Oleh: H. Tammasse Balla*

Dewasa ini, atmosfer dunia pendidikan tinggi di Indonesia terasa semakin pengap. Kampus, yang dulu menjadi rahim bagi kelahiran ide-ide besar dan pemikiran kritis demi kemaslahatan umat manusia, kini mulai kehilangan warwahnya. Perburuan gelar Profesor atau Maha Guru telah menjadi kompetisi yang tak terkendali, bagaikan cendawan tumbuh di musim hujan. Para dosen berlomba-lomba memenuhi tuntutan publikasi ilmiah di jurnal bereputasi, mulai dari Sinta, Scopus, hingga Q1 dan Q2, meski harus merogoh kocek hingga puluhan juta rupiah. Fenomena ini mengubah wajah kampus dari tempat idealisme intelektual menjadi ladang transaksi akademik yang kering akan makna.

Tidak sedikit dosen yang kini lebih sibuk menyelamatkan karier akademiknya sendiri tinimbang mendedikasikan diri pada misi mulia pendidikan. Di balik deretan publikasi jurnal yang mereka hasilkan, tersimpan ambisi pribadi untuk mendaki tangga akademik. Tulisan-tulisan itu bukan lagi medium untuk menyampaikan gagasan atau solusi atas masalah sosial, melainkan sekadar alat untuk memenuhi syarat administratif. Dengan menggelontorkan dana besar untuk membayar publikasi, tujuan akademik yang semula luhur bergeser menjadi ajang pragmatisme kosong.

Keadaan ini diperparah oleh kebijakan institusi yang terlalu terobsesi pada akreditasi dan peringkat internasional. Alih-alih mendorong penelitian berbasis kebutuhan masyarakat, kampus lebih memilih memproduksi karya yang sesuai dengan standar jurnal bereputasi. Akibatnya, banyak penelitian yang kehilangan relevansi lokal. Tulisan-tulisan itu terbit di jurnal internasional yang jauh dari jangkauan pembaca Indonesia, sementara permasalahan sosial di sekitar kampus tetap terabaikan.

Para dosen yang dulu dikenal sebagai intelektual kritis kini berubah menjadi “mesin jurnal.” Dengan beban target yang terus meningkat, mereka tidak lagi punya waktu untuk membimbing mahasiswa secara mendalam atau mengembangkan program pengabdian masyarakat. Fokus mereka terpecah antara tekanan administratif dan kejar tayang publikasi. Dalam situasi ini, hubungan personal antara dosen dan mahasiswa semakin renggang, memudarkan esensi pendidikan itu sendiri.

Fenomena ini juga memunculkan industri bayangan yang menggiurkan. Jasa penulisan jurnal dan publikasi bermunculan bak jamur di musim hujan. Ada yang menawarkan paket lengkap, dari penulisan hingga penerbitan di jurnal Q1 dengan biaya fantastis. Dalam iklim seperti ini, integritas akademik dipertaruhkan. Beberapa dosen terjebak dalam praktik-praktik manipulatif demi memenuhi ambisi akademik, tanpa menyadari bahwa mereka sedang menggerus kredibilitas ilmu pengetahuan.

Ironisnya, kampus yang seharusnya menjadi garda terdepan perubahan sosial justru terperangkap dalam rutinitas tanpa makna. Seminar, konferensi, dan diskusi akademik kini lebih sering menjadi ajang pamer reputasi ketimbang wadah untuk bertukar ide. Kebijakan yang terlalu menitikberatkan pada angka dan peringkat mengesampingkan substansi. Di tengah gemerlap acara akademik, kontribusi nyata kampus terhadap masyarakat semakin sulit dirasakan.

Kehilangan warwah ini tidak hanya merugikan institusi pendidikan, tetapi juga mengikis kepercayaan masyarakat terhadap dunia akademik. Ketika kampus lebih sibuk menghitung angka publikasi daripada menciptakan solusi konkret, masyarakat mulai meragukan relevansi perguruan tinggi. Pendidikan tinggi yang semula menjadi harapan untuk memecahkan masalah bangsa kini terancam menjadi menara gading yang terasing dari realitas.

Namun, masih ada harapan untuk mengembalikan marwah kampus sebagai pusat pencerahan. Hal ini membutuhkan keberanian untuk mereformasi kebijakan yang terlalu kaku dan administratif. Perguruan tinggi harus kembali menempatkan manusia sebagai subjek utama pendidikan, bukan sekadar angka dalam laporan akreditasi. Penelitian harus diarahkan pada pemecahan masalah lokal yang relevan, bukan sekadar untuk memenuhi tuntutan jurnal internasional.

Selain itu, para dosen perlu merenungkan kembali makna dari profesi yang mereka emban. Gelar Profesor atau Maha Guru seharusnya bukan sekadar status, tetapi tanggung jawab moral untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Publikasi ilmiah, meskipun penting, tidak boleh menjadi satu-satunya tolok ukur keberhasilan akademik. Ada tanggung jawab lebih besar yang harus dipikul, yaitu mendidik generasi muda dan memberikan manfaat nyata bagi masyarakat.

Ketika kampus berhasil merebut kembali marwahnya, ia akan kembali menjadi rahim bagi lahirnya gagasan-gagasan besar. Tidak lagi sekadar mengejar angka, tetapi benar-benar menjadi garda terdepan dalam mencerdaskan bangsa. Sampai saat itu tiba, perjuangan untuk mengembalikan warwah kampus ini harus terus digelorakan, demi masa depan pendidikan yang lebih bermakna.

*Akademisi senior Universitas Hasanuddin Makassar

(Visited 22 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.