Oleh: Ruslan Ismail Mage*
Salah satu rutinitas memasuki purnabakti adalah menemani istri belanja di pasar tradisional. Di tengah hiruk-pikuk pasar, mata saya terpaku pada melimpah ruahnya hasil bumi, ikan segar, dan kebutuhan pokok yang terpajang. Dalam hati saya memuji, subhanallah, begitu besar anugerah Tuhan yang dilimpahkan kepada negeri ini. Indonesiaku, tanah yang makmur permai, sesuai dengan lirik lagu Koes Plus:
“Bukan lautan hanya kolam susu. Kail dan jala cukup menghidupimu. Tiada badai, tiada topan kau temui. Ikan dan udang menghampiri dirimu. Orang bilang tanah kita tanah surga. Tongkat kayu dan batu jadi tanaman.”
Namun, ketika rasa syukur saya mengalir deras, realitas sosial tiba-tiba menampar saya keras. Di sudut pasar, seorang ibu dengan anak kecil di gendongannya memungut butiran beras dari lantai. Kantong plastik hitam di tangannya tampak sehitam ketidakberdayaan ekonomi yang digilas hukum pasar.
Pemandangan serupa menghantam hati saya lagi saat melewati lapak penjual ikan. Seorang bapak tua mengantri untuk membeli sisa perut ikan seharga lima ribu rupiah—sisa yang dibuang tukang pembersih ikan. Hukum pasar, yang hanya berpihak pada pemodal, terus memporak-porandakan ketegaran kaum kecil.
Dua realitas ini—ibu pemungut butiran beras dan bapak tua pembeli perut ikan—menyadarkan saya betapa lirik lagu Koes Plus terasa seperti nostalgia yang usang. Lagu itu mungkin relevan di era 70-an, ketika Indonesia belum sepenuhnya terjerat sistem kapitalisme yang menindas. Kini, di era pasca-reformasi, tanah air yang disebut “tanah surga” itu menjadi medan air mata bagi kaum lemah yang tertindas.
Sebagai anak bangsa yang gemar mengamati realitas sosial, politik, dan ekonomi, saya merasakan emosi yang tak terbendung. Marah, muak, sedih, dan frustrasi bercampur dalam pikiran saya. Saya mencoba menghibur diri dengan membuka aplikasi TikTok. Namun, justru air mata kembali mengalir ketika melihat lautan manusia di Gelora Bung Karno serempak menyanyikan lagu “Tanah Airku”.
Ketika lirik “Tanah airku tidak kulupakan, kan terkenang selama hidupku” terucap, hati saya terasa sesak. Bait-bait itu begitu indah, tetapi di saat yang sama terasa ironis. Tanah yang kita cintai, tanah yang kita banggakan, terus dirusak oleh tangan-tangan tak bertanggung jawab.
Usai melafalkan lagu kebangsaan itu, saya tidak bisa lagi menahan gejolak emosi. Dengan suara tertahan, saya berteriak: “Bangsat, bangsat, bangsat!”
Bagaimana mungkin negeri yang disebut tanah surga ini bisa dibiarkan jatuh sedemikian rupa? Kekayaan alam dirampok oleh kapitalis, hukum menjadi tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas, dan rakyat kecil dibiarkan bertahan hidup hanya cukup untuk tidak kelaparan esok hari. Ideologi Pancasila, yang seharusnya menjadi panduan kehidupan berbangsa, hanya dijadikan jargon tanpa makna.
Sampai kapan kita terus membodohi rakyat dengan menukar suara mereka hanya dengan sembako? Sampai kapan koruptor terus dipelihara tanpa rasa malu? Sampai kapan demokrasi dipermainkan oleh mereka yang berkuasa?
Teriakan ini bukan sekadar luapan emosi pribadi. Ini adalah jeritan kaum lemah, yang suaranya teredam di sudut-sudut kehidupan, di dalam “goa” keterpinggiran.
Maaf, saya tidak sedang mencari simpati. Ini hanyalah ungkapan kegelisahan seorang anak bangsa yang mencintai tanah airnya, tetapi kecewa melihat kenyataan yang ada. Bangsat!
*Penulis buku “Radikalisme, Demokrasi, dan Kemiskinan”