Oleh: Muhammad Sadar*

Pernikahan atau walimatul ursy adalah suatu sunnah penerapan syariat Islam dalam kesinambungan dan berkembangnya umat. Tujuan lain dari ikatan pernikahan dalam Islam adalah memelihara nazab, menjaga jiwa, dan kehormatan agar setiap insan yang beriman tetap dalam koridor sunnah. Sebagaimana Nabi Muhammad saw bersabda, “Annikahu sunnati.”

Deskripsi hakikat pernikahan dalam Islam lebih gamblang diterangkan olehAllah Swt pada QS. Ar-Rum : 21 yang artinya, “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”

Akulturasi pernikahan secara Islam telah menjadi bagian perkembangan adat masyarakat Bugis- Makassar. Dalam aneka budaya lokal etnis Bugis untuk pagelaran pernikahan dikenal tradisi Mappacci atau Mappaccing sehari sebelum dilangsungkan akad nikah. Konten budaya ini sebagai kreatifitas para leluhur-kakek nenek moyang orang Bugis dan sudah menjadi menu wajib dilakukan setiap kali acara pernikahan akan digelar.

Pada kamus bahasa Bugis, secara harfiah Mappacci atau Mappaccing berasal dari kosa kata Paccing yang berarti bersih, sehingga Mappaccing diterjemahkan sebagai upaya membersihkan diri baik lahir maupun batin sebelum akad nikah dilaksanakan. Dahulu, acara mappacci hanya dilakukan oleh kaum bangsawan kerajaan saja dan dilaksanakan tiga malam hingga tujuh hari berturut-turut. Namun seiring dengan perkembangan zaman, mappacci sudah menyebar pada semua strata sosial masyarakat Bugis-Makassar dan dilaksanakan cukup satu malam saja.

Pelaksanaan malam mappacci biasa juga disebut tudang penni karena pada umumnya dilakukan pada malam hari, sekalipun hal ini biasa juga dilakukan pada siang hari. Oleh beberapa kalangan kegiatan mappacci lazim disebut mappamula tudang atau malam pacar. Disebut demikian karena calon mempelai untuk pertama kalinya standing dan bersila menghadapi atau menerima tamu undangan.

Dalam upacara mappacci ini, secara simbolik menggunakan daun pacci atau daun inai atau daun pacar. Pacci adalah jenis tanaman pekarangan yang banyak dipelihara oleh masyarakat. Bahan ini pula banyak digunakan anak muda untuk mappacci sendiri dalam menghadapi bulan ramadhan maupun untuk kebutuhan trend model seperti di negara New Zealand dipakai sebagai bahan tato pada tubuh.

Pada acara mappacci dibutuhkan tujuh macam bahan perlengkapan yang mengandung nilai filosofis dan sarat penuh makna. Peralatan tersebut merupakan satu rangkaian kata yang memiliki arti khusus atau kiasan yang bertujuan harapan dan do’a bagi kesejahteraan dan kebahagiaan calon mempelai atau disebut sennungeng. Bahan dan peralatan dalam acara mappacci yang dimaksud antara lain sebagai berikut:

1.Bantal ( Angkangulung ).
Bantal terbuat dari kapas dan kapuk yang merupakan simbol kemakmuran, sedangkan pengertian spesifik terkait bantal adalah pengalas kepala disimbolkan sebagai martabat atau kehormatan yang harus dijaga dan dihormati dalam bahasa Bugis disebut Ipakalebbi.

2.Sarung sutera ( Lipa sabbe ).
Sarung berfungsi sebagai penutup aurat dengan pengertian harga diri dan moral. Sarung juga bermakna ketekunan dan keterampilan yang dimiliki oleh keluarga calon mempelai. Adapun jumlah sarung yang digunakan sebanyak tujuh lembar dan tersusun rapi. Angka tujuh dalam logika orang Bugis dimaksudkan Mattuju laona atau berhasil dan berdaya guna.

3.Pucuk daun pisang (Colli daung utti manurung) diasimilasikan dalam bahasa Bugis dengan kata turun temurun. Daun pisang yang melambangkan kehidupan yang sambung menyambung. Daun tua belum mengering, daun muda telah tumbuh untuk menggantikan dan melanjutkan siklus hidup tanaman pisang.
Makna yang tersimpul dari terminologi daun pisang adalah keberlanjutan yang bermakna Maccolli maddaung sebagaimana afirmasi orang Bugis menyebutnya demikian.

4.Benno. Benno berasal dari biji jagung pulut lokal yang telah disangrai hingga mekar dan mengembang berwujud pop corn.
Benno tersebut dihamburkan keatas diri calon mempelai sebanyak tiga kali yang mengandung suatu cita dan obsesi agar calon mempelai mampu mekar dan berkembang serta murah rezeki dikemudian hari.
Diistilahkan orang Bugis Mpenno rialei atau calon mempelai dipenuhi dari berbagai kebaikan dan kemanfaatan.

5.Pesse pelleng.
Bahan pesse pelleng berasal dari sarang lebah. Pesse pelleng dibuat dengan cara diremas hingga terbentuk menyerupai lilin. Dikaitkan dengan tata kehidupan bermasyarakat yang rukun, damai serta senantiasa seia-sekata sebagaimana yang terlihat pada kehidupan lebah. Secara komunal, makhluk lebah tidak saling mengganggu, solid, rajin dan bekerjasama yang baik. Gambaran harmonisasi persatuan lebah diharapkan bisa diwujudkan dalam kehidupan nyata calon mempelai.

6.Daun nangka atau disebut daung panasa yang dihubungkan dengan kata minasa yang bermakna cita-cita luhur. Jumlah daun nangka digunakan sebanyak 14 lembar atau 2 x 7
( duakkalipitu daung _panasa) yang berisi perumpamaan yakni bahtera rumah tangga yang akan dijalani calon mempelai meraih cita-cita berlipat ganda sebagaimana lebatnya daun nangka dipohonnya. Diatas daun nangka inilah calon mempelai meletakkan kedua tangannya dalam keadaan terbuka untuk mengharapkan do’a dan restu dari mereka yang diundang meletakkan daun pacci diatas telapak tangan calon mempelai, dimulai dari tangan kanan kemudian berpindah ke tangan kiri.

7.Daun pacci atau daun inai alias daun pacar. Tersurat kata pacci / paccing atau bersih. Hakikat pelaksanaan upacara mappacci menjelang akad nikah sesungguhnya adalah calon mempelai telah siap dengan hati yang bersih nan suci serta ikhlas untuk memasuki alam rumah tangga dengan empat tujuan utama yaitu:
a.Mappaccing ati (membersihkan hati)
b.Mappaccing nawa-nawa (membersihkan pikiran)
c.Mappaccing pangkaukeng (membersihkan tingkah laku)
d.Mappaccing ateka (membersihkan akidah/itikad)

Dalam pelaksanaan mappacci, ada beberapa golongan yang biasanya didaulat untuk meletakkan daun pacci kepada calon mempelai antara lain:
1.Tokoh agama/masyarakat
2.Pemangku adat/unsur pemerintah
3.Rumpun keluarga terdekat
4.Handai taulan atau sahabat
5.Kedua orang tua calon mempelai atau wali calon mempelai.

Kelima golongan tersebut diatas sangat diharapkan untuk menyampaikan amanah atau petuah kehidupan pada saat peletakan daun pacci kepada calon mempelai. Titipan pesan moral dari para tokoh, kerabat keluarga, atau orang tua sebagai suplemen pembentuk integritas kepada calon pengantin. Apresiasi maupun pujian dari segenap pemangku yang hadir dan telah memiliki pengalaman hidup yang sukses seyogyanya menjadi titisan harapan dan do’a kepada calon pengantin.

Telah menjadi kelaziman pada masyarakat Bugis bahwa apapun hajatnya, tak terkecuali acara mappacci selalu diawali pembacaan kitab Barazanji sebelum penyelenggaraan acara inti. Pembacaan Barazanji adalah memperdengarkan sejarah hidup Nabi Muhammad saw kepada para tamu undangan yang menghadiri upacara mappacci.

Kitab Barazanji mengulas historycal nabi sejak dalam kandungan, ketika beliau dilahirkan, kehidupan atau profil pribadi nabi, serta perjalanan dakwah penyebaran agama Islam yang dilakoni oleh nabi hingga akhir hayat beliau. Kitab Barazanji dibaca dalam bahasa Arab atau bahasa daerah Bugis yang dipimpin oleh imam setempat dan beberapa orang yang fasih dalam membacanya atau orang yang sudah khatam Al-Qur’an.

Dalam sastra paseng, para budayawan Islam berpesan dalam bahasa Bugis sebagai motivasi dalam mencintai dan penghormatan kepada Nabi Muhammad saw. Pesan yang disampaikan berupa titah yang bersumber dari hadist qudsi yaitu:

” rampe-rampe deceng mui nabitta,
teppu-teppu mui asenna, pammegai mubaca shalawa’na,
mamuare muruntu barakka, mumadeceng ri lino nenniya
musalama ri akhera ri matti.”

Rangkaian upacara mappacci yang lain dilakukan ritual beberapa waktu sebelumnya, yaitu lakon mandi bersih secara keseluruhan terhadap calon mempelai. Tradisi mandi bersih oleh adat biasanya disebut dio majang atau siraman tubuh kepada calon pengantin. Perlengkapan prosesi siraman terdiri atas air yang bersumber dari sumur lokal atau dari mata air pilihan dan bukan air PDAM atau air pabrikan. Komposisi air dilengkapi dengan kembang wangi dari berbagai jenis bunga dan aneka flora penyegar aroma lainnya. Adat dio majang dikomandoi oleh seorang sandro dan diikuti oleh beberapa anggota keluarga yang ditunjuk, dengan mengharap kebaikan dan keberkahan atau sennungeng dari prosesi siraman ini.

Keragaman adat istiadat ataupun tradisi kearifan lokal dari berbagai suku di negeri ini akan memperkaya khazanah kebudayaan bangsa. Budaya atau tradisi suku bangsa Indonesia yang beraneka macam sistem maupun tata kramanya telah membentuk menjadi pola pemersatu rakyat negeri. Kreasi dan produk kebudayaan tersebut menciptakan perekat anak bangsa dan bukan pemisah jiwa nasionalisme. Berbeda rupa dan ragam tampilannya namun tetap satu jua dalam bingkai kebhinekaan Indonesia.

Upacara mappacci sebagai kebiasaan di kalangan etnis Bugis mendesain gambaran keelokan suatu tradisi yang telah membudaya sejak lama. Warisan mappacci oleh para generasi pendahulu orang Bugis sebagai patron kehidupan dalam mengawali bangunan mahligai rumah tangga sakinah ma waddah wa rahmah dibawah tuntunan as-sunnah. Menikah adalah hukumnya wajib, sebagaimana sunnah Nabi Muhammad saw. Jika belum mampu menikah, maka berpuasalah.

Syariah Islam sebagai sandaran utama bermu’amalah tetap menjadi penuntun pokok dalam menjalankan setiap tradisi lokal. Tradisi lokal harus konsisten menganut arahan syariah karena kebiasaan turun menurun masih terus berharap terhadap kebaikan, kebahagiaan, keberkahan dan keselamatan yang disebut sennu-sennungeng. Sikap, bacaan ataupun property yang ditonjolkan pada upacara mappacci tetap dalam kerangka harapan dan do’a berdasarkan kitabullah.

Parepare, 04 Pebruari 2025

*Warga Bengkel Narasi Indonesia, Jakarta

*Tampilan foto koleksi pribadi penulis pada Upacara Mappacci di Parepare dan Makassar.

*Jenis perlengkapan dan uraian filosofis perangkat mappacci pada narasi diatas merupakan referensi adat lokal Bugis non pustaka.

*Disampaikan ketika Upacara Mappacci penulis,15 April 2003 di Barru dan penulis sampaikan pada Upacara Mappacci berikutnya di Makassar, 31 Juli 2009

(Visited 95 times, 58 visits today)
One thought on “Upacara Mappacci”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.