Oleh: Ruslan Ismail Mage*
Para pendiri bangsa ini berpikir revolusioner sekaligus visioner. Disebut revolusioner karena keberanian mereka meneriakkan semboyan “Merdeka atau mati” dalam perjuangan menghentikan pembodohan rakyat oleh penjajah. Tidak ada yang lebih revolusioner daripada kerelaan mengorbankan jiwa demi kemerdekaan. Disebut visioner karena mereka memahami bahwa masa depan suatu bangsa tidak hanya bergantung pada kekayaan alamnya, tetapi pada kualitas sumber daya manusianya.
Sikap ini terwujud dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yang menetapkan tujuan nasional: mencerdaskan kehidupan bangsa, menciptakan kesejahteraan umum, melindungi seluruh tumpah darah Indonesia, dan membantu mewujudkan ketertiban dunia serta perdamaian abadi.
Di antara tujuan itu, mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi kewajiban utama pemimpin pada semua tingkatan. Konstitusi telah menempatkannya sebagai prioritas tertinggi, hingga anggaran sebesar 20 persen APBN diwajibkan untuk sektor pendidikan. Semua ini dilakukan agar anak-anak bangsa terbebas dari belenggu kebodohan.
Namun, apa yang terjadi pasca-reformasi menunjukkan kenyataan pahit. Perintah konstitusi untuk mencerdaskan bangsa, serta alokasi 20 persen APBN untuk pendidikan, masih jauh dari harapan. Ironisnya, yang terjadi justru sebaliknya: para pemimpin pada berbagai level tampak “kompak” memelihara kebodohan rakyat.
Pemilu: Ajang Pembodohan Massal
Fenomena ini paling jelas terlihat saat pemilu. Hampir setiap kali pesta demokrasi berlangsung, politisi sibuk menebar praktik politik uang dalam berbagai bentuk: mulai dari pembagian sembako, amplop serangan fajar, hingga program bantuan sosial yang digelontorkan secara strategis menjelang hari pemungutan suara. Semua itu bertujuan melumpuhkan kemampuan rakyat untuk berpikir kritis dan kalkulatif dalam menentukan pilihannya.
Adakah pembodohan yang lebih hina daripada menghargai suara rakyat hanya dengan sekantong sembako? Adakah yang lebih tidak bermoral daripada memanfaatkan ketidaktahuan rakyat tentang dampak buruk dari politik uang? Rakyat yang seharusnya menjadi pemilih cerdas dibiarkan kehilangan daya tawar, hanya untuk ditukar dengan janji-janji kosong dan lembaran uang Rp50 ribu.
Pilkada serentak yang baru saja usai, misalnya, kembali memperlihatkan pola serupa. Pemenang-pemenang pesta demokrasi ini mungkin sudah mulai berpesta, bergembira dalam euforia kemenangan. Tapi sadarkah mereka bahwa kemenangan itu sering kali diraih melalui politik uang? Sadarkah mereka bahwa praktik ini hanya akan menyeret mereka ke hadapan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kelak?
Pemilu yang berbasis politik uang hanya melahirkan dua hal. Pertama, pemimpin bayangan yang lebih berkuasa daripada gubernur, wali kota, atau bupati terpilih. Pemimpin bayangan ini adalah para cukong dan sponsor pemilik modal yang mengatur jalannya pemerintahan di balik layar. Kedua, rakyat yang terus terjebak dalam kebodohan, tanpa memahami dampak buruk dari praktik ini. Semakin rakyat tidak kritis, semakin besar peluang politik uang untuk menang.
Kebodohan yang Sengaja Dipelihara
Mengapa rakyat tetap dibiarkan bodoh? Jawabannya sederhana: karena kebodohan adalah senjata ampuh bagi politisi culas. Pemimpin yang terpilih melalui politik uang cenderung tidak akan mendukung alokasi anggaran untuk pendidikan pemilih. Mereka tahu, rakyat yang cerdas tidak akan mudah dibodohi atau ditipu untuk menukar suaranya dengan sembako.
Fenomena ini adalah lingkaran setan yang terus berulang. Pemimpin yang korup akan memelihara kebodohan rakyat, karena itulah cara mereka mempertahankan kekuasaan. Akibatnya, proses demokrasi di negeri ini tidak pernah benar-benar menghasilkan pemimpin yang amanah, tetapi hanya menghasilkan pemimpin yang lahir dari praktik transaksional.
Jika praktik ini terus berlangsung, kapan kita bisa berharap munculnya pemimpin sejati yang benar-benar lahir dari suara hati rakyat? Sampai kapan rakyat terus dipermainkan dan dibodohi? Pertanyaan ini adalah refleksi mendalam bagi kita semua, bukan hanya untuk mereka yang duduk di kursi kekuasaan.
Memelihara kebodohan adalah kejahatan besar terhadap bangsa ini. Dan lebih besar lagi kejahatan itu jika dilakukan oleh pemimpin yang seharusnya menjadi pelita bagi rakyatnya.
*Akademisi dan penulis trilogi buku politik menjelang pemilu.