Dalam perjalanan hidup, tak seorang pun bisa menghindar dari luka. Luka datang dalam berbagai bentuk—pengkhianatan, kehilangan, kegagalan, atau penolakan. Ada hari-hari ketika dunia seakan runtuh, dan langit di atas kepala terasa berat, kelabu, dan jauh. Namun, di balik perih dan air mata, sesungguhnya luka memiliki bahasa rahasia: ia bicara tentang kemungkinan. Luka bukanlah akhir. Luka adalah awal dari langit yang terbuka.

Setiap luka menyimpan celah, dan melalui celah itulah cahaya masuk. Itulah saat ketika jiwa mulai mengenali kebutuhannya akan sesuatu yang lebih tinggi daripada dirinya sendiri. Ketika semua kekuatan telah habis, hati belajar bersandar pada kasih yang tak terlihat, namun nyata: kasih yang turun dari langit.

Luka bukan sekadar rasa sakit. Ia adalah panggilan ilahi yang lembut tapi tegas. Tuhan, dalam kerahiman-Nya, tidak menyia-nyiakan air mata kita. Dalam luka yang paling dalam, ada benih cinta yang sedang ditanam. Terkadang, saat kita terluka, kita menjadi lebih manusiawi—lebih lembut, lebih peka, lebih sadar akan kehadiran yang melampaui logika. Kita mulai menyadari bahwa langit tidak selalu jauh. Ia bisa hadir dalam pelukan seseorang, dalam bisikan doa, atau dalam keheningan malam ketika kita hanya bisa menangis.

Dalam luka, ada ruang untuk penyembuhan. Dan penyembuhan sejati tidak datang dari waktu semata, tetapi dari cinta—cinta yang tidak menghakimi, yang tidak menuntut, yang hanya hadir. Cinta yang membuka langit adalah cinta yang bersumber dari Tuhan, yang menyentuh kita melalui orang-orang yang tetap tinggal saat dunia menjauh, melalui harapan kecil yang tak padam, melalui senyum dalam tangis, dan melalui keberanian untuk terus melangkah meski tertatih.

Luka mengajar kita untuk melihat ke atas. Bukan untuk melarikan diri, tetapi untuk membuka diri. Langit yang terbuka adalah metafora akan harapan, pengampunan, dan kebangkitan. Ketika kita membiarkan luka menjadi altar, maka langit akan menjadi gereja tempat kita disembuhkan. Di sana, kita tidak lagi sendirian. Kita menemukan bahwa cinta ilahi telah menunggu untuk menjumpai kita di tempat yang paling rapuh.

Maka biarlah luka tidak kita sembunyikan. Biarlah ia menjadi jendela. Biarlah dari luka itu, langit terbuka. Dan dari langit yang terbuka, turunnya rahmat—menyapu jiwa kita, mengangkat kita dari lembah kelam, dan membawa kita pulang ke dalam pelukan cinta sejati.

by profa Elvira P.Xim’25

(Visited 17 times, 1 visits today)
Avatar photo

By Elvira P. Ximenes

Elemen KPKers Dili TL, telah menyumbangkan puluhan tulisan berupa, artikel, cerpen, dan puisi ke BN, dengan motonya, "Mengukir makna dalam setiap kalimat, menghidupkan dunia dalam setiap paragraf", pingin jadi penulis mengikuti jejak para penulis senior lainnya di Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.