Perasaan saya campur aduk ketika ditunjuk sebagai salah satu narasumber dalam bedah buku “Mengantre Kematian” karya Bapak Sumardi dan Bapak Kuspriyanto. Ini adalah pengalaman pertama saya mengikuti Zoom meeting, dan entah apa yang akan saya sampaikan nanti.
Sejak kemarin, saya sudah latihan berbicara sendiri—menurut saya, lancar. Namun, ketika acara akan dimulai, rasa tegang yang menjengkelkan mulai menyerang. Lidah terasa tercekat, seolah kehilangan kata-kata. Apa yang saya sampaikan terasa sangat berantakan. Bahkan, untuk membalas komentar di chat, tangan ini terasa kaku, seakan tak mau bergerak. Benar-benar payah!
Hong Kong hari ini diguyur hujan deras. Langit terlihat gelap dan sesekali petir menyambar—semakin menambah kecemasan dalam hati. Bersama dua teman saya, Mbak Marsih dan Mbak Puji Astutik—yang biasa disapa Mbak Putri—kami mencari tempat yang nyaman untuk mengikuti Zoom. Alhamdulillah, ketika acara dimulai, hujan pun reda, memberikan sedikit ketenangan di tengah suasana yang menegangkan.
Saya bersyukur selalu ada teman yang membantu di saat-saat sulit. Pertolongan datang dari arah yang tak terduga. Meski baru beberapa minggu mengenal Mbak Putri, rasanya seperti sudah lama saling kenal. Kami bisa ngobrol tentang apa saja, dan selalu nyambung.
Mbak Putri sering memberikan motivasi agar saya terus melangkah dan tidak mudah menyerah. Dia adalah mahasiswa di sebuah universitas di Indonesia. Kemarin, saya sempat berniat untuk kuliah meskipun usia saya sudah tidak muda lagi, namun niat itu saya urungkan setelah mempertimbangkan beberapa hal.
Kerja di negeri orang dengan aktivitas yang terbatas tentu melelahkan. Waktu libur yang hanya seminggu sekali sering kali ingin saya gunakan untuk jalan-jalan, duduk manis menikmati hiruk-pikuk kota metropolitan. Namun, dengan kegiatan saya di komunitas kemanusiaan, waktu terasa berjalan begitu cepat. Meskipun lelah, saya senang menjalaninya. Waktu terus berjalan, entah santai atau sibuk, dan saya tidak ingin menyia-nyiakannya.
Masih teringat jelas ketika pertama kali saya bergabung dengan komunitas menulis di Bengkel Narasi. Saat itu, yang ada di pikiran saya hanyalah kelemahan-kelemahan saya. Namun, nasihat Bang RIM, “Janganlah kamu merendahkan dirimu sendiri, namun jadilah pribadi yang selalu rendah hati,” seolah memaksa saya untuk terus bertahan di Bengkel Narasi.
Bengkel Narasi adalah pondok pesantren dan universitas kehidupan saya. Banyak sekali pelajaran dan ilmu yang saya dapatkan di sana. Sekarang, Bengkel Narasi telah mengepakkan sayapnya melewati batas-batas negara, dan seiring berjalannya waktu, lahirlah Bengkel Narasi Buruh Migran Indonesia (BNBMI). Hari ini, 18 Agustus 2024, bertepatan dengan bedah buku “Mengantre Kematian,” BNBMI resmi diluncurkan.
Sebagai komandan BNBMI, saya jujur merasa ini adalah tugas yang berat karena saya menyadari keterbatasan kemampuan saya. Saya adalah anak yang baru lahir kemarin sore, masih harus banyak belajar. Namun, ini juga menjadi tantangan bagi saya untuk terus belajar dan menikmati setiap proses yang terjadi. Bersama sahabat-sahabat di BNBMI, semangat untuk mengejar mimpi dan menyuarakan aspirasi demi Buruh Migran Indonesia yang lebih baik terus berkobar. []