleh: H. Tammasse Balla*

Di antara senyap malam kampung, ketika bayang rembulan menyelimuti desa kecilku, aku bertemu cinta pertama. Bukan manusia, bukan makhluk bernapas, melainkan bulutangkis sebuah dunia yang membuka hatiku pada semesta kebahagiaan tanpa batas. Seperti angin yang mengelus dedaunan, raket dan kok menjadi alat untuk melukiskan kebebasan yang tak terkatakan. Setiap gerakannya adalah simfoni; setiap pukulan adalah bisikan cinta pertama yang tak pernah pudar.

Sejak pertama kali aku menggenggam raket dengan tangan kidal ini, aku merasa seperti seorang penyair yang baru menemukan puisinya. Di lapangan tanah yang kasar, aku berlari, melompat, dan melayang, mengejar bola kecil itu seolah hidupku bertumpu pada setiap pantulannya. Bulutangkis bukan sekadar permainan; ia adalah pelukan yang menghangatkan dan tarian yang membebaskan. Ia menyatu dalam denyut nadi, menjadi bagian dari jiwa.

Tahun demi tahun berlalu, dan aku membawa cinta ini ke bangku kuliah di Universitas Hasanuddin. Di sana, aku bukan hanya pemain, tapi juga penjaga api semangat bulutangkis. Teman-teman memilihku menjadi Ketua PB Sastra Unhas, bukan karena kekuatanku semata, melainkan karena cintaku pada olahraga ini yang tak pernah surut. Pool Satu menjadi altar suci, tempat aku bertarung, bukan melawan lawan, tetapi melawan keterbatasan diriku sendiri.

Ciri khasku memegang raket dengan tangan kiri, menjadi tanda pengenal yang tak bisa disangkal. “Backhand maut,” begitu mereka menyebutnya sebuah julukan yang lahir dari kagum dan hormat. Setiap kali aku mengayunkan raket, bukan hanya kok yang terbang, melainkan juga harapan, gairah, dan mimpi. Di lapangan itu, aku bukan hanya seorang dosen, tetapi seorang pujangga yang menulis cerita hidupnya dalam setiap pertandingan.

Namun, waktu adalah musuh yang tak terkalahkan. Usia empat puluh lima tahun adalah batas yang tak bisa kutawar. Atas nasihat istri tercinta, seorang dokter yang selalu bijak menjaga kesehatanku, aku memutuskan untuk meninggalkan lapangan. Keputusan itu seperti melepaskan separuh jiwaku. Meski aku telah menjauh, teman-temanku tak pernah berhenti mengingatkan kembali. “Kembali bermainlah,” mereka memohon, ingin menyaksikan lagi backhand maut itu, seperti mereka menginginkan matahari terbit kembali setelah malam panjang.

Namun aku tahu, cinta ini harus aku simpan dalam kenangan. Kekuatanku tak sama waktu masih muda, walau teori-teori permainan masih terpatri jelas di benakku. Bulutangkis telah mengajarkanku banyak hal: ketekunan, pengorbanan, dan keindahan dalam kesederhanaan. Meski tak lagi bermain, aku tetap merasa menjadi bagian dari dunianya, seperti daun yang masih mencintai pohon meski telah jatuh ke tanah.

Kini, ketika aku melihat raket tua yang tergantung di dinding kamar, hatiku tersenyum. Aku mengenang masa-masa itu dengan kehangatan. Bulutangkis adalah pacar pertamaku, cinta yang memperkenalkanku pada arti sejati dari kebahagiaan dan perjuangan. Meski telah kutinggalkan, ia tetap hidup di dalam diriku, seperti bintang yang bersinar di balik awan gelap, tak terlihat, tapi selalu ada. (Makassar, 25 Desember 2024 Pk. 18.09 WITA, saat gerimis senja).

*Akademisi senior Universitas Hasanuddin Makassar

(Visited 85 times, 1 visits today)
One thought on “Pacar Pertamaku”
  1. Terimakasih sudah berbagi cerita, Pak.
    Cerita yang bukan sekadar tentang olahraga, tetapi tentang dedikasi, cinta, dan filosofi hidup. Semangat dan kenangan yang tertuang memberi inspirasi untuk menemukan dan mencintai apa yang kita lakukan dengan sepenuh hati ❤️😇

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.