Oleh : H. Tammasse Balla*

Air turun dari langit, bersuara seperti rintihan bumi yang terlalu lama menahan haus. Ia jatuh, menyusup, membasahi tanah yang retak, menyapu jalanan, menghampiri rumah-rumah yang sunyi. Namun manusia, seperti biasa, meratap lebih dulu daripada berpikir. Banjir datang, mereka menggugat hujan, menyalahkan awan, memaki musim yang tak pernah bersalah. Padahal, di sudut lain dunia, air adalah doa yang belum terjawab.

Ketika kemarau menggigit, tanah mengelupas seperti kulit tua. Sumur-sumur kering, sungai-sungai kering-kerontang, dan lidah manusia mengeluh haus. Mereka berdiri di bawah matahari, memohon air seperti anak-anak meminta pelukan ibunya. Saat hujan turun, doanya terlalu deras, membawa lebih dari yang mereka sanggup tampung. Air yang sama menjadi musuh, mencuci tanah, menyeret atap, menghanyutkan mimpi-mimpi.

Namun, salahkah air? Ia hanya berjalan ke mana bumi memintanya. Selokan penuh sampah, drainase tersumbat oleh kelalaian manusia sendiri. Air itu setia, selalu setia, tapi ia juga buta. Ia hanya mengalir, mencari tempat kosong, mengisi celah-celah tanpa tanya. Jika ia membanjiri rumahmu, bukan karena ia ingin, tapi karena jalannya kau tutup sendiri.

Lihatlah mereka yang berdiri di genangan, memaki air dengan suara yang lebih keras dari debur hujan. Ada yang menangis karena rumahnya tenggelam, ada yang meronta karena rumahnya hanyut, ada yang kehilangan pesta, ada yang kehilangan nyawa. Sesekali, ada yang tertawa di tengah banjir. Di pojok jalan, pesta kecil tetap berlangsung, ironi memang berpesta di atas air.

Air itu rahmat, tapi rahmat yang tak dijaga berubah menjadi laknat. Tembok-tembok yang bocor bukan salah hujan, tapi manusia yang tak peduli. Selokan yang meluap bukan dosa langit, tapi dosa tangan-tangan yang melempar sampah tanpa pikir. Hujan bukan perusak, manusia yang mengabaikan peringatan alam.

Dengan demikian, sebelum musim hujan tiba, bergeraklah. Bersihkan jalan air, rawat saluran, dan jaga tempatmu agar siap menerima tetes hujan yang penuh berkah. Berikan atapmu perlindungan, bukan sekadar doa. Karena air, bagaimanapun, hanya menuruti gravitasi. Ia turun, mengalir, mencari jalan pulang. Jika ia berakhir di ruang tamumu, itu bukan kehendaknya.

Jangan salahkan air, karena ia hanya cermin kebiasaan kita. Hujan adalah puisi yang turun dari langit, kadang pilu, kadang megah. Bacalah ia dengan hati yang lapang, dan mungkin kau akan temukan maknanya. Hujan, seperti hidup, adalah rahasia yang menunggu untuk dijaga, bukan disalahkan.

*Akademisi senior Universitas Hasanuddin Makassar

(Visited 18 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.