“Apa yang kau lakukan di situ, bro? Bukannya masuk ke kantor, kau malah berdiri di depan gerbang.” Tanya Bakri kepada Wahid.
“Atau jangan-jangan kau lagi menunggu datangnya Nurul?” Lanjut Bakri.
“Loh, sudah tahu kok malah bertanya.” Wahid melengos, memandang jauh ke ujung jalan, lalu memilih duduk di bonggol pohon mangga yang telah lama ditebang.
Tak lama berselang, Nurul tiba di gerbang sekolah membonceng di sepeda motor bapaknya. Dengan tergesa ia masuk, tak melirik walau sekilas ke arah Wahid yang mencuri pandang padanya sambil berpura-pura mencabuti rumput.
“Loh, katanya menunggu. Pas yang dinanti datang, malah tak ditegur. Menunggu apa itu namanya?” Bakri mendekat dan ikut duduk di samping Wahid yang masih terus memandang punggung Nurul nan kian menjauh.
“Bro, kalau memang cinta, bukan begini caranya. Dekati, dan ungkapkan perasaanmu, agar kau tahu bagaimana perasaannya padamu, dan tak ada orang lain yang mendekatinya.” Bakri menepuk pundak Wahid.
“Kri, menurutku, memang beginilah sejatinya mencintai. Engkau akan terpuaskan dengan semesta dirinya, termasuk menghitung langkahnya memasuki gerbang kantor, melihat punggungnya di kejauhan, bahkan sekadar mendengar senandungnya, telah bisa menggetarkan hatimu.” Jawab Wahid.
“Aneh, mencintai model apa itu? Direbut orang, baru tahu rasa! Banyak teman kantor loh, yang mengincar Nurul.” Bakri berdiri, menatap Wahid dengan mata mendelik.
“Saya cuma mencintainya, Kri, bukan ingin memilikinya.” Jawab Wahid, ikut berdiri dan menepuk-nepuk debu yang menempel di celananya.
“Lalu, kau hanya akan memuaskan cintamu dengan cara seperti itu? Tak ada niat untuk menikahinya?” Bakri beranjak melangkah masuk ke gedung kantor.
“Kalau toh akhirnya kami menikah, bukan karena aku memilikinya, tetapi itu karena kita berkomitmen untuk saling mencintai.” Wahid memburu, mensejajarkan kakinya dengan langkah Bakri.