Universitas Gadjah Mada merupakan salah satu Universitas yang menjadi label imajinasiku ketika aku masih kecil. Aku berjuang mencari tahu nama Kotamadya Yokyakarta karena bermula dari nama Universitas Gadjah Mada (UGM). Dulu ketika zaman Indonesia orang-orang yang ingin lanjut ke UGM harus memiliki nilai standar juga NEM. Banyak mahasiswa atau mahasiswi yang mampu masuk ke UGM karena bukan modal kedua orang tuannya tapi karena mereka adalah murid-murid yang pintar dari berbagai sekolah yang berasal dari semua sekolah yang ada di Indonesia.
Univeristas Gadjah Mada merupakan salah satu Universitas terlama di Indonesia yang didirikan oleh para cendekiawan di kota Yokyakarta tepatnya 19 Desember 1949. Nama Universitas yang tak asing lagi bagi semua warga negara Indonesia maupun warga negara asing karena Universitas ini benar-benar bemula dari pendiri-pendiri yang memiliki jiwa nasionalisme tinggi yang awalnya hanya beberapa Fakultas dan pada akhirnya sudah mencapai 20 Fakultas.
Waktu kecil aku mendengar nama UGM langsung happy serasa aku sedang terbang di atas awan menuju surgaku. Mengapa demikian? Karena aku menjadikan nama UGM adalah label imajinasi akan cita-citaku. Aku ingin seperti anak-anak lain, lanjut sekolah di Universitas Gadjah Mada bukan dengan andalan gaji ayahku sebagai seorang anggota ABRI, namun ingin sekali lanjut ke sekolah tersebut karena berkat memperoleh Beasiswa adalah imajinasiku waktu itu. Tahukah kamu mengapa? Karena aku bukan mencek brosur beasiswa waktu duduk di bangku SMA melainkan sejak masih duduk di bangku SD hingga SMP kelas tiga sampai akhirnya Timor-Timur menjadi Timor-Leste.
UGM adalah label imajinasi masa kecilku. Aku ingin menjadi salah satu anak dari propinsi Timor-Timur yang berkehendak lanjut kuliah di Uniersitas Gadjah Mada karena di dalam imajinasiku tak tertulis nama Universitas Lain. Keinginan itu bermula kala aku berimajinasi atau berangan agar sekolah di sekolah tersebut dan memperoleh gelar atau ijasah Sarjana dari UGM yang letaknya di kota Yokyakarta tersebut. Serta usai kuliah aku mampu menuliskan sebuah Novel untuk ayahku tercinta bersama ibu.
Karena aku sadar benar bahwa Timor-Timur kala itu letaknya amat jauh dari ibu kota Indonesia yakni Jakarta. Namun, banyak orang tua yang meskipun buta huruf tapi berharap anak-anaknya bisa sekolah dan menjadi orang pintar di masa depan begitu juga harapan ayah dan ibuku. Harapan memperoleh gelar S1 berlabel nama UGM dari kota Yokyakarta serta kerinduanku kala meninggalkan ayah dan ibu juga sanak saudara hingga pertama kali menginjakkan kaki ke kota Yokyakarta hingga akhir memperoleh ijasah berlabel UGM sampai pada akhirnya menjadi wartawan dan menuliskan novel selalu saja melekat bersama nama UGM meskipun label imajinasi itu tak jadi kenyataan karena Timor-Timur harus memisahkan diri dari Negara Republik Indonesia dan menjadi negara berdaulat RDTL.
Namun label itu tidak pernah hilang dari ingatanku, pada akhirnya aku benar-benar mampu menulis meskipun tidak harus merealisasikan impian masa kecil yang bemula menjadikan UGM serta nama kota Yokyakarta adalah label imajinasi masa kecilku. UGM yang letaknya di salah satu kota dengan julukan daerah istimewa Yogyakarta didirikan sudah begitu lama dan memiliki banyak fasilitas tempat serta laboratrium yang menunjang kegiatan tiap fakultas yang ada.
Meskipun aku tidak bisa melanjutkan pendidikan tinggi di UGM, namun nama Universitas Gadjah Mada (UGM) serta nama kota Yogyakarta tetap saja merupakan salah satu universitas impianku di masa kecil melalui imajinasi masa kecilku. Aku sadar tak ada yang tahu apabila imajinasi tak bisa jadi kenyataan namun sebuab objek tempat yang aku jadikan sebagai label imajinasi itu tak dapat tergantikan oleh objek lain dalam kehidupanku karena angan-angan mesa kecil demi mengapai impian itu bersamaan dengan nama universitas tersebut juga nama kota letak universitas tersebut.
Terkadang orang bertanya mengapa juga masih menyimpang nama itu di balik karyamu? Sedangkan pada kenyataanya kamu tak pernah lanjut kuliah di UGM yang letaknya di Kota Yagyakarta? Bahkan kamu tidak memperoleh ijasah sarjana dari universitas tersebut? Jawabanku hanya singkat, ya aku tahu hal itu tapi jika bukan label imajinasi itu yang mampu membuatku berjuang sampai mengenal seorang motivator hebat bernama Ir.Jumari Haryadi, hingga aku bangkit dan menjadi diriku sendiri pada hari ini, untuk apa pula aku mengenang nama universitas itu! Ternyata label imajinasi masa kecilku itu yang jadi motivasi buat aku melangkah bahkan bisa menjadi penulis hari ini, andai tidak mungkin ABJAD saja aku sudah lupa dari A sampai Z, karena aku sudah fakum terlalu lama saat hilang harapan.
Tapi imajnasi itu selalu membawaku terbang melayang tanpa sadar bahwa kenyataannya aku sebenarnya berada di atas daratan yang rela lama menguburkan impian masa kecil itu. Namun ketika mengingat kembali nama kota Yogyakarta letak UGM terlintas lagi imajinasi untuk memperoleh gelar juga menulis novel buat ayah selalu terlintas di benakku. Aku tidak ada lagi harapan mewujudkannya bahkan lupa siapa diriku sendiri dan terlena di balik depresi berkepanjangan. Pada akhirnya pertanyaan Ir. Jumari Haryadi mengingatkanku kembali pada nama UGM dan nama Kota Yogyakarta serta impian masa kecilku ketika pertama kali beliau membaca satu cepenku, dan mengatakan bahwa aku ini sebenarnya Novelis.
Sejak hari itu aku berlinan air mata hingga sadar perlahan-lahan bahwa aku masih memiliki impian itu hanya bagaimana caranya aku menwujudkan impian itu. Aku lalu mengatakan bahwa ya aku dulu pengen sekali jadi penulis pak. Lalu Ir J. Haryadi kembali bertanya apa yang menjadi motivasi kamu Dev, akhirnya ingin jadi penulis juga wartawan? Kisah lehidupan ayahku pak yang kata-orang-orang, ayahku adalah anak haram yang tak punya ayah. Aku masih bingung apa benar ada manusia yang lahir tanpa ayah?
Lalu Ir. J.haryadi bertanya lagi, sejak kapan kamu memiliki motivasi itu? Sejak aku masih usia lima tahun pak J. Haryadi. Aku berangan-angan dulu ketika ayah masih menjadi anggota ABRI aku ingin lanjut kuliah di UGM yang letaknya di kota Yogyakarta, agar balik dengan gelar S1 serta ijasah UGM dan sebuah novel sebagai hadiah bagi ayah tercintaku, dan memeluk ayah dengan erat lalu memberikan novel itu, dengan berlinan air mata sambil berbisik ke telinga ayah bahwa, aku bangga menjadi putri ayah yang orang sebut sebagai anak haram.
Pada akhirnya pertanyaan Ir. Jumari Haryadi membuatku bangkit dan menggali kembali cita-citaku yang sudah terkubur lama bersamaan dengan kibaran bendera merah putih di bumi Timor-Leste yang aku cintai. Aku baru sadar ketika Ir. Jumari Haryadi bertanya akan motivasiku bahwa, sesungguhnya imajiinasi masa kecil itulah yang menjadi motivasiku. Yakni menuliskan sebuah novel sebagai hadiah bagi ayah juga ibu yang aku targetkan di kota Yogyakarta, dimana terletak UGM yakni nama yang menjadi label imajinasi masa kecilku.
Bahwa sesungguhnya aku masih bisa meraih impianku atas bantuan penulis buku KUNCI SUKSES MENJADI PENULIS KREATIF DAN PROFESIONAL oleh Ir. Jumari Haryadi, yang tak lain sebagai seorang pendiri Komunitas Penulis Kreatif (KPKers) Pusat yang berdomisili di Bandung Ibu kota Jawa Barat.
Bahwa benar kata beliau jika masih ada kesempatan buat aku untuk mewujudkan impianku. Pada akhirnya aku menyadarinya bahwa seitap impian akan terwujud jika kita memiliki motivasi yang kuat, karena motivasi itulah yang akan membuat kita terus menulis berdasarkan apa yang kita lihat, kita dengar dan kita rasakan sehari-hari dalam kehidupan kita di bumi ini. Karena setiap manusia memiliki motovasi yang berbeda-beda akhirnya memperoleh hasilnya juga berbeda-beda pula, jadi UGM adalah universitas Impian dengam kota Yogyakarta.
By Bu Dev’25