Oleh: Tammasse Balla

Di sebuah bangku panjang di bandara, dua orang duduk berdampingan. Jarak fisik mereka tak sampai satu hasta, tetapi jiwa mereka seperti berada di dua dunia yang berbeda. Tak ada sapaan, tak ada percakapan, hanya kesibukan masing-masing dengan layar di tangan. Jari-jari mereka lincah menari di atas gawai, mengirim pesan kepada seseorang entah di mana, berbagi tawa dengan sahabat di negeri seberang, atau sekadar menelusuri kabar-kabar dari dunia maya. Mereka saling berdekatan, tetapi tak benar-benar hadir untuk satu sama lain.

Teknologi, katanya, telah membuat dunia ini mengecil. Jarak ribuan mil bukan lagi penghalang. Dalam hitungan detik, kita bisa mengirim kabar ke teman lama di benua lain. Tak perlu surat yang menunggu berhari-hari, tak perlu merangkai kata di atas kertas. Cukup ketik dan kirim, lalu balasan pun datang secepat kedipan mata. Dunia menjadi begitu mudah dijangkau, dan manusia merasa semakin dekat satu sama lain.

Namun ironinya, semakin sering kita menyentuh layar, semakin jarang kita menyentuh hati sesama. Semakin sering kita mengetik pesan, semakin jarang kita merajut percakapan yang hangat dengan orang di depan mata. Kita menghubungi teman lama dengan mudah, tetapi kita lupa menanyakan kabar orang yang duduk di samping kita.

Dulu, orang-orang duduk di warung kopi, berbagi cerita tentang kehidupan. Tentang panen yang gagal, tentang anak yang baru masuk sekolah, tentang impian yang belum tergapai. Sekarang, mereka duduk berhadapan, tetapi kepala tertunduk menatap layar masing-masing. Sesekali tersenyum sendiri, tertawa kecil, lalu kembali tenggelam dalam dunia virtualnya.

Di rumah, ayah dan ibu duduk di ruang keluarga, tetapi tak benar-benar bersama. Si ayah sibuk dengan berita politik di ponselnya, si ibu asyik melihat video tutorial memasak, dan anak-anak terperangkap dalam permainan online. Meja makan yang dulu jadi tempat berbagi cerita kini hanya menjadi tempat mengisi perut. Setiap orang sibuk dengan dunianya sendiri, meskipun mereka berada dalam satu ruangan.

Teknologi memang canggih, tetapi ia tak pernah mengajarkan kita bagaimana cara menjaga kedekatan yang sesungguhnya. Kita sibuk memotret makanan sebelum makan, tetapi lupa menikmati kebersamaan. Kita rajin memperbarui status tentang perasaan, tetapi jarang berbicara langsung dari hati ke hati. Kita mengenal ratusan orang di media sosial, tetapi tidak mengenal hati orang yang tidur sekamar dengan kita.

Bukan teknologi yang salah, tetapi cara kita menggunakannya yang perlu direnungkan. Ponsel tak pernah meminta kita mengabaikan dunia nyata. Media sosial tak pernah melarang kita untuk bercakap-cakap dengan orang di sebelah. Kita sendiri yang terlalu terlena, terlalu sibuk dengan yang jauh, hingga lupa menjaga yang dekat.

Ada kalanya kita perlu menutup layar, menyimpan ponsel, dan kembali melihat mata manusia di sekitar kita. Ada rindu yang tak bisa diwakili oleh emoji, ada kebersamaan yang tak bisa digantikan oleh sekadar pesan teks. Ada sentuhan, ada tawa, ada kehangatan yang hanya bisa dirasakan jika kita benar-benar hadir, bukan sekadar “online”.

Mungkin, inilah saatnya kita bertanya pada diri sendiri: seberapa sering kita benar-benar berbicara dengan orang-orang yang kita cintai? Seberapa sering kita duduk bersama, tanpa gangguan layar di tangan? Jangan sampai kita baru sadar betapa berartinya mereka ketika mereka sudah tak lagi di samping kita.

Teknologi diciptakan untuk mendekatkan yang jauh, tetapi jangan biarkan ia menjauhkan yang dekat. Biarkan ponsel menjadi alat, bukan penghalang. Gunakan untuk menyambung silaturahmi, tetapi jangan sampai ia memutuskan hubungan yang sejati. Ingat, sejauh apapun kita bisa menjangkau dunia, tak ada yang lebih berharga dari mereka yang ada di sisi kita.

(Visited 16 times, 4 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.