Oleh : Tammasse Balla
Di rahim perempuanlah kehidupan bermula. Ia bukan sekadar ruang biologis, melainkan semesta pertama tempat ruh bertumbuh. Rahim adalah mihrab suci yang tak semestinya dikoyak oleh tatapan dan sentuhan yang tak bersih, apalagi dijamah oleh tangan yang tak memuliakan. Siapa yang layak menjadi penjaga mihrab ini, kalau bukan sesama perempuan yang mengerti gema harap dan nyeri sesamanya?
Laki-laki diciptakan dengan daya, perempuan dengan rasa. Namun, bukan berarti laki-laki tak punya rasa, atau perempuan tak punya daya. Namun, ketika bicara tentang tubuh perempuan, tentang rahim yang rapuh dan payudara yang berdenyut kasih, kehadiran perempuan sebagai dokter kandungan adalah pilihan yang penuh bijak, karena ia tak hanya mengobati—tetapi memahami.
Zaman modern telah mengangkat martabat wanita sejajar di ranah ilmu, namun renungan lama tetap bergema: Apakah semua yang bisa, lantas patut? Bukankah ada etika yang lebih tinggi dari sekadar kompetensi, yakni kehormatan? Jika perempuan merasa lebih nyaman ditangani oleh sesamanya, bukankah itu alasan yang cukup mulia untuk mempertimbangkan kelayakan seorang calon Dokter Spesialis Kandungan?
Seminggu terakhir ini, viral berita di media sosial tentang seorang Dokter Spesialis Kandungan pria di Garut, yang seharusnya menyembuhkan, tapi malah melecehkan pasiennya sendiri. Ia bukan hanya mencederai tubuh seorang perempuan, tapi juga merobek kepercayaan umat pada profesi yang suci. Seperti embun pagi yang diinjak dengan sepatu berlumpur, seperti sutra yang dicemari tinta hitam.
Di ruang periksa kandungan, bukan hanya tubuh yang diperiksa, tetapi juga perasaan yang terkuak. Ada perempuan yang membawa trauma, ada yang membawa harapan akan anak, ada pula yang menyimpan rahasia luka batin. Seorang perempuan dokter kandungan akan lebih mudah menyusup ke celah-celah luka itu tanpa menambah robekan.
Tak semua laki-laki buruk, dan tak semua perempuan suci, tapi jika kita dapat mencegah kejahatan dari kemungkinan yang bisa dihindari, mengapa kita tidak memilih jalan yang lebih tenang? Bukankah bijak mencegah air tumpah sebelum gentongnya retak?
Kita hidup di zaman terbuka, tapi masih menyimpan kerinduan pada batas. Batas bukan untuk mengekang, tetapi untuk menjaga. Seperti pagar di sekeliling taman: bukan untuk membatasi bunga berkembang, tapi untuk mencegah duri masuk merusak kelopak.
Jika setiap rumah sakit melatih dan menerima lebih banyak perempuan menjadi Dokter Spesialis Kandungan, maka akan tumbuhlah generasi baru yang menyembuhkan tanpa meresahkan. Yang menyentuh bukan hanya dengan sarung tangan, tetapi juga dengan kelembutan empati. Yang bertanya bukan hanya dengan mulut, tetapi dengan hati.
Bayangkanlah seorang ibu muda, gugup memasuki ruang periksa. Ia lebih tenang bila mendapati seorang perempuan yang menyambutnya, bukan hanya karena persamaan jenis kelamin, tapi karena ia tahu—ia sedang ditangani oleh seseorang yang juga mengalami nyeri haid, kontraksi kehamilan, dan gemetar saat mendengar detak jantung janin.
Kepada para pemangku kebijakan pendidikan kedokteran di Indonesia, renungilah ini seperti menatap langit selepas hujan. Jika tanggung jawab bisa diserahkan pada yang paling memahami, maka biarkanlah rahim dijaga oleh tangan yang tahu bagaimana rasanya membawa kehidupan dalam perutnya. Bukan karena kita membenci, tapi karena kita mencintai. Cinta yang tulus selalu tahu tempatnya kembali.
Alangkah manusiawinya, bila tubuh perempuan disentuh oleh tangan halus perempuan. Yang memahami rahasia kemaluan perempuan bukanlah mata yang mengukur, tapi jiwa yang turut merasakan denyutnya. Tak ada yang lebih merasaikan selain sesamanya. Perempuan bukan sekadar objek medis, ia adalah ciptaan yang lengkap dengan rasa malu dan harga diri. Jika yang memegang alat vitalnya adalah perempuan pula, ia merasa utuh sebagai manusia yang dijaga, bukan diperiksa semata.
Tubuh perempuan adalah tanah suci; hendaknya yang memijaknya adalah kaki yang tahu arah, dan hati yang tahu batas. Ketika tubuh dijadikan ruang praktik keilmuan, maka keilmuan itu harus dibungkus dalam adab. Dalam banyak hal, adab itu lebih mudah dijaga bila hubungan dokter-pasien dibangun atas dasar kesepadanan rasa dan kodrat. Ingat, tak salah bila dunia mulai mendorong: biarlah rahim dijaga oleh yang juga diciptakan dengan rahim.
———————————————
Hotel Remcy Makassar, 20 April 2025
Pk. 16.59 WITA