Oleh: Muhammad Irwan Sulaiman*

Dalam kalender hijriah, Islam mengenal empat bulan haram yang dihormati: Dzulqaiddah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Menurut Al Qodhi Abu Ya’la dalam Kitab Zaadul Maysir, istilah bulan haram memiliki dua makna. Pertama, terdapat larangan pembunuhan selama keempat bulan ini. Kedua, larangan melakukan dosa lebih ditekankan daripada pada bulan-bulan lain.

Keempat bulan ini dianggap sebagai waktu yang paling baik untuk melaksanakan amal kebajikan, seperti yang disukai oleh para salaf yang suka berpuasa di dalamnya. Larangan melanggar simbol-simbol Allah dan bulan-bulan suci, seperti yang dinyatakan dalam Al-Qur’an (Surah At Taubah ayat 36) dan Surah Al Ma’idah ayat 2, menekankan pentingnya menjaga kesucian bulan-bulan yang dihormati tersebut.

Keempat bulan haram dalam Islam tersebut ditetapkan berdasarkan hadis dari Abu Barkah RA sebagai periode gencatan senjata dalam agama Islam. Meskipun demikian, jika Muslim diserang selama bulan-bulan ini, mereka tetap diizinkan untuk mempertahankan diri sesuai dengan ajaran Islam. Keutamaan dari keempat bulan haram, seperti yang tercatat dalam hadits, termasuk pelipatgandaan amalan yang dilakukan selama periode ini. Amalan yang dilakukan pada bulan-bulan haram dianggap lebih utama daripada berjihad, sesuai dengan ucapan Rasulullah SAW yang diceritakan oleh Ibnu Abbas RA.

Dalam sistem penanggalan Islam, bulan Qamariyah dimulai dengan bulan Muharram, yang menandai awal tahun dalam kalender hijriyah yang digunakan umat Islam. Al-Qur’an menjelaskan dengan jelas tentang bulan-bulan haram yang dihormati dalam agama ini. hal ini terjadi pula bagi muslim di Indonesia dalam bentuk tradisi akulturasi islam dan budayanya pada suku tertentu di bumi nusantara, termasuk pada masyarakat Bugis-Makassar.

Menurut Dr. Firman Saleh dari Universitas Hasanuddin, masyarakat Bugis-Makassar memiliki tradisi unik dalam menyambut tahun baru Islam. Ketika memasuki bulan Muharram, mereka sering membeli perlengkapan rumah tangga seperti ember dan gayung secara besar-besaran. Tradisi “mappasagena” ini telah diwariskan secara turun-temurun dan diyakini memberikan dampak positif bagi kehidupan dalam setahun ke depan.

Dikutip dari tulisan as’adiyah pusat tradisi di atas ditanggapi oleh ulama setempat bahwa tradisi belanja perabot pada bulan tersebut sejalan dengan perintah nabi untuk mencukupi kebutuhan keluarga, baik itu berupa sandang, pangan, papan maupun kebutuhan di jaman sekarang yang berbeda dengan kebutuhan di masa lampau.

Disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh at Thabrani al-Bayhaqi:

مَنْ وَسَّعَ عَلَى عِيَالِهِ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ وَسَّعَ اللهُ عَلَيْهِ فِى سَنَتِهِ كُلِّهَا

Orang yang melapangkan keluarganya pada hari Asyura’ (10 Muharram), maka Allah akan melapangkan (kehidupannya) pada tahun tersebut.

Menurut tradisi Bugis-Makassar, membeli perabot rumah tangga seperti gayung, ember, dan baskom disebut sebagai sennu-sennureng. Praktik ini dianggap sebagai simbol dari harapan akan keberuntungan dan kebaikan di masa depan, mencerminkan sikap optimisme. Dalam konteks Islam, hal ini sering kali diinterpretasikan sebagai tafa’ul, yaitu melakukan doa atau harapan melalui tindakan simbolis daripada kata-kata langsung.

Secara etimologi Tafâ’ul berasal dari Bahasa Arab (tafa’ala-yatafa’alu- tafa’ul) dengan akar kata al-fa’l memiliki jamak fu’ul yang berarti pertanda baik. Istilah tafâ’ul memiliki kontras dengan thiyarah atau tasha’um yang menggambarkan sikap pesimis. Tafâ’ul digunakan untuk menyuarakan hal-hal yang membawa kegembiraan melalui keyakinan baik terhadap Allah, sementara thiyarah hanya berkaitan dengan hal-hal yang cenderung pesimistis.

Tafa’ul dalam Islam tidak dilarang, karena terdapat riwayat oleh Ibnu Majah melalui sanad yang baik dari Abu Hurairah, yang merujuk kepada Nabi Muhammad SAW.

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْجِبُهُ الْفَأْلُ الحَسَنُ وَيُكْرَهُ الطِّيْرَةَ

Sesungguhnya Nabi saw. menyukai sikap optimis dan tidak menyukai ramalan kesialan.

Menurut Imam an-Nawawi, hadis tersebut menjelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW menyukai tafa’ul karena ketika seseorang mengharapkan nikmat dari Allah SWT, baik dengan sebab yang kuat maupun lemah, dalam suatu keadaan untuk mendapatkannya, maka dia berada dalam kebaikan pada saat itu. Meskipun harapan tersebut belum tentu terwujud, sikap berharap itu sendiri lebih baik dibandingkan sikap pesimis yang mengandung prasangka buruk dan dugaan terhadap kemungkinan terjadinya bencana.

Demikianlah tradisi unik masyarakat Bugis-Makassar dalam menyambut tahun baru Islam dengan membeli perlengkapan rumah tangga secara besar-besaran pada bulan Muharram, dikenal sebagai “mappasagena“, juga mencerminkan sikap optimisme dan harapan akan keberuntungan di masa depan, yang sejalan dengan konsep tafa’ul dalam Islam. Dalam hal ini kembali kepada niat dan keyakinan yang tidak mencederai aqidah tauhid yang bersangkutan.

Wallahu a’lam bishshawab.

Parepare,10 Muharram 1446 Hijriyah/16 Juli 2024

*Dosen IAIN Parepare, Pembina Komunitas Pendakwah Keren (KPK) Kota Parepare.

(Visited 49 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.