Oleh : Tammasse Balla
Umur bagai peluru yang ditembakkan dari laras senapan. Ia melesat begitu cepat, tidak pernah singgah, tidak pernah menoleh. Kita hanya mendengar desingnya, lalu ia lenyap di cakrawala waktu. Tak seorang pun bisa menghentikannya, apalagi memanggilnya kembali. Waktu itu keras kepala—ia tidak menawar, tidak menunggu, tidak berkompromi.
Aforisme: “Umur itu peluru, bukan bola—sekali ditembak, tak pernah kembali.”
Karena itu, dunia ini sejatinya bukan tempat tinggal, melainkan tempat peringatan. Jalan raya penuh rambu, penuh tanda. Ada yang menoleh, ada yang abai, ada yang pura-pura tidak melihat. Padahal, setiap rambu adalah panggilan dari Tuhan agar kita tak tersesat. Yang sering kita sebut penderitaan, sebenarnya hanyalah papan tanda agar kita berhati-hati di tikungan.
Aforisme: “Setiap luka adalah rambu dari Tuhan, janganlah kau abaikan.”
Kita singgah di dunia hanya sebentar. Seperti musafir di bawah pohon rindang—berteduh sejenak, minum seteguk air, lalu melanjutkan perjalanan panjang. Mengapa kita harus berebut tanah yang tak sampai sejengkal? Mengapa harus menyimpan dengki yang hanya membakar dada sendiri? Bukankah sebentar lagi kita pun pergi, tak peduli sepatu apa yang kita pakai hari ini?
Aforisme: “Dunia hanya halte, jangan berperang memperebutkan kursi tunggu.”
Hidup terlalu singkat untuk dihabiskan dengan membenci. Hidup terlalu mahal untuk diisi dengan menghitung dosa orang lain. Jika ada kesempatan untuk menolong, bantulah tanpa pandang bulu. Jangan tanya agamanya, jangan lihat kulitnya, jangan timbang untung-ruginya. Karena sesungguhnya, yang kita tolong bukan hanya manusia itu, tapi diri kita sendiri di hadapan Tuhan.
Aforisme: “Menolong orang lain sejatinya menolong diri sendiri di mata Tuhan.”
Ukirlah prestasi, bukan sekadar demi tepuk tangan manusia, tapi agar kita sendiri merasa tidak sia-sia pernah dilahirkan. Jangan jadi debu yang ditiup angin, hilang tanpa bekas. Jadilah pohon yang meninggalkan buah, jadilah air yang meninggalkan kesegaran. Orang yang hanya sibuk mengumpulkan harta tanpa kebaikan, bagai menimbun pasir di tepi pantai—sebentar lagi ombak datang dan segalanya hanyut.
Aforisme: “Prestasi adalah ukiran jiwa, bukan sekadar hiasan dunia.”
Nama baik adalah pusaka yang lebih abadi daripada emas. Manusia mati meninggalkan nama, harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading. Jagalah nama baik itu dengan perbuatan. Nama itu kelak akan dipanggil di antara malaikat, disebut dalam doa anak cucu, dikenang dalam cerita orang-orang yang pernah merasakan kebaikanmu.
Aforisme: “Emas bisa hilang dicuri, nama baik hanya hilang jika kita yang merusaknya.”
Kita tidak bisa memilih umur kita sepanjang apa. Kita bisa memilih, apakah umur kita meninggalkan makna atau sekadar hitungan angka. Umur panjang tanpa amal hanyalah kalender yang penuh coretan, tak punya arti. Umur singkat penuh amal adalah buku yang disalin dari cahaya, abadi hingga hari kemudian.
Aforisme: “Umur bukan soal panjangnya hari, tapi dalamnya arti.”
Hidup terlalu singkat, maka hiduplah dengan arti. Jangan biarkan ia mengalir tanpa warna, seperti air comberan yang hanyut ke selokan. Warnailah ia dengan cinta, dengan ilmu, dengan kebaikan. Biarlah umurmu singkat, asal jejakmu panjang. Di hadapan Allah, umur bukanlah hitungan tahun, melainkan seberapa banyak engkau sempat menjadi cahaya. Hidup tak.ubahnya seperti pidato, bukan panjangnya, melainkan isinya
Aforisme: “Umur singkat yang bercahaya lebih abadi dari usia panjang yang gelap.” [HTB]