Oleh: Tammasse Balla

Sungai mengalir dengan rendah hati, membentangkan dirinya di antara lembah dan daratan, menerima segala yang datang padanya tanpa menolak. Ia tak pernah menuntut ketinggian seperti gunung, tak pula ingin mencakar langit seperti pohon yang menjulang. Ia cukup tahu bahwa kekuatannya justru terletak pada kerendahannya. Air yang mengalir dalam tubuhnya adalah berkah yang ia tampung dengan tulus, tanpa merasa lebih tinggi dari tanah yang dipijaknya.

Dalam ketenangan, sungai mendengarkan setiap suara alam. Ia merangkul derai hujan yang jatuh dari langit, menyambut gemercik embun yang turun dari daun-daun. Ia bahkan tak menolak ketika lumpur dan dedaunan gugur ke dalam pelukannya. Betapa lapangnya hatinya, tak pernah memilih-milih siapa yang boleh datang dan siapa yang harus pergi. Ia menampung semuanya, lalu dengan arif ia saring sendiri mana yang boleh tinggal dan mana yang harus ia bawa pergi menuju lautan luas.

Seperti sungai, manusia yang ingin memiliki banyak sahabat sebaiknya menempatkan dirinya di tempat rendah. Bukan berarti rendah diri, melainkan rendah hati. Orang yang merendahkan hatinya akan lebih mudah menerima, lebih sabar dalam mendengar, dan lebih ikhlas dalam memberi. Tak ada yang segan mendekati sungai, sebab ia tak angkuh, tak pula mendikte arah siapa pun yang singgah. Begitulah manusia yang hatinya luas, ia menjadi tempat berlabuh bagi banyak jiwa yang membutuhkan keteduhan.

Namun, lihatlah bagaimana nasib batu yang sombong, yang menolak untuk direndam sungai. Ia tetap di tepi, tak mau larut, hingga perlahan terkikis oleh waktu. Begitu pula dengan orang yang terlalu meninggikan dirinya, yang memandang rendah sesamanya. Lambat laun, ia akan ditinggalkan, terpisah dari arus kehidupan, tersisih dari kebersamaan. Ia akan terbuang dari kumpulannya, kata Chairil Anwar dalam puisinya, Aku.

Sungai juga mengajarkan kita tentang kebijaksanaan dalam perjalanan hidup. Ia tak menantang rintangan yang menghadangnya, melainkan mencari celah, mencari jalan lain, tanpa kehilangan tujuannya. Ia tahu bahwa yang keras tak selamanya kuat, dan yang lembut tak selamanya lemah. Seringkali yang lentur justru lebih mampu bertahan dari hantaman zaman.

Begitulah manusia seharusnya belajar dari sungai. Jangan kaku dalam bergaul, jangan keras dalam menyikapi kehidupan. Ada saatnya mengalah bukan berarti kalah, dan ada saatnya mengalir bukan berarti tak berpendirian. Orang yang bijaksana adalah mereka yang tahu kapan harus bertahan dan kapan harus mengikuti alur, tanpa kehilangan jati diri.

Lihatlah juga bagaimana sungai tak pernah menyimpan air hanya untuk dirinya sendiri. Ia terus mengalir, memberi kehidupan bagi sawah, ladang, dan semua makhluk yang bergantung padanya. Tak ada keserakahan dalam dirinya. Ia memberi tanpa takut kehabisan, karena ia tahu, air yang ia lepaskan akan kembali padanya dalam wujud yang lain.

Begitulah hidup. Orang yang dermawan, yang tak takut berbagi ilmu, tenaga, dan kasih sayang, justru akan semakin kaya. Mereka yang menggenggam erat segala sesuatu dalam ketamakan, hanya akan merasakan kekosongan pada akhirnya.

Sungai juga tak pernah menolak aliran air yang kotor. Ia menerimanya, membersihkannya perlahan, lalu mengantarkannya ke tempat yang lebih baik. Bukankah begitu juga seharusnya hati manusia? Menerima setiap luka, setiap kesalahan, lalu memurnikannya dalam kebesaran jiwa.

Ingat, belajarlah dari sungai. Jadilah rendah hati seperti air yang mengalir, jadilah lapang seperti alirannya yang luas, dan jadilah pemurah seperti arusnya yang tak pernah berhenti memberi. Pada akhirnya, kehidupan akan mengalir seperti sungai menuju samudra kebahagiaan bagi mereka yang mau belajar darinya.

(Visited 19 times, 4 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.