Namaku Mirna. Sudah tiga minggu aku bekerja di Hong Kong, namun rasanya seperti sudah bertahun-tahun. Majikan baruku kali ini benar-benar berbeda dengan yang dulu. Kalau dulu, majikanku peduli dan memperhatikan kebutuhanku, kini yang ada hanya kepentingan mereka sendiri. Makananku, kesejahteraanku, semua seolah tak penting. Bahkan, hingga saat ini aku belum menerima gaji karena belum genap sebulan bekerja.

Untuk bertahan hidup, aku terpaksa menggadaikan perhiasan yang pernah aku beli sewaktu bekerja di sini beberapa tahun lalu. Rasanya seperti kembali ke titik nol, berjuang hanya untuk sekadar makan. Setiap kali aku lapar, aku harus menunggu izin dari majikan untuk memasak, bahkan hanya untuk sekadar menanak nasi.

Padahal dulu, aku pernah bekerja di Hong Kong selama empat tahun. Hasil jerih payahku waktu itu aku gunakan untuk membuka warung di kampung halaman. Sayangnya, usaha di Indonesia tidak berkembang sesuai harapanku. Untung yang didapat hanya sekadar cukup untuk menutup biaya operasional, seperti gaji pegawai dan pembelian barang-barang kebutuhan warung. Rasanya seperti berputar di tempat, tak ada kemajuan. Akhirnya, dengan berat hati, aku memutuskan untuk kembali ke Hong Kong.

Dulu, majikanku sangat baik, hampir setiap hari kami makan di restoran. Namun sekarang, situasinya benar-benar berbeda, serasa sedang menjalani uji nyali. Kadang, aku berpikir untuk menyerah.

Kisahku ini tidak jauh berbeda dengan pengalaman Puji, seorang rekan sesama pekerja migran Indonesia. Ia masih ingat betul saat pertama kali datang ke Hong Kong. Pekerjaan pertamanya adalah menjaga dua anak kecil, dengan jam kerja yang luar biasa melelahkan—tidur jam tiga pagi dan bangun jam enam pagi, tanpa kamar pribadi.

Bosnya tidak hanya kejam, tetapi juga suka melakukan kekerasan. Bahkan untuk makan pun, ia diberi makanan yang sudah basi, tiga hari berair, dan tidak layak konsumsi. Namun, ia terpaksa memakannya karena tidak punya pilihan lain. Untuk memasak sendiri tidak diizinkan, dan keluar rumah pun dilarang. Hak untuk memegang ponsel hanya diberikan pada hari Minggu, dan itupun harus dilakukan di luar rumah, karena tidak boleh mengecas di dalam rumah.

Kehidupan Puji benar-benar seperti mimpi buruk. Gaji dipotong secara sepihak, CCTV mengawasi setiap gerak-geriknya, dan ketika majikan pergi berlibur, Puji disuruh tidur di luar rumah tanpa diberi uang sepeser pun. Ketika sakit, ia hanya disuruh istirahat sebentar, tanpa obat atau perawatan yang layak. Rasanya seperti hidup di penjara.

Namun, Allah Maha Baik. Puji berhasil menyelesaikan kontraknya dan mencari majikan baru. Kali ini, keberuntungan berpihak padanya. Majikannya yang baru sangat baik, memperlakukannya dengan penuh penghargaan. Puji tidak pernah kekurangan apapun, bahkan kebutuhan seperti pulsa dan paket data dibelikan oleh majikan. Setiap kali sakit, majikannya langsung membawanya ke dokter. Tak terasa, enam tahun sudah berlalu, dan kini tinggal tiga bulan lagi sebelum Puji kembali ke kampung halamannya.

Dua kisah ini menggambarkan perjuangan para pekerja migran Indonesia yang berjuang demi kehidupan yang lebih baik. Bekerja di Hong Kong, memang sering kali terasa seperti uji nyali—ada kalanya ingin menyerah dan berhenti. Namun, menyerah bukanlah pilihan. Setiap mimpi besar memang membutuhkan perjuangan yang tiada henti. Jatuh adalah hal yang biasa, namun bangkit kembali adalah sesuatu yang luar biasa. Percayalah, di balik setiap kesulitan, selalu ada kemudahan. Teruslah berjuang, pantang menyerah, duhai pahlawan devisa, pahlawan keluarga. []

(Visited 19 times, 1 visits today)
Avatar photo

By Sarmini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.