Oleh: Tammasse Balla

Dunia ini adalah terminal transit, tempat singgah jiwa-jiwa yang berjalan menuju kampung halaman abadi. Sebuah pelataran sementara di mana manusia berlalu-lalang, membawa tas kehidupan berisi beban dosa dan pahala, sambil menunggu waktu keberangkatan yang telah ditentukan. Setiap nafas adalah detak jarum jam yang takkan pernah berhenti berputar, mengingatkan bahwa waktu tidak mengenal belas kasihan. Dunia ini memang indah, tetapi seperti senja yang berkilauan di cakrawala, ia hanya sekejap dan akan lenyap ketika malam tiba.

Seperti penumpang di terminal yang berdesak-desakan, manusia sibuk mengejar keperluan hidupnya. Ada yang membawa koper penuh keserakahan, ada pula yang hanya menggenggam tas kecil berisi doa-doa. Dalam keramaian itu, dunia menawarkan kemewahan sebagai pemikat hati, tetapi sayangnya banyak yang lupa bahwa terminal hanyalah persinggahan. “Tidakkah kau ingat, wahai manusia?” bisik angin yang melintas di sudut hati, “Bahwa perjalanan ini memiliki akhir?”

Setiap pagi adalah panggilan dari langit, menyeru manusia untuk berbuat baik. Matahari, yang berjalan dengan langkah agung di ufuk timur, memanggil bumi untuk bersujud kepada-Nya. “Lihatlah aku,” katanya dengan sinar keemasannya, “aku menyinari siapa saja tanpa pilih kasih. Adakah kau melakukan hal yang sama dengan sesamamu?” Namun, manusia sering lupa. Mereka berlomba mengejar bayangan, lupa pada kenyataan bahwa apa yang mereka kejar akan ditinggalkan begitu saja di terminal ini.

Waktu, sang penuntun perjalanan, terus berlari tanpa henti. Ia tak pernah memandang ke belakang, meninggalkan jejak-jejak manusia yang lalai. Dalam bayang waktu, ada yang menangis karena kehilangan, ada yang tertawa dalam kealpaan. Waktu hanya berkata, “Aku hanyalah saksi perjalananmu, wahai insan. Aku tidak bisa menolongmu ketika akhir perjalananmu tiba.”

Dunia, dengan segala keelokannya, hanyalah seperti taman bunga di tengah gurun. Warnanya memukau, tetapi ia tidak memberi air bagi jiwa yang dahaga. “Lihatlah ke atas!” teriak pepohonan yang akarnya menancap dalam, “Langit itu adalah tujuanmu, bukan aku yang hanya tumbuh di tanah sementara ini.” Namun, betapa banyak yang tertipu oleh bunga-bunga indah itu, terpesona oleh fana yang melupakan keabadian.

Sekali nafas masih bertahta, berbuat kebaikanlah seperti awan yang memberi hujan kepada tanah gersang. Langit yang luas tak pernah sombong, meski ia tinggi di atas segala-galanya. Ia menurunkan hujan untuk kehidupan di bumi, menyirami yang layu dan menghidupkan yang mati. Tidakkah manusia belajar dari kebijaksanaan langit? Bahwasanya, hidup adalah memberi, bukan semata-mata menerima?

Di terminal ini, manusia lupa bahwa tiket keberangkatannya telah dicetak. Hanya saja, waktu keberangkatan tidak pernah diberitahukan. Malaikat penjaga waktu berjalan di sekitar kita, diam-diam menghitung setiap detik yang berlalu. Ketika nama seseorang dipanggil, ia harus meninggalkan dunia ini tanpa tawar-menawar. “Adakah bekalmu cukup untuk perjalanan panjangmu?” tanya suara tak terlihat yang menggema di hati setiap insan.

Namun, manusia yang bijak adalah dia yang menanam pohon meski tahu esok mungkin ia tak sempat berteduh di bawahnya. Ia memahami bahwa kebaikan adalah warisan yang akan terus hidup meski jasad telah tiada. Setiap langkah kebaikan yang diambil adalah bekal yang akan menyala terang dalam perjalanan panjang setelah terminal ini. Ia tidak takut pada kematian, karena ia tahu bahwa kematian hanyalah pintu menuju kehidupan yang lebih kekal.

Dunia ini bukanlah tujuan, ia hanya sebuah ruang tunggu dengan pemandangan indah. Ketika waktu keberangkatan tiba, manusia harus siap meninggalkan segalanya. Tiada gunanya menggenggam erat dunia ini, karena ia akan lepas dengan sendirinya. “Barang siapa yang hidup untuk dunia, ia akan mati bersama dunia. Namun, barang siapa yang hidup untuk akhirat, ia akan hidup selamanya,” kata suara hikmah yang terukir di kitab kehidupan.

Saudaraku, ingatlah bahwa perjalanan ini belum selesai. Selagi nafas masih terhirup, berbuat baiklah, meski sekecil senyuman kepada sesama. Senyuman itu bisa menjadi pelita di jalan gelap yang akan kita lalui. Dunia ini adalah persinggahan sementara, tetapi perbuatan kita di sini adalah peta menuju akhirat. Jangan pernah berhenti untuk bersujud, karena itulah tanda bahwa kita siap untuk pulang. []

(Visited 8 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.