Oleh : Tammasse Balla
Sore ini, di antara tumpukan kardus dan debu yang beterbangan, Allah menuntun mataku pada sebuah benda. Ia bukan sekadar benda mati, tapi pengingat hidup yang lama hilang dari pandangan. Sebuah mesin tik tua, merek TA Royal 206. Hatiku bergetar. Seperti bertemu kembali dengan sahabat lama yang telah lama kupanggil dalam doa.
Betapa indah cara Allah mempertemukan manusia dengan kenangannya. Mesin tik ini dulu bukan sekadar alat, ia adalah “pacar setia” yang tiap hari menemaniku. Ketika aku masih mahasiswa empat dasawarsa silam, ia menjadi teman seperjalanan menuju cita-cita. Malam demi malam, jari-jemariku menari-nari di atas tutsnya, menorehkan kalimat demi kalimat. Aku tahu, setiap ketukan itu adalah bagian dari takdir yang Allah gariskan.
Dentangnya masih terngiang-ngiang di telinga, seperti lantunan dzikir yang mengisi sepi. Suara berisiknya adalah irama doa yang diam-diam mengiringi langkah hidupku. Ia macet, ia berkarat, ia menyulitkan, tapi justru di situlah Allah mendidikku: sabar, telaten, dan tekun. Tak ada jalan pintas. Seperti hidup, tak ada fasilitas “delete”. Kata yang tercetak adalah tanggung jawab. Begitu pula lidah manusia, setiap ucapan kelak dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya.
Belum ada komputer, belum ada internet. Namun, di balik keterbatasan itu, Allah memperlihatkan kelapangan. Mesin tik tua itu mengajariku, bahwa kesempurnaan bukanlah syarat untuk berkarya. Yang diperlukan hanyalah keikhlasan hati dan kesungguhan niat. Allah menilai bukan alat yang canggih, tapi proses yang jujur.
Malam-malam panjang bersamanya adalah kampus kehidupanku. Lampu redup, teh tawar, dan mesin tik itu menjadi saksi bisu perjuanganku. Saat orang lain terlelap, aku masih terjaga. Aku yakin, Allah tidak pernah tidur. Dia melihat, Dia mencatat, dan Dia menghadiahkan hasil dari setiap keringat yang menetes di meja belajar sederhana itu.
Aku masih ingat, jemari sering pegal, tinta pita sering habis, kertas sering kusut. Namun, dari situlah aku belajar bahwa hidup memang penuh kekurangan. Allah memberi keterbatasan agar manusia tak sombong, dan memberi kekuatan agar manusia tak putus asa. Setiap halaman yang keluar dari mesin tik tua itu seperti bisikan Ilahi: “Teruslah menulis, karena takdir juga sedang kutulis untukmu.”
Kini, ketika kutatap tubuh tuanya yang berkarat, aku sadar: ia bukan sekadar besi tua. Ia adalah guru yang Allah titipkan untuk mendidikku. Ia membisikkan kesetiaan, kejujuran, dan kerja keras tanpa pamrih. Ia diam, tapi diamnya mengajarkanku bahwa yang abadi bukanlah suara bisingnya, melainkan makna yang tertanam di hati.
Orang mungkin menganggapnya tak berguna lagi. Apa arti mesin tik di era laptop dan telepon pintar? Kutahu, Allah menjadikannya bagian penting dari perjalanan hidupku. Ia adalah saksi bisu bagaimana seorang anak kampung mengukir takdir, dari ruang kos sempit hingga menembus ruang peradaban.
Mesin tik tua ini, TA Royal 206, kini bagai cermin. Ia mengingatkanku bahwa kesuksesan bukan hadiah instan, melainkan buah dari perjuangan panjang. Sore ini, aku menemuinya kembali di gudang berdebu, seperti seorang murid yang pulang ke pangkuan gurunya. Aku tersenyum sambil berbisik dalam hati: Alhamdulillah ya Allah, Engkau kirimkan aku guru dalam wujud besi tua, agar aku tak lupa bahwa setiap keberhasilan sejatinya adalah karunia-Mu.
Doa Penutup:
Ya Allah, jadikanlah kenangan ini pelajaran hidup. Ajarkan aku untuk selalu bersyukur, sabar, dan tekun. Jangan biarkan aku lalai dari-Mu dalam suka maupun duka. Jadikan pena, kertas, dan setiap kata yang lahir dariku sebagai cahaya yang menerangi jalan menuju ridha-Mu. Aamiin.