Oleh : Tammasse Balla
Di beranda rumah tua, di bawah cahaya lampu Petromax yang bergoyang ditiup angin malam, kakek menuturkan wasiatnya dengan suara berat, namun teduh. Setiap katanya bagai embun yang menetes di atas daun kering—dingin, namun memberi hidup baru. “Anakku, cucuku,” katanya, “jika kelak kalian tinggal di suatu kampung, namun tiada seorang pun yang iri atau cemburu, segeralah tinggalkan kampung itu.” Ucapan itu seperti petir yang menyambar hati, namun di balik kilatnya tersimpan cahaya kebenaran.
Aforisme kakek: “Hidup yang tak menimbulkan reaksi, adalah hidup yang belum memberi arti.”
Kakek tahu benar sifat manusia. Cemburu adalah api yang lahir dari bara kelebihan orang lain. Iri adalah bayangan gelap yang mengikuti sinar keberhasilan. Jika manusia tidak iri, berarti tiada cahaya yang cukup terang dari dirimu untuk menimbulkan bayangan. Wasiat itu bukan perintah untuk mencari permusuhan, melainkan penegasan bahwa hidup yang tak meninggalkan bekas pada orang lain adalah hidup yang belum berpijar.
Aforisme kakek: “Jika tiada bayangan yang mengikuti, mungkin cahaya dirimu belum cukup terang.”
Hidup, kata kakek, bukan sekadar bernafas, tetapi menyalakan lentera. Lentera itu, meski memberi terang, tak jarang membuat mata yang rabun silau. Seperti bintang yang dirindukan malam, tetapi sering juga dituding oleh awan gelap yang cemburu. Jiika tiada satu pun yang terganggu oleh sinarmu, mungkinkah engkau benar-benar bersinar?
Aforisme kakek: “Lentera yang benar-benar menyala selalu membuat gelap tak betah di sekitarnya.”
Wasiat itu bukanlah seruan untuk sombong, tetapi peringatan agar jangan puas dengan hidup yang datar. “Jika engkau hanya menjadi ombak kecil yang tak menimbulkan riak,” kata kakek, “maka laut tetap sunyi, tak ada kapal yang menoleh. Namun, jika engkau menjadi gelombang yang mengguncang, maka semua mata menatap, meski sebagian ingin engkau reda.
Aforisme kakek: “Ombak kecil dilupakan, gelombang besar dikenang meski sering dimaki.”
Manusia, lanjutnya, selalu menyimpan dua wajah. Ada yang tersenyum di hadapanmu, tetapi menyimpan bara di dadanya. Ada yang mendoakanmu dalam lisan, tetapi hatinya menginginkan tumbangmu. Namun jangan takut, sebab dengki itu sesungguhnya tanda bahwa engkau telah melampaui batas rata-rata. Burung yang terbang rendah tak pernah dilempari batu, hanya burung tinggi yang jadi sasaran anak panah.
Aforisme kakek: “Jika engkau dilempari, jangan marah—itu tanda engkau sedang terbang tinggi.”
“Biarlah mereka berbicara di belakangmu,” kata kakek, “sebab itu artinya engkau berada di depan.” Betapa indah perumpamaan itu. Orang yang berjalan paling depanlah yang biasanya menjadi bahan perbincangan barisan belakang. Ia jadi penunjuk jalan, meski kadang diiringi celaan. Dalam celaan itu, seringkali tersembunyi pengakuan bahwa engkau lebih dahulu melangkah.
Aforisme kakek: “Jika namamu disebut dari belakang, berarti langkahmu sudah jauh di depan.”
Kakek mengajarkan, jangan habiskan umur untuk membalas dengki. Api tidak pernah padam dengan api, melainkan dengan air. Balaslah kebencian dengan kebaikan, walau hati kita sering ingin menggenggam bara dendam. Bila engkau terjebak membalas, engkau sejatinya sudah menurunkan derajatmu menjadi sama dengan mereka.
Aforisme kakek: “Jangan turunkan dirimu ke lumpur hanya untuk melawan yang sedang bergelimang di sana.”
Hidup yang berharga, menurut kakek, adalah hidup yang dipenuhi tujuan. Tujuan itu seperti bintang utara: tetap bersinar meski awan mencoba menutupinya. Iri dan dengki manusia hanyalah awan yang lewat. Jangan berhenti melangkah hanya karena langitmu sesaat mendung. Di balik mendung, cahaya tetap ada, menunggu untuk kembali menyinari bumi.
Aforisme kakek: “Bintang tak pernah hilang, hanya kadang tertutup awan sementara.”
Betapa dalam wasiat itu. Ia bukan sekadar nasihat seorang tua yang renta, melainkan suara pengalaman yang telah mengarungi laut pahit getir kehidupan. Kata-katanya adalah peta yang menuntun anak cucunya agar tidak salah memilih jalan. Peta itu penuh tanda: jika ada dengki, artinya engkau telah sampai di jalan yang benar. Jika sunyi tanpa cemburu, barangkali engkau berjalan di jalan yang terlalu sepi untuk disebut perjuangan.
Aforisme kakek: “Jalan yang benar sering ditandai dengan kerikil dengki, bukan dengan hamparan karpet pujian.”
Kini, setiap kali angin senja menyapa, wasiat kakek itu kembali bergaung dalam dada. Bahwasanya hidup bukan sekadar mencari teduh, melainkan berani menjadi nyala yang kadangkala membuat orang silau. Bahwa perjalanan manusia akan selalu beriringan dengan rasa iri orang lain. Jangan takut—selama langkahmu lurus, Allah selalu bersamamu. Teruslah berjalan, meski bayangan iri mengekormu, sebab di hadapanmu terbentang cahaya tujuan yang abadi.
Aforisme kakek: “Selama Allah bersamamu, dengki manusia hanyalah angin lalu yang tak mampu merobohkanmu.”