Oleh: Dr. H. Tammasse Balla, M.Hum.*
Kompetisi Liga Dangdut Indonesia (LIDA INDOSIAR) 2018 lalu, sarat prestasi dan prestisius. Indonesia yang membentang dari Pulau Sabang sampai Pulau Merauke, membujur dari Pulau Miangas sampai Pulau Rote menikmati geliatnya persaingan itu. Sebanyak 34 provinsi dari daratan Indonesia tersebut mengirimkan dutanya.
Seleksi super ketat pun dilakukan di tiap-tiap provinsi. Duta yang dikirim ke Jakarta telah melalui proses panjang dan seleksi yang luar biasa ketatnya. Sulawesi Selatan telah berhasil meloloskan lima orang calon dutanya untuk berlaga di Jakarta. Pertarungan sesungguhnya belum dimulai. Untuk memasuki gerbang Studio 5 Indosiar, kelima calon duta dari Sulawesi Selatan itu diadu lagi di depan Dewan Dangdut. Dari sinilah awal perjuangan ketat tiap provinsi. Genderang polling SMS sudah mulai ditabuh.
Terjaringnya Selfi sebagai Duta Dangdut Sulawesi Selatan, telah membuat banyak konstelasi skenario baru. Salah satu yang paling unik adalah pertemuan dengan saudaraku Ruslan Ismail Mage (RIM), seorang akademisi, inspirator, dan penggerak. Saya dipertemukan kembali karena momentum Selfi di Lida tersebut.
Komunikasi kami sempat terputus karena kesibukan masing-masing. Sejak kami merampungkan S1 di Unhas, boleh dikata tidak ada komunikasi. RIM merantau ke Sumatra mengabdi di Unes Padang sebagai Dosen Kopertis Wilayah X. Adapun saya diterima mengabdi di almamater Unhas. RIM menyelesaikan pendidikan pascasarjananya di UI Jakarta. Malang-melintang sebagai motivator dan penulis buku. Langganan diundang sebagai pembicara tamu di berbagai kota sampai melewati batas-batas negara. Adapun saya merampungkan studi pascasarjana di Unpad Bandung dan Program Doktor Linguistik di Unhas.
Kehilangan kontak dalam waktu cukup lama, bukan berarti jejak memori masa kanak-kanak kami sudah hilang. Pertemuan terakhir kami sudah sangat lama, diperkirakan tak kurang dari tiga dasawarsa. Namun, selalu saja ada jejak tapak dalam ingatan sewaktu kami masih bocah di kampung.
Seiring dengan penampilan tiap duta dangdut di Indosiar, tak terkecuali Selfi, menggugah para warga sosmed (netizen). Ada netizen yang senang memberi jempol kepada penyanyi andalannya. Ada yang suka berkomentar singkat, misalnya “Ewako Selfi, mantap, keren”, dan lain-lain. Bermunculan komentator-komentator baru bak cendawan yang tumbuh di musim hujan. Pendek kata, demam LIDA waktu itu telah melahirkan banyak penulis dadakan.
Di antara para komentator , ada seseorang yang lain daripada yang lain. Tulisannya panjang, berbobot, dahsyat, mampu memainkan perasaan pembacanya. Tak kurang ia dapat menyetel imaji penikmat tulisannya. Salah satu ciri khasnya, ia mengaitkan dengan teori kemasyarakatan dan mensitir sedikit dunia politik.
Komentar-komentarnya menggugah saya untuk menanggapi tiap episode tulisannya. Setelah memperhatikan siapa penulisnya, tiba-saya teringat akan sebuah nama. Saya pun mencoba meneropong balik waktu beberapa puluh tahun lalu. Ternyata, Ellang telah bereinkarnasi menjadi RIM, sahabat bocahku dulu di kampung. Kami sering main-main tanah di halaman rumah tantenya di Kampung Pacongkang, Soppeng.
Selanjutnya kami menjalin komunikasi di Facebook. Saling mengingatkan waktu kecil dulu. Akhirnya, kami bersepakat untuk mengumpulkan tulisan-tulisan tentang Sefi yang banyak tersebar di media sosial. Setiap Selfi tampil, kami menulis status bertalu-talu di media sosial, menginspirasi pendukung Selfi untuk mengirim SMS. Jadilah buku pertama kami berjudul “The Power of Selfi”, tanpa kami pernah bertemu muka.
Hari Jumat, 27 April 2018, kami bertemu pertama kali di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar. RIM sengaja terbang dari negeri kata-kata Minangkabau, transit di Jakarta, menuju Makassar membawa buku yang kami tulis berdua. Keluar dari pintu bandara, kami berpandangan lama seakan jiwa kami terlempar jauh ke masa tiga puluh tahun yang lalu. Kami berpelukan setelah lost contact puluhan tahun.
Sahabat pembelajar, itulah kekuatan literasi. Buku telah mempertemukan kami. Buku menyatukan dua saudara yang terpisah jarak dan waktu selama lebih dari 30 tahun.
*Akademisi Senior Universitas Hasanuddìn Makassar
Mantap bang RIM jadi inspirasi buat nitizen literasi BN untuk mengikuti jejakmu….sangat inspiratif.