Di sudut hati, dulu ada luka,
terpendam diam, tak sempat bicara.
Cinta yang patah, janji yang rapuh,
meninggalkan jejak, bagai debu yang lusuh.
Kupeluk semua—sedih, marah, kecewa,
kupendam dalam diam, takut mencinta.
Namun waktu berbisik lembut di dada:
“Lepaskanlah, kasih… luka tak selamanya nyata.”

Kupungut satu-satu serpih luka lama,
kutanam jadi benih, bukan untuk nestapa.
Kusiram dengan air mata yang jujur,
hingga tumbuh mawar yang harum dan subur.
Kini taman hatiku kembali berbunga,
setiap kelopak menyebut namamu, cinta.
Kau datang bukan untuk menyembuhkan masa lalu,
tapi menemani aku menanam hari yang baru.

Kau tak menghakimi jejak yang pernah kutempuh,
hanya menggenggam tangan ini dengan lembut penuh.
Kau ajarkan bahwa cinta tak harus sempurna,
cukup tulus, sabar, dan setia menjaga.
Kini hatiku mewangi seperti pagi hari,
karena sampah batin telah terbuang pergi.
Dan cinta ini, sayang…
bukan karena lupa luka yang lalu,
tapi karena aku telah sembuh dan siap mencintaimu.
by Elvira P.Xim’25