Langit mendung menyelimuti suasana keintiman di perkantoran Administrasi Munisipiu Lautém, kala di hari jumat senja itu, di awal bulan agustus, tiba-tiba suasana berubah warna merah kelabu, raut wajah yang selama ini, cerah secercah cahaya rembulan, kini redup bagai gerhana mentari di ufuk barat. Mengapa tidak? Tiada awan, tiada hujan, tiada petir dikala senja jumat itu, namun suasana berubah seketika. Sebabnya oleh adanya pergantian posisi dari kedudukan lama ke kedudukan baru, baik dari orang dalam maupun orang luar, tiada lain merupakan kaki tangan dan orang-orang dekat sang pemimpin baru.
Biasanya apa yang diucapin akan dilaksanakannya sesuai dengan apa yang diperintahkan. Tapi ini lain ladang, lain lubung, lain gatal lain garuk. Itulah pemimpin masa kini di era kemerdekaan Timor Leste yang telah merestaurasi kemerdekaannya di ultah ke duapuluh lima ini. Lain halnya dengan negara tetangga sebelah yang bersemboyang Pancasila, berbhineka tunggal ika, meskipun berbeda pendapat tapi kalau sudah naik tahta pemerintahan, merangkul mereka semua dan bekerja sama, dalam membangun daerahnya.
Biasanya ada aksi pasti ada reaksinya, namun kali ini sebaliknya, walaupun ada aksi berkali-kali tapi ia tidak bereaksi apapun, namun ia merasa minder mengikuti aksinya, karena ia tahu bahwa aksinya ini hanya mengikuti nalurinya saja, bukan berdasarkan pada tata aturan yang berlaku, di negara hukum (lei no ordem) ini.
Pada masa kampanye sering dilontarkan, jikalau aku yang menang dan memimpin negeri ini, aku akan merangkul semua orang, tidak melihat partidarisme, familiarisme, sukuisme, rasisme, dan isme-isme lainnya. Tapi sebaliknya, setelah naik tahta situasinya berubah seratus delapan puluh derajat. Segala faham isme-isme tersebut diatas diimplementasikannya secara merata dari ujung ke ujung.
Kalau sudah begini, masa depan negeri ini, terlebih Munisipiu Lautém ini dipetanyakan? Bukannya yang sudah ada diteruskan oleh aparat pemerintah selanjutnya, tetapi malah dibongkar-pasang baru, menurut nalurinya. Kapan kita akan menjadi seperti Indonesia, Filipina, Singapura, Brunei Darussalam, negara tetangga sebelah kita yang merangkul semua sumber daya manusianya, sehingga negeri mereka cepat maju seperti negara-negara lainnya di dunia ini. Kapan kita seperti mereka? Apakah ini sudah menjadi duri dalam daging dari masa ke masa, berbalut dendam membara, dari satu pemerintah ke pemerintah selanjutnya sampai ke anak cucu kita?
Semenjak sang pemimpin baru bertahta, hanya manis di mulut tapi pahit di hati, sehingga apa yang Ia utarakan dikala itu, tidak digubrisnya. Semasa pemerintahanku tidak berlaku segala isme-isme beserta antek-anteknya, tapi realitasnya malah sebaliknya. Bagaikan air susu dibalas dengan air tuba, bagaikan langit dan bumi. Semua yang dilakukan oleh pendahulunya tidak pernah mengikutinya, baik aksinya, pesannya, semuanya tidak digubrisnya. Meskipun ada tempat yang masih vakum dikala sang pemilik posisi lama digusur dari jabatannya, tapi malah dibiarkannya begitu saja, lalu apakah semua pekerjaan akan berjalan secara otomatis? Diremot oleh sang pemegang remoter, menurut kehendaknya, kita tunggu saja permainan selanjutnya.
Menurut sang SekMun (Secretario Municipal) former bahwa, “permainan sedang dimulai, kita tunggu hasilnya”. Kita lihat saja, semoga motto Lautém, “Bersatu Lautém teguh, keteguhan dapat mempersatukan Lautém” tidak dilunturkan oleh sang pemimpin baru dengan antek-anteknya, tidak menginjak-injaknya, dan mengikutinya supaya tetap aman sentosa sampai masa pemerintahannya usai. Agar pembangunan di munisipu kita Lautém dapat berjalan lancar sesuai dengan keinginan kita semua.
Edisi special, di awal agustus 2024