Pagi merangkak naik, cahaya mentari merayap di permukaan sungai yang beriak kecil diterpa angin sepoi. Sekawanan bangau berloncatan di tepi, mengejar ikan-ikan kecil dan serangga air. Seekor kambing peliharaan gurunya menyeruput air yang masih berembun, ia berdiri malu-malu, seperti enggan bila kakinya terendam.

La Capila duduk di dermaga kecil di pinggir sungai tepat di depan pondok gurunya, I Mapesona. Sarung masih tersampir di bahunya. Kakinya menjuntai, ujung jemarinya sesekali menyentuh permukaan air. Ia berhasrat untuk turun dan lalu berenang, tapi ia merasa masih terlalu pagi, dan air terasa sejuk, membekukan rasa.

Kopi yang baru saja ia seduh, masih mengepulkan asap. Tapi tak terlalu tebal, asap itu diperangkat oleh dingin pagi. Tangannya menjangkau gelas, diremas-remasnya pelan, ia mencari kehangatan di sana. Lalu ia dekatkan gelas itu ke mukanya, barangkali untuk menghangatkan wajahnya, atau menghirup aroma kopi nan segar.

“Apa yang sedang kau lakukan di situ, muridku?” Terdengar I Mapesona menyapa muridnya. Ia berdiri tak jauh dari La Capila.
“Sebenarnya saya mau mandi, guru. Tapi sepertinya, air masih dingin.” La Capila menggunakan sarungnya untuk berkemul.
“Darimana kamu tahu bahwa airnya dingin?” I Mapesona duduk di samping muridnya.
“Perkiraan saya saja sih, guru. Dengan melihat mentari yang belum terik, angin juga masih terasa dingin, tentu airnya juga akan dingin.”

Senyum tipis terukir di sudut bibir I Mapesona mendengar tanggapan muridnya.
“Mereka yang mengetahui, tentu tak sama dengan yang merasakan.” Katanya sambil menepuk lembut paha La Capila.
“Jadi, maksud guru?” Mata La Capila mendelik.
“Terjunlah, mandilah, basuh badanmu, biarkan air itu menelusuk ke pori-porimu.”

Baca juga: Ode Untuk Rinai

Segera La Capila menghempaskan sarungnya, melepas bajunya, dan dengan hanya mengenakan celana sebatas lutut, ia menceburkan diri ke sungai. I Mapesona hanya terkekeh melihat tingkah muridnya. La Capila berenang kian kemari, sesekali menyelam lalu kembali menyembulkan kepala ke permukaan, lalu tersenyum semringah.

“Bagaimana, apakah yang kau rasa masih sedingin yang kau ketahui, muridku?” I Mapesona mengayun-ayunkan kakinya, air di bawahnya berkecipak. Sementara La Capila tak henti berputar-putar menikmati tubuhnya yang dibekap arus air yang tenang. Memang, area sungai di depan pondok gurunya, adalah lubuk.

“Bukankah benar apa yang kukatakan tadi? Apa yang kau ketahui bahwa air sungai itu dingin, tentu tak sama ketika kau merasakannya langsung.” I Mapesona tersenyum dalam.
“Betul duhai guruku.” Jawab La Capila ringkas. Kakinya terus saja bergerak, menimbulkan kecipak di permukaan air yang memantulkan cahaya keperakan.

“Apa yang dikau rasakan? Hangatkah? Atau malah dingin yang gigilnya sampai ke sum-sum?” Tanya I Mapesona.
“Jangankan gigil yang sangat, guruku. Bahkan dingin pun tak ada. Yang ada malah pesam, seperti masuk ke rengkuhan sepasang lengan ibu, ibarat suam di bawah selimut bulu.” La Capila lalu menghilang, menyelam dalam pelukan air.

Lama, tak ada cakap di antara mereka. La Capila menikmati asyiknya bermain air. I Mapesona tunduk tafakur. Kesadarannya masuk ke kedalaman jiwa, berenang-renang dalam luapan cahaya kedamaian rasa. Kakinya berayun ritmis, seiring aliran nafasnya yang setenang arus sungai. Sesekali percikan air yang diempaskan La Capila untuk menggoda gurunya, hanya disambut senyum dikulum.

Setelah puas bermain air, La Capila naik ke permukaan lalu langsung duduk di samping gurunya sambil mengeringkan badannya dengan kain sarung. Bibirnya bergumam, “Benar katamu dunia guruku, sungguh beda apa aku ketahui dengan apa yang kurasakan. Dinginnya air dalam pikiranku, tak sedingin dengan air yang kurasakan barusan.”

Baca juga: Princesa Dona Elena Vesiva

“Hehehe… Memang demikianlah adanya muridku. Orang-orang bijak, dari dulu selalu mengungkapkan bahwa kebenaran sejati tak cukup dengan diketahui, kebenaran sejati itu dirasakan, diselami, dan dialami.” I Mapesona memandang wajah La Capila.
“Tapi itu susah, guru.” La Capila mengaruk rambutnya yang masih basah.

“Tentu saja susah!” Wajah I Mapesona terlihat serius.
“Guru, kenapa bisa begitu?”
“Karena kau lebih suka mulutmu berbusa-busa membincang kebenaran itu dengan bahasa-bahasa rumit dan istilah-istilah membingungkan, maka kau terasingkan dari apa yang kau bincangkan itu.” La Capila hanya cengengesan mendengar penjelasan gurunya.

Lanjut I Mapesona, “Alih-alih mencoba menelisiknya dalam keseharian, kebenaran bagimu hanya lecco-lecco ada, sekadar permainan kata-kata dan buah persilatan lidah.”
“Tapi bukankah itu perlu, guru?” Sergah La Capila.
“Tentu saja perlu, tapi bukan yang terpenting, ia hanyalah wasilah, titian menuju kebenaran sejati, kebenaran yang tak dipercakapkan, tapi dialami dan dirasakan.” Terang I Mapesona.

“Terkadang kita terperangkap pada jebakan kejumawaan, merasa terhebat dalam mengemukakan argumen dan menganggap diri paling benar dengan memaparkan segudang alasan.” I Mapesona menarik nafas dalam-dalam. “Padahal, justru itu semualah yang menjadi hijab, menjadi penghalang, menjadi penghambat bagi kita dalam mengalami kebenaran sejati itu.”
Mendengar itu, La Capila menerawang jauh ke angkasa.

(Visited 17 times, 1 visits today)
Avatar photo

By Kasman McTutu

ASN yang mencintai puisi, hujan dinihari, dan embun pagi. Menerbitkan kumpulan cerpen Mata Itu Aku Kenal (LeutikaPrio, Januari 2012), Kumpulan artikel Reinventing Tjokro (Ellunar Publisher, Oktober 2020), dan kumpulan cerpen Adikku Daeng Serang (Pakalawaki, Maret 2021)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.