Oleh: Ruslan Ismail Mage*

Pilkada serentak 27 November 2024 telah berlalu, menyisakan beragam cerita dengan segala dinamikanya. Meskipun tak banyak kejutan, beberapa tontonan menarik tersaji di panggung politik lokal kita.

Namun, seperti biasanya, pemenang Pilkada masih didominasi oleh mereka yang bermodal besar. Para cukong tetap memainkan peran sebagai sponsor utama kemenangan. Setelah itu, cukong menjelma menjadi pemimpin bayangan, mengendalikan kepala daerah terpilih. Pilkada pun kian mengukuhkan dirinya sebagai arena pertarungan antar-cukong, bukan ajang adu gagasan dan visi pembangunan.

Tulisan ini tidak lagi tertarik membahas peran cukong yang sudah terang benderang di ruang publik dan menjadi rahasia umum. Alih-alih, fokus kali ini tertuju pada fenomena menarik yang muncul di panggung debat Pilkada.

Debat yang Kehilangan Esensi

Sejatinya, debat Pilkada dirancang untuk mengukur empat kualitas utama calon kepala daerah: intelektualitas, kapabilitas, moralitas, dan etikabilitas. Intelektualitas dibutuhkan untuk meramu konsep pembangunan daerah yang visioner. Kapabilitas menentukan sejauh mana calon memiliki kompetensi teknis dan praktis untuk memimpin. Moralitas diperlukan untuk memastikan integritas pribadi calon. Sementara itu, etikabilitas mencerminkan komitmen terhadap kejujuran, tanggung jawab, dan kepatuhan pada norma etika.

Namun, panggung debat Pilkada 2024 justru memperlihatkan kemiskinan empat kualitas tersebut. Banyak calon kepala daerah tampak gagap dalam menjabarkan gagasan visioner atau menjawab pertanyaan panelis. Tidak sedikit yang gagal menunjukkan kemampuan merumuskan solusi nyata bagi daerah yang ingin mereka pimpin.

Fenomena ini memancing komentar kritis netizen. Beberapa calon kepala daerah bahkan mendapat julukan lucu. Ada politisi Google, julukan untuk mereka yang tampak “googling” jawaban saat debat. Ada pula politisi janda, karena gemar menggunakan diksi “janda” dalam retorika kampanyenya. Namun, yang paling menggelitik adalah istilah “politisi Bolu Cukke” yang muncul dari seorang sahabat di Sulawesi.

Politisi Bolu Cukke

Bolu cukke adalah kue khas Bugis yang dipanggang di atas bara api. Untuk mengeluarkannya dari cetakan panas, kue ini harus dicungkil (cukke) dengan sendok atau lidi. Dari sinilah istilah ini berasal.

Sebutan “politisi Bolu Cukke” disematkan kepada seorang calon kepala daerah yang, dalam debat, selalu mencolek pasangan calonnya untuk menjawab pertanyaan. Setiap kali mendapat tantangan atau pertanyaan sulit, ia tampak tidak mampu menjawab sendiri, sehingga segera “mencungkil” pasangannya untuk mengambil alih.

Fenomena ini melukiskan lemahnya kualitas kepemimpinan calon kepala daerah. Namun, dalam sistem politik kita, kualitas seperti itu kerap kali tidak relevan. Selama ada modal besar untuk membeli suara rakyat, kualitas intelektual, moralitas, dan kemampuan retorika tampaknya bukan syarat mutlak untuk menang.

Merenungi Nasehat HOS Tjokroaminoto

Jauh sebelum demokrasi kita tiba pada titik ini, HOS Tjokroaminoto pernah memberi nasihat bijak kepada muridnya, Sukarno: “Jika ingin menjadi pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator.” Nasehat ini sejatinya menggarisbawahi pentingnya kemampuan berpikir tajam, menyampaikan gagasan secara persuasif, dan menawarkan visi yang menginspirasi.

Sayangnya, jika kita mengukur panggung debat Pilkada dengan standar tersebut, sulit rasanya menemukan calon pemimpin yang memenuhi kriteria itu. Sebaliknya, Pilkada lebih sering melahirkan pemimpin kecil dengan gagasan yang dangkal, namun didukung oleh modal besar dan praktik politik transaksional.

Masa Depan Politik Kita

Fenomena politisi “Bolu Cukke” bukan sekadar hiburan di panggung Pilkada, tetapi cermin realitas politik kita yang jauh dari harapan. Jika ingin menciptakan demokrasi yang sehat, sudah saatnya sistem politik kita memastikan bahwa pemimpin yang terpilih adalah mereka yang berkompeten, bukan sekadar bermodal.

Pilkada seharusnya menjadi arena melahirkan pemimpin besar dengan visi besar, bukan pemimpin kecil yang hanya mengandalkan dukungan cukong. Jika tidak, demokrasi kita hanya akan terus melahirkan pemimpin yang lebih peduli pada sponsor daripada rakyat yang mereka pimpin.

*Ruslan Ismail Mage, Akademisi, Founder Sipil Institut Jakarta, dan penulis buku “Industri Politik”.

(Visited 374 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.