Setiap malam, sebelum merebahkan tubuh ke pembaringan, Maria membuka kontak bernama “Dia yang Kucinta” di ponselnya. Tak ada notifikasi baru, tak ada pesan masuk. Namun hatinya tetap penuh harap.
Ia tahu, cinta sejati tidak selalu harus hadir dalam bentuk nyata, atau terucap lewat kata-kata. Kadang, cinta hadir dalam bentuk paling suci: doa yang diam-diam disampaikan kepada Tuhan.
Malam ini, ia duduk di hadapan lilin yang menyala temaram, memegang rosario yang sudah aus oleh waktu dan air mata. Ia membisikkan doa:
“Ya Allah Tritunggal yang Maha Kudus,
Aku serahkan dia yang ada di hatiku ke dalam tangan-Mu.
Jika dia memang tulang rusuk yang Kau pilihkan untukku,
maka tuntunlah langkahnya hingga ia tiba pada waktumu, bukan waktuku.
Jaga dia di mana pun ia berada.
Kuatkan dia saat lelah, hiburkan dia saat sendiri.
Dan bila hatinya gelisah, peluk dia dengan kasih-Mu.”

Setelah doa itu, Maria membuka kotak pesan di ponselnya. Jari-jarinya menari di atas layar:
“Cinta,…
Aku tidak tahu apakah kau memikirkan aku seperti aku memikirkanmu. Tapi aku percaya, Tuhan sedang menulis kisah kita dengan tinta kasih-Nya yang kudus. Aku tak perlu terburu-buru mengejarmu, karena aku tahu, jika engkau memang bagian dari takdirku, kau akan datang dengan damai. Aku mencintaimu dalam diam yang penuh harap, dan mengirimkan cintaku lewat langit doa setiap malam.”
Ia tak menekan tombol “kirim”.
Ia hanya menutup matanya, membiarkan pesan itu naik bersama doa yang melayang ke Surga.
Malam itu, langit terasa lebih dekat, dan hatinya penuh damai.
Karena bagi Maria, mencintai adalah mempercayakan,
dan mengirim cinta lewat Tuhan adalah cara paling sakral untuk mencinta.💖
by profa.Elvira P.Xim’25