Oleh : Ruslan Ismail Mage*

Sebuah paket berbungkus plastik warna hitam datang kemarin hari Selasa (19/9) yang seketika membuatku terlempar ke masa awal Pandemi Covid-19 melanda dunia. Suatu masa kelam kehidupan sebagai makhluk sosial yang harus dibatasi pergerakannya keluar rumah oleh sebuah virus mematikan yang entah datangnya darimana. Hampir semua elemen kehidupan lumpuh tak bergerak, tidak terkecuali dunia pendidikan.

Sekolah dari semua tingkatan tutup, proses belajar mengajar dilaksanakan secara daring dari rumah dengan sistem online. Semua pola interaksi dan transaksi dilaksanakan secara digital yang bisa saja merampas nilai-nilai humanis manusia sebagai makhluk sosial. Tidak sedikit orang stres menghadapi suasana pergerakan yang tersekap dalam rumah masing-masing.

Dalam kondisi ketersekapan itulah, tiba-tiba aku teringat Bung Karno ketika lagi dipenjara oleh kompeni untuk membatasi pergerakannya membakar semangat juang rakyat menuntut kemerdekaan. Sang proklamator itu berkata, “Kalian kompeni bisa memenjarakan fisik Bung Karno, tetapi tidak bisa membatasi pergerakan gagasan dan pikirannya. Selama ada udara, selama itu gagasan dan pikiran Bung Karno akan menembus dinding penjara ini, lalu terbang bersemayam di dalam jiwa rakyatku”.

Terinspirasi dari itu, aku pun berkata, “Virus Covid-19 boleh membatasi pergerakan tubuhku, tetapi tidak bisa membatasi pergerakan gagasan dan pikiranku”. Sesaat kemudian, aku memghubungi sang kreator Kang Iyan di Bandung untuk mengeksekusi konsep pendirian rumah jiwa di angkasa khusus untuk siswa-siswi bernama “Pena Anak Indonesia”.

Disebut rumah jiwa di angkasa, karena ratusan anak-anak (siswa SD, SMP, SMA, SMK, dan santri) bergabung senusantara yang tidak pernah bertemu fisik, tetapi jiwa mereka selalu menyatu di angkasa menyuarakan kebaikan lewat tulisan-tulisan inspiratif mereka. Dengan diasuh oleh para mentor profesional menulis di Bengkel Narasi Indonesia, para siswa terus diarahkan melahirkan tulisan. Jadi sejak kemunculannya di awal Pandemi Covid-19, Pena Anak Indonesia langsung menjadi panggung terbuka di angkasa untuk mementaskan 24 jam gagasan dan pikiran anak-anak senusantara.

Paket yang terbungkus plastik warna hitam itu adalah berisi buku kumpulan tulisan anak-anak senusantara yang tergabung dalam komunitas menulis “Pena Anak Indonesia”. Aku membuka dan membacanya secara detail sambil membatin, “Terima kasih ya Allah ya Rabb, atas berkah dan ridho-Mu, lilin-lilin kecil yang kunyalakan dalam jiwa anak-anak ini hampir tiga tahun lalu, kini telah berproses menjadi matahari kebaikan”. Sebelum butiran kristal menyeruak dan jatuh di sudut mata yang semakin menua ini, kututup buku elegan ini pelan-pelan lalu kusimpan di laci jiwaku. Sahabat, tugas kita menjaga merawat, dan mengawal proses ini.

*Inspirator dan penggerak, founder Bengkel Narasi dan Pena Anak Indonesia

(Visited 67 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.