Setiap tahun di Hong Kong, fenomena alam yang dikenal sebagai angin topan atau Taifoong selalu datang, terutama pada musim tropis antara bulan Mei hingga November. Kata “Tai” berarti besar, sedangkan “foong” berarti angin, yang secara harfiah berarti angin besar atau topan. Topan ini terjadi karena adanya tekanan udara yang sangat rendah, membentuk pusaran dalam sistem cuaca yang akhirnya membawa angin kencang dan hujan lebat. Pada tahun 2024, angin topan kembali menghantam Hong Kong pada tanggal 4 September, Kamis malam, dan berlanjut hingga Jumat pagi.
Apa yang menarik dari fenomena ini adalah keakuratan sistem BMKG Hong Kong, yang selalu memberikan peringatan dini bagi warganya. Satu minggu sebelum angin topan menerpa, seluruh saluran televisi dan media sudah mulai memberitakan perkiraan cuaca dengan sangat rinci. Ini memberikan waktu yang cukup bagi masyarakat untuk bersiap. Biasanya, orang Hong Kong segera bergegas membeli kebutuhan pokok seperti daging, ikan, sayur, dan buah yang cukup untuk persediaan hingga seminggu. Hal ini karena selama angin topan berlangsung, semua aktivitas di luar rumah berhenti total. Toko-toko akan tutup, dan jika ada yang tetap buka, harga barang-barangnya melonjak tinggi.
Namun, hal yang menarik justru datang dari para Buruh Migran Indonesia (BMI) di Hong Kong. Sebagian besar dari mereka tidak menyukai keadaan ketika angin topan melanda. Situasi ini membuat para majikan tinggal di rumah sepanjang hari. Dengan kondisi rumah yang relatif kecil, ditambah dengan pekerjaan yang sudah selesai lebih awal, para BMI merasa bingung. Mereka merasa sungkan jika harus beristirahat di depan majikan meski pekerjaan selesai. Keadaan ini menciptakan ketidaknyamanan, baik dari segi fisik maupun psikologis.
Lebih unik lagi, ada beberapa BMI yang mengaku merasa “sakit hati” saat majikan mereka memberi lebih banyak pekerjaan selama topan berlangsung. Seorang BMI pernah berkata, “Aku kok sakit hati ya kalau disuruh kerja ini-itu. Rasanya seperti tidak ikhlas.” Dari sudut pandang logika, wajar saja majikan meminta kita bekerja lebih karena mereka menggaji kita untuk itu. Namun, kenapa justru ada perasaan tidak senang yang timbul? Ini yang kadang sulit dipahami.
Sikap BMI di Hong Kong memang beragam, terutama dalam merespons kemarahan majikan. Ada tiga tipe reaksi yang kerap muncul, yang bisa membuat siapa saja tertawa geli jika diingat.
Pertama, ketika majikan marah, dia menunduk sambil berkata, “Iya Mam, sorry Mam.” Namun, setelah majikan pergi, dia langsung menuju kamar mandi, curhat di media sosial sambil tertawa-tawa sendiri.
Kedua, ketika majikan marah, wajahnya langsung cemberut. Dia kemudian masuk ke dapur dan “perang” dengan alat masak—bunyi tang teng tong terdengar dari segala penjuru dapur seolah menjadi pelampiasan amarah yang terpendam.
Ketiga, ketika majikan marah, BMI ini malah ikut marah, bahkan dengan nada suara yang lebih tinggi dari majikannya. Suasana rumah pun semakin panas.
Sikap seperti ini memang kerap muncul di kalangan BMI, mencerminkan keanekaragaman karakter dan kepribadian mereka. Namun, penting untuk diingat bahwa di balik sikap-sikap yang lucu dan kadang aneh ini, BMI tetaplah manusia yang bisa merasa lelah, bosan, dan tertekan oleh rutinitas kerja yang tak berujung.
Dalam menghadapi situasi seperti ini, idealnya para BMI harus lebih bisa mengelola emosi dan stres. Saling memahami antara majikan dan pekerja adalah kunci, karena hubungan kerja yang baik bukan hanya soal tugas, melainkan juga soal komunikasi dan empati. Tipe BMI yang mana kamu? []