Oleh: Tammasse Balla

Ada kalanya sebuah kebenaran justru tergelincir karena tergesa-gesa. Seperti panah yang dilepas sebelum waktunya, ia melesat bukan ke sasaran, melainkan menancap pada dinding yang salah. Begitulah kabar tentang sebuah aliansi mahasiswa dan pemuda yang hendak turun ke jalan. Surat yang mereka kirim tanpa stempel, bahkan tanggal pun keliru: Kamis ditulis Jumat, Jumat ditulis Kamis. Tanda-tanda kekeliruan itu sebenarnya sudah berteriak lebih dulu, hanya saja mereka menutup telinga sendiri.

Mereka menuding sebuah klinik di Makassar bernama Inggit, katanya abai pada keselamatan lingkungan. Mereka tidak menemukan instalasi IPAL, lalu dengan mudah menyimpulkan: Inggit lalai. Padahal yang tidak tampak bukan berarti tiada. Seperti udara yang tak terlihat namun menghidupi kita, begitu pula IPAL yang bekerja diam-diam, menjalankan tugasnya tanpa hingar-bingar. Ketidaktahuan bukan bukti ketiadaan, melainkan cermin kurangnya kesungguhan mencari.

Inggit berdiri di atas aturan pemerintah. Semua dokumen mereka lengkap, dari izin operasional hingga kerja sama pengolahan limbah kesehatan dengan Mitra Hijau. Pemiliknya seorang praktisi kesehatan dan dosen senior di universitas ternama. Tak mungkin ia mempertaruhkan nama dan ilmunya dengan melangkahi hukum. Bukankah Allah telah berfirman, “Janganlah kamu campakkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan”? Maka menjaga lingkungan adalah bagian dari ibadah, bukan sekadar kewajiban administrasi.

Namun, berita sering kali datang seperti angin ribut, membawa debu prasangka lebih banyak daripada kesejukan fakta. Mereka merasa sedang menjadi pahlawan, padahal hanya memanah bayangan sendiri. Kata orang bijak, “Teriakan bukanlah tanda kebenaran, melainkan tanda hati yang tak kunjung tenang.” Begitulah, dalam kegelapan prasangka, orang lebih berani menuduh daripada bertanya.

Dari Jakarta, sang pemilik Inggit menyampaikan pesan singkat kepada Direktur Mutu Internal Inggit, dr. Fachrul Tamrin, S.Ked., (Calon) Sp.Bedah, Kuasa Hukum Inggit, Dr. Adrian, S.H., M.H. dan HRD Inggit, Dinar Ulnariana Putri, S.Kep.,Ns. dengan bahasa halus, “Tenanglah, jangan terpancing. Biarkan mereka berorasi, seperti ombak di pantai, bergemuruh sebentar lalu reda dengan sendirinya. Setelah itu, undanglah wakil mereka masuk 3-5 orang, duduklah bersama di ruang diskusi. Tunjukkan bukti-bukti, perlihatkan surat izin, paparkan dokumen. Kebenaran tak butuh berteriak; ia cukup hadir dengan diam yang mantap, seperti bumi yang setia memikul segala kesalahan manusia namun tetap memberi kehidupan.”

Salah tembak selalu melukai, bukan hanya sasaran, tetapi juga penembaknya sendiri. Sebab panah yang meleset akan kembali sebagai gema yang memalukan. Allah mengajarkan kita untuk tabayyun — memeriksa kabar sebelum mempercayai dan menyebarkannya. Betapa banyak perselisihan lahir bukan karena kebenaran, melainkan karena tergesa-gesa dalam berasumsi.

Mungkin nanti, di ruang diskusi itu, wajah mereka akan memerah. Bukan karena marah, tetapi karena malu menyadari teriakannya tak berpijak. Fakta-fakta akan bicara: IPAL berfungsi sesuai standar, limbah diolah dengan benar, semua izin sah. Jelaslah siapa yang berdiri di atas kebenaran, dan siapa yang hanya terpeleset dalam dugaan.

Kita pun belajar: kebenaran bukan untuk digapai dengan amarah, melainkan dengan kejernihan hati. Salah tembak bukan sekadar salah arah, tapi juga tanda bahwa kita perlu kembali bersujud, memohon agar Allah menuntun mata kita melihat dengan jernih, telinga kita mendengar dengan sabar, dan hati kita menimbang dengan adil. Karena hanya dengan itu, kebenaran sejati bisa kita temukan: bukan di jalanan, bukan di teriakan, melainkan di dalam ketundukan kepada-Nya. [HTB]


Hotel Shangri La Jakarta, 19 September 2025
Pk. 03.05 WIB

(Visited 2 times, 2 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.