Oleh : Juli Harmet*

Setelah ayahku tiada, aku menjadi anak yatim dengan segala suka dan dukanya. Untuk menguatkan jiwaku menapaki kehidupan, langkah pertama yang kulakukan adalah “Berdamai dengan kenyataan”. Selain membantu ibuku sebagai pembuat sagu, kadang di waktu senggang jika tidak ada sagu yang diolah, aku pergi memungut buah pinang masak yang jatuh dari pohon untuk aku jual.

Buah pinang yang sudah tua dengan sendirinya jatuh dari pohonnya. Itulah yang aku pungut satu-satu di lahan tetangga, atau di lingkungan tempatku tinggal. Setelah terkumpul banyak, buah pinang itu dibelah lalu dijemur untuk dipisah kulit dan isinya. Sampai titik ini aku bisa tersenyum untuk pergi dijual di pasar, agar bisa dapat uang jajan dan bisa membeli buku.

Dari kegiatan memungut buah pinang itu, tidak semua masyarakat di sekitar tempat tinggalku menyukainya. Bahkan tidak jarang ada kata dan kalimat mereka yang menyakitkan. Masih ingat kata-kata yang sangat membuat hatiku menangis walaupun air mataku tidak menetes, “Dasar Anak yatim tidak tau diuntung, kerjanya mengambil pinang orang saja. Seperti orang kelaparan saja kesana kemari memungut pinang orang”.

Aku merasa sedih sekali kala itu. Aku merenung membatin, “Ya Allah hanya kepada-Mu bergantung, begini rasanya nasib anak yatim yang ditinggalkan ayah”. Mereka tidak paham kalau apa yang aku lakukan juga untuk meraih masa depan lebih baik, demi untuk bisa sekolah, demi bisa jajan dan beli buku untuk menulis dan belajar di sekolah.

Suatu waktu, kakak laki-laki berkelahi dengan anak tetangga. Orang tuanya marah-marah sambil mengatakan, “Dasar anak yatim yang tidak tau diuntung, anak saya dipukulnya, kamu kira anak saya ini tidak saya beri makan nasi. Saya susah merawat anakku, kalau kamu tidak apa-apa dipukul-pukul karena kamu memang anak yatim yang kesana kemari kerjanya cuman memunguti pinang orang, karena kamu kurang dirawat oleh ibu kamu”.

Mendengar perkataan seperti itu aku bertambah sedih. Berat sekali ujian dan cobaan sebagai anak yatim, sampai sebegitu teganya orang-orang berpikiran seperti itu. Kadang kalau sudah seperti itu aku sesekali bercerita dan mengadu kepada ibu, “Ibu, apakah menjadi orang yang kurang berada dan jadi anak yatim seperti ini ibu? memunguti pinang yang jatuh untuk dijual agar bisa beli buku dan agar bisa untuk uang jajan di sekolah apa itu salah ibu? Lalu ibuku menjawab, “Nak, biarlah kita dipandang rendah dan hina di mata orang, ibu berharap dan berpesan kepadamu sekolah dan belajarlah dengan baik di sekolah agar nanti kamu bisa jadi orang yang sukses. Janganlah kamu memunguti buah pinang orang lagi, tidak apa-apa kita kurang makan, kurang jajan, dan kurang belanja, asal kita tidak dihina orang nak”. Aku menuruti nasihat ibu, tidak memungut buah pinang orang lagi. Lebih baik tidak punya uang jajan di sekolah daripada terus dihina orang.

Sejak itu aku berjanji dalam diriku untuk membuktikan kepada ibu bahwasanya anak yatim yang dipandang sebelah mata ini oleh orang sekitar akan jadi anak yang bisa membahagiakan ibunya, dan akan dapat bermanfaat untuk sesamanya kelak. Alhamdulillah, kini aku diberi tugas oleh negara untuk mencerdaskan anak-anak negeriku.

*Guru UPT SDN 12 Api-Api Bayang Pesisir Selatan

(Visited 206 times, 1 visits today)
2 thoughts on “Berhenti Memungut Buah Pinang”
  1. Benar- benar menyentuh. Semoga menjadi pelajaran buat kita semua, untuk menjaga lisan kita. Karena hati manusia ibarat kertas yang diremas yang tidak akan kembali mulus stelah tindakan yang dilakukan, mungkin ada beberapa memaafkan bukan berarti melupakan.. semangat pak.. tulisan ini sangat menginspirasi..

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.