Musim panas di Hong Kong melanda dengan suhu yang menyentuh 33°C. Udara terasa begitu terik, dan meski angin ada, keberadaannya hampir tak terasa. Pohon-pohon di sekitar rumah majikan tampak kaku, tidak bergerak sedikit pun.

Hari itu adalah hari Minggu, waktu yang sangat dinantikan oleh buruh migran Indonesia untuk berlibur atau sekadar menghilangkan penat. Banyak dari mereka memanfaatkan waktu libur untuk mengikuti berbagai kegiatan kursus—bahasa asing, mengaji, tata boga, tata busana, salon, hingga kegiatan amal dan majelis ilmu. Sebagian lainnya memilih untuk bersantai, bertelepon dengan keluarga di kampung halaman, dan berkumpul di taman, pantai, atau bahkan di Jembatan Penyeberangan Orang (JPO).

Dulu, sekitar tahun 2008, Victory Park adalah tempat favorit bagi buruh migran Indonesia. Letaknya yang strategis di jantung Kota Hong Kong dan luasnya lapangan serta taman membuatnya menjadi tempat yang ideal untuk berlibur. Namun, seiring berjalannya waktu, banyak taman baru yang dibangun, termasuk Jembatan 1000 Bidadari di daerah Mongkok yang kini juga menjadi lokasi favorit.

Hari itu, aku sengaja melewatkan majelis ilmu karena ada acara bertemu saudara yang baru datang dari Indonesia dan tinggal di sekitar Mongkok. Setelah menyiapkan sarapan untuk kakek dan memeriksa tensinya, aku bersiap-siap untuk liburan. Aku menaiki bus kota nomor 67x, dan perjalanan memakan waktu sekitar 40 menit. Sesampainya di Jembatan 1000 Bidadari, aku menghubungi saudara dan dia sudah menungguku di sana.

Aku berjalan menaiki tangga untuk sampai ke tempat, namun kesulitan mencari saudara karena keramaian yang padat. Saat itulah, mataku tertumbuk pada pemandangan yang sangat mengejutkan. Polisi Hong Kong sedang melakukan operasi, dan aku melihat mereka mengangkut barang dagangan milik buruh migran Indonesia.

Kepolisian sedang menindak pedagang yang diduga menyalahgunakan visa untuk berdagang makanan di JPO. Pemandangan ini sangat miris—sejumlah barang dagangan disita, dan aku bisa melihat betapa terpukulnya para pedagang tersebut. Meskipun mereka telah beberapa kali diingatkan untuk tidak berjualan, mereka tetap melanggar peraturan. Melihat kondisi seperti ini, aku merasa sangat kasihan. Sebagai sesama buruh migran Indonesia, aku bisa merasakan betapa besar kerugian yang mereka alami, belum lagi risiko kasus hukum yang harus dihadapi.

Di tengah keramaian itu, aku berdiri dengan perasaan campur aduk—miris dan prihatin. Setiap sudut Jembatan 1000 Bidadari, yang seharusnya menjadi tempat istirahat dan rekreasi, kini terasa penuh dengan kesedihan dan ketidakpastian.

(Visited 21 times, 3 visits today)
Avatar photo

By Marsih

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.