Oleh: H. Tammasse Balla

Ada sebuah fenomena yang belakangan semakin mengganggu pikiran saya. Fenomena yang hampir mirip dengan teori sepak bola, yang saya beri nama Teori Sepak Bola. Ini bukan soal teknik dribble atau tendangan bebas, melainkan tentang bagaimana seseorang yang tidak terlibat langsung dalam proses (misalnya, penguji atau komentator) bisa merasa lebih hebat daripada mereka yang sedang berjuang di lapangan (mahasiswa yang sedang mengerjakan tugas akhir). Menyaksikan oknum penguji yang selalu merasa lebih pintar dan lebih hebat saat menguji karya ilmiah mahasiswa, saya jadi berpikir, apakah mereka benar-benar mengerti apa yang mereka uji? Atau mereka hanya suka berkomentar dari luar lapangan, seolah-olah mereka adalah Maradona atau Messi di dunia akademik, padahal kenyataannya belum tentu ada satu pun karya akademik luar biasa mereka yang bisa diukur dengan kualitas yang sama.

Para penguji tersebut tampaknya tak pernah merasa cukup dengan satu pertanyaan atau saran. Mereka cenderung menggali kekurangan demi kekurangan seakan karya mahasiswa adalah sesuatu yang tidak layak dihargai. Padahal, jika ditelisik lebih dalam, karya yang disusun oleh mahasiswa, meski tidak sempurna, adalah cermin dari proses panjang berpikir, berkarya, dan belajar. Namun, alih-alih memberi apresiasi atas proses tersebut, beberapa penguji malah merasa perlu untuk menunjukkan kehebatan mereka dengan cara yang “lebay” — mengkritik seakan-akan mereka sudah mengetahui segala sesuatu tentang topik yang sedang diuji, seolah karya mahasiswa tersebut tidak ada artinya. Bukankah seharusnya tugas seorang penguji adalah untuk membantu mahasiswa berkembang, bukan untuk menonjolkan diri?

Ketika mahasiswa kesulitan menjawab atau merasa tertekan, tak jarang saya mendengar mereka mengeluh tentang para penguji yang seolah-olah tidak pernah melihat keringat yang dikeluarkan oleh mahasiswa untuk mencapai titik tersebut. Mereka lupa bahwa mahasiswa itu adalah “pemain di lapangan”, yang berjuang dengan segala keterbatasan sumber daya, waktu, dan pengalaman. Bukankah kita sebagai penguji seharusnya memberi ruang untuk mereka belajar, bukan malah menjadi penghalang yang membuat mereka merasa terintimidasi? Dalam dunia sepak bola, kita tak bisa hanya melihat dari sisi tribun dan berkata, “Oh, itu tendangan salah, itu harusnya gol,” tanpa tahu bagaimana rasanya berlari mengejar bola di lapangan.

Namun, ironisnya, penguji yang seperti ini biasanya sangat jarang menghasilkan karya spektakuler atau penelitian yang dapat dijadikan acuan. Banyak yang hanya “terkenal” karena perannya sebagai penguji atau karena banyaknya teori yang mereka kuasai. Namun, apakah itu cukup? Sebagai penguji, apakah kita lebih baik dengan hanya menguasai teori-teori besar tanpa mampu menyusun satu karya yang benar-benar bisa dikatakan luar biasa? Sering kali mahasiswa bertanya, “Mana karya besar Anda?” Ketika mereka bertanya demikian, mereka tidak hanya menginginkan sebuah publikasi, tapi juga pertanyaan yang lebih mendalam: “Apakah Anda benar-benar mengerti apa yang sedang kami kerjakan?”

Kembali lagi ke Teori Sepak Bola, kita tahu bahwa komentator dan penonton di stadion bisa saja lebih bersemangat dalam memberikan penilaian tentang bagaimana seharusnya permainan dilakukan. Mereka bisa berteriak, mengkritik, bahkan merasa lebih tahu apa yang harus dilakukan oleh pemain di lapangan. Namun, ketika diberi kesempatan untuk bermain, ironisnya mereka justru tidak tahu cara menendang bola dengan baik. Dalam dunia akademik, penguji seperti ini kadang-kadang berkomentar dengan sangat tajam, seperti mereka adalah otoritas tertinggi dalam bidang tersebut, padahal pada kenyataannya, mereka sendiri jarang menunjukkan keberhasilan signifikan dalam dunia riset.

Saya ingin mengajak para penguji untuk merenung sejenak. Sebagai dosen dan penguji, kita bukanlah hakim yang hanya datang untuk menjatuhkan vonis terhadap karya mahasiswa. Kita adalah mentor yang bertugas memberikan pembinaan, membimbing, dan mengembangkan potensi mahasiswa. Tugas kita bukan untuk menunjukkan siapa yang paling pintar, tapi untuk mendukung mahasiswa dalam perjalanan akademiknya. Bukankah proses ini adalah perjalanan bersama? Mahasiswa yang mungkin belum “perfecto” pada saat ujian bukan berarti tidak akan menjadi seorang ahli suatu hari nanti. Jika mereka diberikan ruang untuk berkembang, siapa tahu mereka akan menjadi orang yang dapat mengubah dunia.

Jangan terjebak dalam rasa ego dan kebanggaan akan pengetahuan yang kita miliki. Pengetahuan kita bukan untuk dipamerkan, tetapi untuk dibagikan. Menghargai proses adalah bagian dari tugas kita, bukan hanya mengkritik kekurangan. Cobalah untuk melihat lebih jauh: bukankah mereka yang sedang berproses ini adalah generasi yang kelak akan memimpin dunia? Bayangkan kalau kita hanya terus-menerus mengkritik mereka tanpa memberi dukungan yang berarti. Bagaimana kita bisa berharap mereka sukses jika kita tidak memberi mereka kesempatan untuk tumbuh?

Ada satu hal yang perlu kita ingat sebagai penguji: kita bukan hanya berhadapan dengan karya mahasiswa, kita juga berhadapan dengan masa depan mereka. Berikanlah apresiasi atas usaha mereka, meskipun karyanya belum sempurna. Proses belajar bukan soal mencapai kesempurnaan dalam sekejap, tapi soal memberi kesempatan untuk mencoba dan memperbaiki. Dalam sepak bola, bahkan Messi atau Ronaldo pun memulai dari lapangan latihan, bukan langsung menjadi bintang dunia. Begitu juga dengan mahasiswa, mereka berhak diberi kesempatan untuk berlatih dan berkembang.

Jadi, mari kita tinggalkan mentalitas “komentator” yang hanya bisa memberikan kritik dari luar lapangan. Mari kita jadi pelatih yang menginspirasi, yang memberi bimbingan, bukan penguji yang hanya bisa menghakimi. Setiap mahasiswa adalah pemain yang layak diberikan kesempatan untuk mencetak gol besar dalam dunia akademik. Sebagai penguji, tugas kita bukan hanya untuk mengkritik, tapi untuk memberi mereka bola, mendukung langkah mereka, dan memberi mereka kesempatan untuk mencetak gol. Ingatlah, dunia akademik bukanlah lapangan untuk menunjukkan siapa yang paling pintar, tetapi ruang untuk membangun generasi masa depan yang lebih baik.

(Visited 57 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.