Oleh: Nurhaeda

Ibuku bernama Halimah dilahirkan oleh Lamba nama ayahnya dan Nafisah Andi Makkasau nama ibunya. Dia termasuk keturunan bangsawan Bugis dari ibunya tapi karena ayahnya bukan dari kalangan bangsawan maka tidak melengketlah gelar Andi di depan namanya.

Ibu bungsu dari enam bersaudara, termasuk wanita yang gigih dalam menuntut ilmu di kala orang saat itu menganggap pendidikan tidak begitu penting apalagi kakak laki-lakinya selalu mengatakan perempuan tak perlu bersekolah karena setelah menikah pasti larinya ke dapur juga.

Berkat kegigihannya, ibu dapat menyelesaikan study SPG (sekolah pendidikan guru) dan akhirnya bisa menjadi guru Sekolah Dasar di tahun 70-an. Ibu termasuk wanita berhati lembut, bergaul dengan saudara, tetangga, teman, sahabat tidak pernah terdengar berkata kasar, bahkan dia hanya menangis ketika ada teman sejawat atau yang lain tidak menyukainya dan itu pun ibu tidak pernah membalas kebencian terhadap orang yang membencinya.

Teringat ketika saya di bangku kelas satu sekolah dasar dan ibu adalah wali kelasku sendiri (kebayang nggak ketika ibu kita sendiri yang mengajar di kelas), hingga suatu saat teman-teman mengatakan kalo mereka tidak ada yang berani membully saya karena ada ibu yang menjadi pelindungku.

Saya tidak pernah rangking di bangku kelas satu sekolah dasar karena sepertinya ibu tidak pernah memaksaku untuk belajar. Sedikit pun tidak pernah marah kalo saya lambat memahami yang diajarkan hingga pernah suatu waktu ibu mungkin sudah capek mengajari aku yang sulit memahami yang diajarkan sampai memberi tahu ayahku,” ajarki dulu ini anak ta. Estafetlah guru ajarnya dari ibu ke bapak yang kebetulan ayah juga guru sekolah dasar waktu itu. Setelah pengajarnya estafet, meledaklah tangisanku karena si ayah sudah menyiapkan kayu siap dipukulkan ke kaki bila aku tak mampu memahami apa yang diajarkan (hehehehe).

Ibu tidak pernah terdengar suaranya meninggi kepada kami anak-anaknya maupun sama ayah karena biasanya kehidupan berumah tangga kalo ada masalah pasti ada pertengkaran atau debatlah. Tapi ibu nyaris tak terdengar mereka bertengkar/ berdebat atau berselisih paham dengan bapak. Ibu sangat pintar menyembunyikan masalahnya dan tidak pernah mengeluh.

Kata-kata yang paling melekat di memoriku ketika ibu berkali-kali memberi nasihat ke kami anak-anaknya yang lebih banyak perempuan. ” Nak, bersungguh-sungguhlah menuntut ilmu/bersekolah karena perempuan itu harus mandiri, harus bisa berdiri sendiri di atas kakinya sendiri. Kelak dengan bekal ilmu/sekolah kamu bisa memiliki pekerjaan dan penghasilan sendiri, supaya kelak ketika kamu telah menikah dan tiba-tiba suamimu ingin meninggalkanmu, kamu tidak perlu mengemis ke suamimu untuk tidak meninggalkanmu hanya karena takut kamu tidak bisa membeli makanan dan membiayai anak-anakmu.”

Nak, bila engkau berteman dengan lawan jenis (laki-laki) milikilah batasan-batasan bergaul yang tidak melanggar kaidah-kaidah agama karena perempuan itu seperti telur di ujung tanduk sangat mudah pecah. Nasihat ibu terus terngiang-ngiang meski ibu telah tiada hingga kami tumbuh dewasa dan Alhamdulillah saat ini kami semua sudah menjadi orang tua bagi anak-anak kami dan teladan yang ibu ajarkan akan kuteruskan ke anak-anakku. Insyaallah.
Wassalam

(Visited 32 times, 2 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.