“Sudah ke TPS dan memilih, Daéng?” Tanya Daéng Matteru kepada Daéng Marola saat mereka bertemu ketika keluar dari masjid selepas berjamaah duhur, sambil menunjukkan kelingkingnya yang berbalut tinta biru tua.
“Tidak, saya memilih untuk tidak memilih, tidak ada calon yang memenuhi harapanku. Mending saya menyiapkan pesanan skincare dari pelangganku.” Jawab Daéng Marola sambil berlalu. Jemarinya bersih tanpa bekas tinta.
“Susah memang kalau mencari yang ideal.” Daéng Matteru yang juga pengurus partai jambu putih dan mengusung salah satu kandidat, mencoba meyakinkan Daéng Marola agar mau menggunakan hak pilihnya, bahkan memilih kandidat yang diusung partainya.
Setelah mengatur nafas, Daéng Matteru melanjutkan, “Ini bukan zaman nabi, Daéng. Para kandidat juga bukan malaikat.”
“Kalau begitu buat apa pergi memilih? Ujung-ujungnya hanya melanggengkan yang buruk, toh semua pilihan sama saja.” Daéng Marola melengos.
“Tapi minimal kita memilih yang lebih sedikit mudaratnya. Prinsipnya memilih yang terbaik di antara yang buruk.” Daéng Matteru mencoba meyakinkan, TPS sebentar lagi di tutup.
Daéng Marola seakan tak peduli, tetap saja melangkah menjauh.
Sambil memburu dan meraih tangan Daéng Marola, Daéng Matteru terus meyakinkan, “Daéng, memilih itu hak, jangan sia-siakan. Ini cara untuk mencegah agar yang terpilih jadi pemimpin, bukan calon yang paling buruk! Daéng turut bertanggungjawab!”
Daéng Marola mengentikan langkah, menatap Daéng Matteru, “Jangan salahkan warga yang tak menggunakan hak pilihnya.”
Setalah menarik nafas panjang, Daéng Marola melanjutkan, “Kalian para pengurus partai yang harusnya berefleksi, mengapa bukan yang terbaik yang kalian ajukan untuk dipilih, mengapa kalian lebih memilih mengajukan calon yang jelas keburukannya, hanya karena mereka yang mampu melobi partai dengan uang?”
Mendengar itu, Daéng Matteru kehabisan argumen, hanya berdiri mematung di bawah terik menyaksikan punggung Daéng Marola yang kian menjauh.