Oleh: Muhammad Sadar*

Bahasa latin memang selalu mewarnai pemberian nama setiap komoditas pertanian atau tumbuhan non budidaya. Para ahli botani dunia telah sepakat dan menetapkan sebuah konsensus penamaan internasional pada tanaman pertanian tidak mewakili suatu negara namun identitas sebuah nama tanaman budidaya pertanian merupakan representasi untuk semua negara di dunia.

Diantara tanaman pertanian berupa aneka umbi yang termasuk dalam konteks binaan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian adalah komoditas ubi kayu yang biasa disebut singkong atau ketela pohon, dalam ilmu botani berpredikat Manihot utilissima yang bersinonim dengan Manihot esculenta. Singkong diklasifikasi sebagai tanaman perdu yang berstruktur batang tunggal dengan model daun berjari, memiliki percabangan minimum pada ujung batang utama dengan postur tinggi tanaman lebih satu meter bahkan melampaui dua meter bertumbuh diatas permukaan tanah. Akar yang menopang tanaman, tumbuh dan berkembang lebih besar membentuk umbi di dalam tanah yang akan dipanen enam hingga delapan bulan bahkan berumur setahun.

BPS melaporkan produksi ubi kayu Indonesia pada tahun 2023 mencapai 16,76 juta ton, meningkat 1,81 juta ton dari tahun 2022 sebesar 15 juta ton. Indonesia menempati urutan lima besar negara produsen singkong dunia setelah Nigeria, Kongo, Thailand dan Ghana. Data Analisis Kebijakan Ubi Kayu Indonesia Kementerian Pertanian (2022), bahwa pada tahun 2021 Indonesia mengekspor ubi kayu sebesar 32,09 ribu ton, terjadi peningkatan volume ekspor dari tahun 2020 sebesar 16,52 ribu ton. Sedangkan nilai impor ubi kayu mencapai US$ 152 juta. Mayoritas pasokan impor singkong dan produk turunannya berasal dari Thailand dan Vietnam. Impor ubi kayu Indonesia, umumnya dalam bentuk pati/cassava flour, kepingan kering/cassava sheredded, dan ubi kayu pelet/cassava pellets.

Singkong telah lama menjadi komoditas tradisional rakyat Indonesia, dimana komoditi ini sebagai bahan pangan pokok setelah beras. Pada zaman pra kemerdekaan maupun pada zaman darurat Staat van Or Beleg atau S.O.B dan very-very coloso hingga masa awal orde baru, ketela pohon sebagai bahan pencampur beras atau menjadi single food karena keterbatasan produksi beras ketika itu. Jejak pengalaman sejarah konsumsi tersebut, singkong sebagai komoditi rujukan substitusi pangan berpotensi dijadikan pangan alternatif pendamping beras.

Upaya penyediaan komoditi beras oleh pemerintah saat ini demikian massif. Produksinya seakan berkejaran dengan laju pertambahan jumlah penduduk yang masih didominasi oleh kebutuhan beras yang tinggi. Kajian Bappenas dan BPS (2013), memproyeksikan jumlah penduduk Indonesia tahun 2025 sebanyak 284,8 juta jiwa dengan tingkat pertumbuhan 1,3 persen per tahun dan konsumsi beras antara 114,6-130 kilogram per kapita per tahun, maka kebutuhan beras diperkirakan mencapai 30,9-32,6 juta ton pada tahun 2025.

Sementara lahan sebagai on the spot mesin produksi komoditas padi semakin menyusut luasannya akibat alih fungsi ke sektor non pertanian. Terkait pengendalian alih fungsi lahan sawah, pemerintah telah mengeluarkan regulasi berupa Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Tujuan instrumen undang-undang tersebut agar alih fungsi lahan sawah bisa dikendalikan dan keseimbangan eksosistem padi terjamin. Berikutnya tantangan perubahan iklim berupa kebanjiran dan kekeringan maupun kerusakan yang ditimbulkan oleh hama penyakit tanaman berpotensi menggagalkan atau menurunkan produksi beras setiap musim.

Para ahli di IRRI-International Rice Research Institute (2004), melaporkan bahwa rata-rata tahunan temperatur maksimum dan minimum periode 1979-2003 telah meningkat masing- masing sebesar 0,35 dan 1,23 derajat celsius. IRRI mengungkapkan bahwa produktivitas padi dapat menurun 10 persen untuk setiap kenaikan 1 derajat celcius suhu minimum di malam hari pada musim tanam di musim kering. Oleh karena itu, diperlukan penyesuaian dalam proses usaha tani pangan seperti pengaturan pola dan waktu tanam, penggunaan varietas yang lebih tahan terhadap cekaman iklim, dan pengelolaan air secara efisien.

Introduksi dan pengembangan berbagai varietas unggul singkong di setiap daerah sudah sangat adaptif dan berkesesuaian dengan ekologi setempat. Lingkungan tumbuh singkong nyaris tak terpengaruh nyata oleh adanya perubahan iklim yang terjadi saat ini seperti efek kebanjiran dan kekeringan. Penerapan pola tanam pada lahan kering, tegalan atau kebun dilakukan berdasarkan timing musim yang tepat. Penanaman stek singkong pada awal musim hujan dan panen pada saat musim kering, begitupun juga dengan penggunaan varietas unggul, kultivar atau klon lokal unggul yang cocok dengan lokasi tumbuh dan umur yang genjah atau umur dalam.

Wilayah pengembangan dan penghasil ubi kayu terbesar di Indonesia antara lain Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Selatan. Oleh organisasi Masyarakat Singkong Indonesia atau MSI, mengusulkan kepada pemerintah agar ubi kayu dijadikan komoditas strategis nasional sebagai penguat cadangan pangan pokok rakyat Indonesia selain padi dan jagung. Komoditas singkong bisa juga menjadi bagian dari program percepatan penganekaragaman pangan berbasis sumber daya lokal masyarakat serta program pengelolaan pekarangan pangan lestari.

Pada kegiatan budidaya ubi kayu yang dilakukan petani masih tergolong pengelolaan tanaman semi intensif dimana penggunaan pupuk organik maupun an- organik masih terbilang langka diterapkan. Namun dengan diterbitkan Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 04 Tahun 2025 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Pertanian Nomor 10 Tahun 2022 Tentang Tata Cara Penetapan Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi Sektor Pertanian, maka ubi kayu telah ditetapkan sebagai komoditas sasaran kuota pupuk bersubsidi.

Tanaman ubi kayu termasuk salah satu komoditas pertanian yang terakomodir dalam skema alokasi pupuk bersubsidi dan melengkapi subsektor tanaman pangan yaitu padi, jagung dan kedelai yang lebih awal memperoleh kuota pupuk subsidi secara nasional. Mekanisme pemesanan pupuknya melalui sistem perekaman elektronik RDKK sama dengan komoditas subsektor pertanian lainnya seperti cabai, bawang merah, bawang putih, tebu rakyat, kakao dan kopi (Pasal 3 Permentan Nomor 04 Tahun 2025).

Mengingat singkong yang sarat dengan kandungan gizi untuk kebutuhan metabolisme tubuh manusia meliputi unsur karbohidrat yang hampir setara dengan beras, komponen energinya sebesar 154 kalori per 100 gram ditambah pro vitamin, mineral dan serat maupun protein yang terkomposisi dalam umbi dan daun singkong. Tak salah jika ketela pohon ini menjadi bahan pangan pilihan sebagai pangan suksesor pengganti atau komoditi pendamping beras.

Peruntukan lain singkong adalah untuk kebutuhan industri tepung tapioka yang bisa menggantikan tepung gandum impor atau tepung singkong diubah sebagai butiran beras cerdas yang biasa disebut mocaf atau modified cassava flour (Ahmad Subagio, 2004). Hilirisasi singkong bisa memberi nilai tambah terhadap petani pengelola singkong maupun segenap pelaku ekonomi yang terlibat, mulai tenaga kerja budidaya hingga panen, buruh angkut dan armada mobilisasi sampai penyediaan bahan pendukung pohon industri singkong. Limbah hasil olahan singkong juga bisa dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak maupun didaur ulang menjadi olahan pupuk organik dan dikembalikan lagi ke lahan pertanaman singkong sebagai penyubur tanah dan sumber nutrisi tanaman.

Sebagai tanaman sumber pangan yang terpendam di dalam tanah dan menjadi cadangan pangan bagi masyarakat lokal, sewaktu-waktu digunakan untuk mencukupi kebutuhan pangan penduduk atau singkong tersebut sebagai asset investasi korporasi industri yang bermitra dengan petani, maka setiap daerah memiliki pendekatan dalam mengelola sumber daya hayati tersebut. Pada skala usaha yang besar dengan lahan yang luas serta pelibatan petani yang banyak, maka desain kerjasama contract farming dengan corporate swasta atau BUMN dan Bumdes setempat bisa saja dilakukan untuk memberi jaminan harga dan penyediaan pasar singkong kepada petani sebagai stimulan agar petani giat melakukan upaya peningkatan produksi singkong di wilayahnya.

Kabupaten Barru dengan luas lahan bukan sawah meliputi tegalan atau kebun rakyat seluas 5.431 hektare ditambah ladang atau huma seluas 2.511 hektare. Semua jenis lahan tersebut merupakan status lahan kering dengan topografi landai dan berbukit. Konsentrasi budidaya tanaman ubi kayu di Barru berpusat pada tiga desa pengembangan yaitu Lalabata, Lasitae dan Pancana plus desa lain dengan spot-spot tertentu. Total luas tanam dan luas panen dalam setahun mencapai antara 300 hingga 400 hektare pada lahan kering dengan produktivitas ubi basah berkulit 35-40 ton per hektare (Data Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Barru/BPP Tanete Rilau, 2024).

Sebagai komoditas tradisional bagi petani, pola pengembangan dilakukan secara monokultur setelah kegiatan panen komoditi palawija seperti jagung dan aneka kacang/umbi lain. Penerapan mix croping atau tumpang sari antar tanaman juga dilakukan petani sebagai bagian optimalisasi lahan pertanaman. Masalah klasik pemasaran hasil pertanian yang timbul dikemudian hari adalah ketika masa panen tiba dan produksi singkong melimpah harga menjadi anjlok, murah dan posisi tawar petani dalam memasarkan produknya tergolong lemah.

Strategi yang bisa dilakukan untuk mengatasi pemasaran hasil komoditi singkong antara lain mengorganisir petani agar pengaturan waktu panen diterapkan secara bergilir. Perlakuan panen berkala setiap blok kebun berdasarkan umur vegetatif tanaman sehingga volume hasil panen bisa terkendali. Kemudian pemusatan tempat pengolahan hasil panen menjadi produk akhir, tentunya hal ini didahului oleh kesiapan tenaga trampil pengolahan dan dukungan alat dan mesin pengolahan maupun utilitas lainnya seperti gudang penyimpanan dan manajemen sumber daya.

Dengan menganut manajemen dan pola integrasi industri tapioka di wilayah pengembangan singkong maka diharapkan pertumbuhan ekonomi daerah akan lebih maju dan mensejahterakan masyarakat khususnya para petani singkong. Guliran investasinya akan menambah maupun membuka lapangan kerja bagi para pelaku ekonomi di kawasan food estate manihot utilissima. Hilirisasi singkong ke sektor yang lebih luas tentunya menjadi trigger produk serta turunannya untuk mendukung sistem ketahanan pangan daerah hingga nasional.

Walaupun mungkin, singkong sebagai komoditi pertanian tidak seurgen tanaman pangan yang lain atau tanaman perkebunan dan hortikultura ataukah tanaman berumbi ini dinilai sebagai komoditi berkasta rendah atau masih dipandang sebagai produk pangan inferior sehingga kurang populer dan peminatnya tidak signifikan. Namun dinamika diversifikasi kebutuhan pokok dan kesadaran kolektif masyarakat akan sumber pangan alternatif yang sehat dan aman dikonsumsi tanpa kontaminasi bahan kimia beracun dewasa ini.

Kini, peran ketela pohon telah memperoleh perhatian serius untuk dikelola sebagai salah satu botani yang memiliki potensi besar penghasil karbohidrat dan kalori. Suatu waktu nanti komoditas Manihot utilissima atau Manihot esculenta akan berjaya untuk memenuhi bahan pangan pokok yang cukup dan terjangkau bagi masyarakat Indonesia.

Barru, 04 April 2025

*Penelaah Teknis Kebijakan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Barru

(Visited 56 times, 5 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.