Oleh: Aldo Jlm
Apa pun yang terjadi, meskipun badai menerjang dan menerpa cintaku, aku takkan goyah. Jika cinta sudah beraksi, yang tak menghiraukan apa pun yang menimpanya dan akan tetap berdiri kokoh menahan segala marabahaya yang menerpanya.
Berawal dari suatu pesta di desa, kala itu di malam nan sunyi jadi saksi bisu, selagi menikmati pesta acara resepsi peresmian balai desa. Kita berdua menari dan berdansa ria, melangkah seiring irama musik pesta, aku membisikkan kata hatiku padanya. Dia terdiam sejenak, dan hanya tersenyum menatap wajahku, pertanda bahwa ia menyetujui bisikan kata batinku.
Hari-hari pun berlalu, aku diingatkan dalam mimpi oleh suara-suara syahdu dari alam sana, bahwa dialah yang cocok buatmu, ‘tuk mengobati hatimu yang telah terluka dari cinta pertamamu. Suara itu tetap membisikkan di kupingku, hingga kutitipkan salamku lewat seorang anak yang menemaninya. Dengan tersenyum ia membalas jawaban cintaku, bahwa ia mau menemaniku, mengobati hatiku yang telah terluka ini hingga sembuh.
Hari-hari berikutnya aku mulai menantinya di jalan raya menuju kota kelahiranku. Ia tersenyum menyapaku dan aku pun membalasnya dengan senyuman, lalu kami mulai saling mengantar dari desa kami menuju kota kelahiranku, sambil bercerita tentang hati yang sedang berbunga-bunga di kala jatuh cinta, hingga menuturkan cinta pertamaku padanya.
Di suatu malam yang sunyi, di kala ia melayat seseorang yang meninggal di dusunku, aku mulai mencoba memberanikan diri untuk mengantarnya pulang ke rumahnya. Tiba di rumahnya yang kesepian kami mulai memadu kasih di sana sambil meneguk secangkir teh dengan sebuah pisang goreng. Tidak lama kemudian, tantenya yang berada di sebelah rumahnya mulai datang memberi wejangan moral pada kami, agar kami tetap pada pendirian untuk maju dalam percintaan kami menuju ke pelaminan. Setelah setengah beberapa jam kemudian, para tetangga mulai bergosip dan berdatangan dengan golok dan parang, kayu dan batu, seolah-olah mereka menyerang seorang pencuri. Aku hanya terdiam dan nurut saja apa yang mereka ingin katakan padaku.
Sepulangnya mereka, aku pun tak kembali pulang ke rumah, tapi aku ingin bercerita dan bermadu kasih bersamanya di sana hingga ngantuk dan bermalam di sana. Kala itu di akhir bulan oktober 1997, matahari mulai menampakkan wajahnya ke bumi Lorosa’e. Orang-orang semakin bergosip dan dalam waktu yang singkat seluruh penduduk kota kelahiranku udah pada tahu semuanya. Situasi semakin memanas, di kala bapak-bapaknya mulai berdatangan, ada yang mengancam saya, dan ada pula yang mengancam keluarga saya untuk melunasi belis saya dalam waktu singkat. Kalau tidak semuanya berabe. Namun, ketika salah satu bapanya mengikat dan menampar pipiku, ia pun mulai berteriak sekencang-kencangnya, “jangan memukulnya, tapi kalau mau bunuh ya bunuh aja kami berdua sekalian”. Dengan suara terbata-bata namun penuh dengan cinta ia membelaku mati-matian, agar aku pun tidak terluka.
Selama seminggu badai terus mengamuk di dusunku, tapi aku tak peduli dan berdiam diri di sampingnya. Hilang sudah rasa haus dan laparku ketika cintaku diterpa badai yang berapi-api. Meskipun badai air laut yang ganas dapat pasang sampai ke darat, tapi suatu saat ia akan reda juga. Begitu pula cintaku yang diterpa badai pada suatu saat ia akan reda juga.
Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, dan tahun demi tahun pun berlalu. Semuanya kembali tenang bagai lautan teduh. Setahun berlalu buah cinta pertamaku lahir, selang dua-dua tahun adik-adiknya lahir dengan sehat wal afiat, hingga kini cintaku berbuah empat.
Bahtera rumah tanggap pun dipandu dan dibangun bersama oleh dua insan yang berbeda pandangan, beda jenis, beda filosofi hidup, beda kasta, beda rasa dan sebagainya…semuanya berbeda, dapat dipandu bersama dalam bahtera cinta yang tetap bersemi, di kala susah dan senang selalu bersama meniti hari-hari dengan jiwa yang tegar menghadapi gelombang pasang surutnya kehidupan ini, dari sengsara membawa kenikmatan di dunia fana ini.
Itulah liku-liku kehidupan cintaku yang bersemi di musim semi diterpa badai ombak yang ganas, tapi di kala ia surut ia tenang seperti danau Umunira yang tenang tak bergoyang. Angin dan taufan tetap berlalu karena ia berada di lembah, begitu pula cintaku di kala menghadapi badai yang menerpanya, tetap rendah hati dan sabar, badai akan berlalu, dan tenang kembali seperti sedia kala.
Mungkinkah cintaku yang bernasib sial? Ataukah aku yang melanggar aturan, sehingga selalu dilanda badai, dari cinta pertamaku hingga cinta keduaku, selalu dihadang oleh badai. Namun, kesabaran, kerendahan dan keikhlasan hatiku yang selalu memenangkannya di akhir badai.
Oleh: Aldo Jlm’22
Edisi 100822