Oleh: Gusnawati Lukman*

Beberapa waktu lalu Aku mendengar kisah luar biasa tentang seorang penulis kawakan. Sosok yang terlahir dengan senjata pena di tangannya terus memupuk mimpinya menjadi penulis. Sejak kecil, cita-citanya hanya satu menjadi seorang penulis. Dari bangku sekolah dasar, ia sudah menorehkan cerita-cerita kecil, yang kelak menjadi pondasi bagi karya-karya besarnya. Waktu membuktikan, ia menjadi penulis sejati. Bukan sekadar melahirkan ratusan karya tulis, tetapi mampu melahirkan ratusan penulis baru. Hari demi hari, ia terus berkarya, menerbitkan buku demi buku. Ia terkenal dengan quotenya, “Menulis buku semudah mengatakan cinta”. Kini namanya harum sebagai inspirasi bagi banyak orang. Forum-forum besar selalu menunggu kehadirannya menginspirasi ratusan sampai ribuan orang.

Karya-karyanya adalah refleksi dari jiwanya yang tak pernah lelah untuk berbagi pemikiran, pencerahan, dan pandangan kritis. Hebatnya, produktivitasnya tidak terhenti meskipun ia berada dalam kondisi yang sulit. Ia terserang penyakit yang membuatkan harus bolak balik Rumah Sakit. Penyakit yang dideritanya tidak mampu memadamkan semangatnya untuk tetap terus menulis dalam kondisi apa pun. Justru dalam keadaan tersebut, ia semakin produktif dan bergairah untuk berkarya, seolah-olah menulis menjadi bentuk perlawanan paling ampuh terhadap sakit yang ia derita. Aku kadang berpikir: ini orang kok tambah produktif yaa di bangsal Rumah Sakit.

Kondisinya lemah, tapi karyanya setiap hari mengangkasa menyebarkan virus inspirasi ke jiwa yang sedang membutuhkan asupan motivasi. Aku saja yang dalam keadaan sehat lahir batin, terkadang kehilangan gairah untuk berkarya. Hanya scroll-scroll media sosial yang menjadi rutinitasku. Ingin sekali mengikuti jejaknya berkarya tanpa henti, menjadikan hidup lebih bermakna.

Baginya, menulis bukan sekadar aktivitas, melainkan napas hidup. Dalam keadaan sehat, ia menulis dengan penuh semangat, melahirkan buku-buku yang menggugah dan inspiratif. Namun, dalam kondisi sakit sekalipun, ia tetap menghasilkan karya yang penuh makna. Tidak ada keluhan, tidak ada keluh kesah. Tulisan-tulisannya yang tersebar hampir setiap hari, menjadi bukti nyata bahwa semangat dan kreativitasnya tidak pernah padam, bahkan ketika tubuhnya sedang lemah.

Mungkin, bagi penulis ini, menulis adalah obat terbaik. Dengan setiap kata yang dituliskan, ia seperti menemukan kekuatan baru, seolah-olah tinta yang mengalir dari penanya adalah energi yang menguatkan tubuh dan jiwanya. Tulisan-tulisannya tak hanya memberikan pencerahan dan kritik terhadap situasi negeri ini, tetapi juga menjadi inspirasi bagi banyak orang untuk tidak menyerah pada keadaan. Baginya, sakit bukanlah alasan untuk berhenti, justru menjadi motivasi untuk terus memberi kontribusi melalui tulisan.

Kisahnya adalah pelajaran berharga bagi kita semua. Kreativitas tidak mengenal batas, tidak dipengaruhi oleh kondisi fisik atau situasi apa pun. Ia membuktikan bahwa semangat berkarya adalah hal yang abadi, sesuatu yang mampu bertahan meski tubuh lemah dan waktu terus berjalan. Penulis ini mengajarkan bahwa menulis adalah wujud keberanian, keteguhan hati, dan dedikasi tanpa henti, yang akan selalu menjadi jejak abadi dari perjalanan hidupnya. Totalitas tanpa batas.

Aku ingin seperti dia. Berkarya tanpa batas, tanpa syarat. Menjadi inspirasi di lingkungan di mana Aku berada. Setiap momen tidak ada yang terlewatkan begitu saja. Alangkah indahnya hidup apabila kita mampu menjadi obor yang menerangi orang banyak. Sehat selalu sang penulis sejati, kami tidak pernah jenuh menunggu buah penanya yang akan abadi selamanya.

*Penggiat literasi menulis, koordinator Pena Anak Indonesia

(Visited 11 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.