Setelah berbulan-bulan menunggu masa pelatihan di perusahaan tenaga kerja, akhirnya tibalah saat yang dinanti-nantikan. Aku, bersama para pekerja migran lainnya, akhirnya terbang menuju Hong Kong, negeri yang menjanjikan harapan baru. Dengan membawa impian besar, kami berangkat dengan semangat menggebu, membayangkan masa depan yang cerah dan kehidupan yang lebih baik. Bayangan tentang gemerlapnya kota metropolitan yang penuh dengan peluang, serta melihat teman-teman yang pulang kampung dengan penampilan modis, membuat hati ini semakin tak sabar untuk segera tiba di Hong Kong, negeri dengan biaya hidup yang terkenal mahal.

Namun, kenyataan di tanah rantau tidak selalu seindah yang dibayangkan. Tantangan demi tantangan mulai menghampiri saat kami mulai bekerja di Hong Kong. Beradaptasi dengan karakter majikan, bahasa, budaya, serta adat istiadat setempat bukanlah perkara mudah. Namun, yang paling sulit adalah bagaimana tetap menjalankan kewajiban sebagai seorang muslim di tengah-tengah lingkungan yang berbeda. Islam adalah agama minoritas di Hong Kong, dan meskipun kegiatan keagamaan terus berjalan, menjalankan ibadah sehari-hari menjadi tantangan tersendiri.

Meskipun Islam adalah agama minoritas, kehidupan keagamaan di Hong Kong tetap aktif. Di tengah kesibukan kota yang tak pernah tidur, syiar Islam terus berdenyut, terbukti dengan keberadaan lima masjid yang menjadi pusat aktivitas keislaman di kota ini. Pemerintah Hong Kong menjamin kebebasan beragama bagi setiap warga negara, termasuk para pekerja migran. Namun, meskipun kebebasan ini dijamin, tantangan tetap ada, terutama karena tidak semua penduduk Hong Kong memahami kewajiban pekerja muslim.

Sebagai pekerja migran muslim, menunaikan ibadah salat menjadi salah satu tantangan utama. Tidak semua majikan di Hong Kong memberikan izin kepada pekerjanya untuk salat, karena mereka menganggap bahwa salat akan mengurangi jam kerja. Bahkan, ada keyakinan di antara beberapa majikan bahwa jika ada dua agama dalam satu rumah, Tuhan yang mereka sembah akan “berseteru.” Akibatnya, banyak pekerja yang harus mencuri-curi waktu untuk salat di sela-sela kesibukan pekerjaan.

Berbeda dengan di Indonesia, di mana masjid atau musholla hampir selalu tersedia di setiap desa, di Hong Kong, tempat untuk sholat harus dicari dengan lebih teliti. Meskipun salat dapat dilakukan di mana saja asalkan tempatnya suci dan menghadap kiblat, tantangan lainnya adalah bagaimana mendapatkan tempat yang tidak mengganggu orang lain.

Selain salat, berwudu di Hong Kong juga menjadi kendala. Budaya Hong Kong yang mirip dengan budaya Barat, di mana toilet basah sangat jarang ditemui, menjadi tantangan tersendiri. Hampir semua toilet di sana adalah toilet kering, dan meskipun ada toilet basah, biasanya hanya tersedia di area masjid atau tempat tertentu yang jarang ditemui. Kebiasaan beristinja dengan menggunakan tisu, yang lazim di Hong Kong, menjadi hal yang tidak biasa bagi pekerja muslim. Karena itu, para pekerja sering kali harus berimprovisasi, seperti menggunakan botol air mineral untuk bersuci atau berwudu, dengan catatan tidak membuat toilet umum basah atau kotor, karena hal tersebut dianggap tidak beradab. Di rumah majikan, mereka juga harus cermat dalam menggunakan air agar tidak dianggap memboroskan.

Kesulitan lain yang sering dihadapi adalah menjalankan puasa di bulan Ramadan. Banyak majikan yang melarang pekerjanya berpuasa dengan alasan takut pekerja akan lemas dan tidak mampu bekerja maksimal. Mereka juga khawatir jika pekerja jatuh sakit akibat berpuasa, yang pada akhirnya akan merepotkan majikan dan membuat mereka merasa bertanggung jawab atas kondisi pekerja.

Begitu pula dengan hijab, tidak sedikit majikan yang melarang pekerjanya mengenakan hijab. Banyak pekerja yang harus membawa pakaian muslimah dari rumah dan memakainya hanya saat liburan, menggantinya di toilet umum sebelum kembali ke rumah majikan, seolah-olah mereka harus menyembunyikan identitas keagamaannya.

Padahal, kenyataannya, seorang pekerja akan memberikan pelayanan terbaik jika mereka merasa dihargai dan hak-hak mereka sebagai individu, termasuk hak beragama, dihormati. Hubungan yang baik antara pekerja dan majikan akan menciptakan suasana kerja yang harmonis dan produktif. Sebagai pekerja muslim, kita juga perlu menunjukkan bahwa menjalankan ibadah tidak akan mengurangi tanggung jawab kita dalam bekerja.

Di sini, peran pemerintah dan lembaga-lembaga keagamaan sangat penting untuk memberikan solusi agar pekerja migran, khususnya yang beragama Islam, dapat menjalankan ibadahnya dengan bebas dan tenang. Hanya dengan begitu, mereka dapat bekerja dengan hati yang damai, tanpa harus merasa tertekan atau khawatir akan kehilangan identitas keagamaannya. []

(Visited 19 times, 1 visits today)
Avatar photo

By Sarmini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.